Harus Menanggung Semuanya!

980 Kata
Fajar menyingsing dengan kemegahan yang memukau, menghiasi cakrawala dengan semburat jingga dan merah muda. Devya membuka mata dengan perlahan, merasakan kehangatan sinar mentari yang menembus tirai tipis kamarnya. Namun, ada kekosongan di sebelahnya. Tempat tidur di sampingnya dingin dan sepi, tanpa kehadiran Daren yang biasa menemani. “Ke mana dia?” bisiknya dengan suara serak, penuh tanda tanya dan kekhawatiran. Ia bangkit, meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur, berharap menemukan jejak kehadiran suaminya. Beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Zion dan Daren menghiasi layar ponselnya. Ia memutuskan untuk membuka pesan dari Daren terlebih dahulu. Daren: [Jika kamu sudah membaca pesan ini, aku ingin minta maaf karena harus pergi tanpa pamit. Ada urusan mendadak dan aku harus pergi ke Jerman sekarang juga. See you.] Devya menghela napas panjang, kecewa bercampur pasrah. “Ya udahlah. Memang hanya sebatas jadi istrinya aja,” ujarnya pelan, berusaha menerima kenyataan. Kemudian, ia membuka pesan dari mantan suaminya—Zion. Zion: [Aku akan ke rumahmu sekarang juga. Kalau masih ingin hidup, jangan pernah katakan apa pun kalau mereka tanya soal Agatha!] Senyum sinis tersungging di bibirnya. “Dua pria ini benar-benar buat aku muak!” serunya dengan nada penuh cemooh. Dengan langkah mantap, ia menuju kamar mandi, berniat membersihkan diri dan melupakan sejenak kekacauan yang melanda hatinya. Lima belas menit kemudian, Devya keluar dari kamar mandi dengan rambut yang tersanggul rapi dan penampilan yang sederhana namun elegan. Kemeja hijau tua dan celana jeans hitam yang dipilihnya mencerminkan tekadnya untuk tetap tegar di tengah badai. “Zion mau ke rumah? Mending pergi ke butik. Males banget ketemu sama dia,” gumamnya dengan tekad kuat, meninggalkan rumah menuju butiknya. Sesampainya di butik, pagi masih muda. Fira, asistennya, menyambutnya dengan senyuman cerah. “Selamat pagi, Mbak. Pagi banget ke sininya?” tanyanya dengan nada riang. Devya mengangguk sambil tersenyum tipis. “Iya. Nggak ada yang perlu aku siapkan juga di rumah. Jadi, ya sudah langsung ke sini saja.” “Oalah. Okelah kalau begitu. Hari ini aku mau antar pesanan Bu Risma, sekitar jam sembilanan. “Oke, Fir. Aku juga mau lihat desain yang diminta customer baru kita. Dia mau nikah dan minta dibuatin gaun yang cukup rumit. Pelanggannya agak ribet. But it’s okay. Sudah kewajiban kita juga sebagai penjual.” Fira terkekeh pelan. “Iya, Mbak. Ganbate lah pokoknya.” Devya menganggukkan kepalanya dengan semangat baru, meraih tab dari dalam laci mejanya. Hari itu, ia memutuskan untuk membenamkan diri dalam pekerjaan, mencari pelarian dari hiruk-pikuk hatinya yang sedang berkecamuk. Dengan fokus pada pekerjaannya, ia berharap menemukan sedikit ketenangan di tengah badai kehidupan yang terus berputar. ** Senja menyelimuti langit dengan semburat oranye yang memukau, memberikan nuansa tenang pada sore yang mulai berakhir. Jarum jam menunjuk angka lima, pertanda bahwa hari kerja telah usai. Devya, dengan lelah yang tertanam dalam setiap serat tubuhnya, bersiap untuk pulang. Ia menghela napas panjang, meresapi sejenak kedamaian sebelum melangkahkan kaki memasuki rumahnya. Namun, kedamaian itu seketika sirna ketika ia melihat Luna, ibu mertuanya, sudah menanti di sofa ruang tengah. Luna duduk dengan anggun namun dingin, auranya memancarkan otoritas yang tak tergoyahkan. “Duduk! Mami ingin bicara dengan kamu!” titah Luna dengan nada yang tidak memberi ruang untuk perlawanan. Devya menuruti perintah itu, duduk di hadapan Luna sambil menghela napas panjang, merasakan tekanan yang mengisi udara di sekitarnya. “Ada apa, Mi?” tanyanya dengan suara tenang, meskipun hatinya bergejolak. Tatapan Luna begitu tajam, seolah menembus jiwa Devya. “Kenapa kamu tidak pernah bicara jika Zion dan Agatha masih sering bertemu?” tanyanya dengan nada yang tajam dan penuh tuduhan. 'Bukan sering bertemu. Tapi, hampir setiap hari. Dan seolah aku ini hanya pajangan saja di sini. Bergumul ria di rumah ini seolah aku hanya patung yang menonton permainan itu,' pikir Devya, menyimpan kepedihannya dalam hati. “Kenapa Mami tidak tanyakan langsung saja pada Zion? Bukankah dia yang lebih berhak atas pertanyaan yang Mami tanyakan padaku?” Devya balik bertanya, mencoba mempertahankan ketenangan dalam suaranya. “Zion sudah Mami sidang. Dengan papinya juga. Tapi, dia mengelaknya. Maka dari itu, Mami ingin bertanya pada kamu. Atau jangan-jangan ini alasan kamu dan Zion bercerai juga tidak mau memberi Mami cucu?” Devya menelan ludahnya dengan pelan, merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. “Mi, jika memang Zion hanya mencintai Agatha, kenapa tidak kalian biarkan saja—” “Kamu tidak mengerti, Devya. Yang kamu tahu hanyalah mendesain baju-baju pesanan pelanggan kamu. Dan kamu harus ingat, butik itu semakin naik dan terkenal karena kamu sudah menjadi bagian dari The Future!” potong Luna dengan nada merendahkan, seolah ingin mengingatkan Devya akan posisinya. Devya tahu, ada kebenaran dalam kata-kata Luna. Namun, jika bukan karena desain-desainnya yang menarik, mana mungkin pelanggan yang dibawa oleh Luna akan bertahan? Ia menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya. “Sampai detik ini, sampai aku dan dia bercerai, Zion masih enggan memiliki anak denganku, Mi. Dan aku tidak tahu alasannya apa.” “Mungkin saja karena kamu tidak becus mengurus rumah tangga kalian. Sampai Zion bertemu dengan Agatha pun kamu tidak tahu,” sahut Luna dengan nada sarkastik, sambil melempar beberapa foto di atas meja. Foto-foto itu menunjukkan Zion dan Agatha di bandara, berbincang dengan akrab. Devya hanya menatap foto-foto itu tanpa mengambilnya. “Agatha pasti akan memberikan kalian cucu—” “Ya! Diberikan. Tapi, Mami dan Papi tidak mengharapkan anak dari keluarga itu! Silver Group tetap akan jadi musuh The Future sampai kapan pun,” ujar Luna dengan tegas. “Dan aku harus bertanggung jawab atas hal itu? Kalian yang bersaing, kenapa aku yang jadi korban?” ucap Devya dengan suara lemas, merasakan keputusasaan yang merayapi hatinya. “Lagi pula, aku dan Zion sudah berpisah, Mi. Jangan bawa aku dalam masalah kalian lagi!” “Karena ulah ayah kamu, Eros harus meninggal dunia. Kamu harus menanggung semua yang sudah ayah kamu lakukan!” Luna berseru dengan penuh amarah. “Dan kamu harus kembali rujuk dengan Zion!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN