Memang itu yang Aku Mau

715 Kata
Devya menghela napasnya dengan panjang. Tak ingin membalas pesan itu, ia memilih untuk mengabaikan pesan tersebut dan masuk ke dalam kamarnya. “Apa dia belum tahu, kalau aku dan Zion sudah bercerai?” Namun, tak berhenti di sana. Agatha menghubungi Devya sebab pesannya tak dibalas. “Ck!” Devya berdecak pelan kemudian menerima panggilan tersebut. “Nggak ada. Zion masih di Makassar,” ucapnya kemudian menutup panggilan tersebut. Devya lalu mengganti pakaiannya dengan baju tidur panjang. Mematikan lampu kamarnya sebab sebentar lagi ia akan memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ting! Notifikasinya kembali berbunyi. Ia pun mengambil ponselnya kembali dan melihat siapa yang mengirim pesan padanya. “Daren?” ucapnya pelan. Daren: [Have a nice dream, Devya.] Devya menghela napasnya. “Kenapa orang ini gak berhenti ngejar aku sih? Astaga!” Devya geleng-geleng kepala lalu memijat keningnya. Devya memutuskan untuk tidur setelah banyak hal yang dia pikirkan. Mengenai Agatha yang masih berani menghubunginya hanya untuk menanyakan kabar sang kekasih. Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Devya dikejutkan oleh kehadiran mantan suaminya yang datang ke rumahnya. “Zion? Mau apa kamu kemari?” “Kenapa kamu memberi tahu Mami kalau kita sudah berpisah?” pekik Zion memarahi Devya. “Aku muak, Zion. Mami kamu selalu tanya kapan kita punya anak dan selalu menyalahkan aku.” “Tapi, tidak seharusnya kamu beri tahu Mami, Devya! Kamu harus tanggung jawab dan–” “Tidak mau! Kamu urus saja mami kamu itu!” Plak! Amarah Zion sudah menggebu. Tangannya meluncur pada pipi Devya dengan kerasnya. “Wanita tidak tahu diuntung!” pekiknya kemudian. “Terserah!” ucap Devya kemudian pergi meninggalkan Zion dengan langkah lebarnya. ** Waktu sudah menunjuk angka sembilan malam. Devya masih berada di butik karena banyaknya kerjaan yang harus ia selesaikan. “Mbak. Kita balik duluan, ya. Mbak masih mau di sini?” tanya Fira—salah satu karyawan Devya. “Ya. Kalian pulang aja. Aku masih mau di sini. Entar jam sepuluhan aku pulang.” “Ya udah kalau gitu. Kami duluan ya, Mbak.” Devya mengangguk lalu melambaikan tangannya kepada kedua karyawannya itu. Devya kembali menoleh keluar lalu mengerutkan keningnya. Seseorang yang ia kenali tengah berdiri di depan butiknya. Segera ia beranjak dari duduknya dan menghampiri lelaki itu. “Lho! Daren?” “Hi! Aku telepon dari tadi, gak kamu angkat. Aku pikir kamu sudah pulang.” “Oh! Sorry. Aku gak pegang HP. Banyak orderan dan gak sempat pegang HP jadinya. Mau masuk?” “Boleh.” Keduanya lalu masuk ke dalam dan kini tengah duduk di sofa ruang kerja Devya. “Gak ada wine, bir atau semacamnya. Pekerjaku gak biasa minum itu soalnya. Jadi, gak aku sediakan juga di sini.” “It’s okay. Malam ini aku lagi nggak pengen mabuk juga.” Devya tersenyum tipis. Ia lalu duduk di samping Daren sembari memberikan jus jeruk kepada lelaki itu. “Ada apa, kemari?” tanyanya ingin tahu. “Hanya main. Aku tanya ke Sheril, katanya kamu sering pulang jam sebelasan. Ya sudah, aku ke sini saja.” “Baru pulang dari kantor juga? Kamu gak berniat pulang ke Jerman lagi?” Daren menggeleng pelan. “Sepertinya tidak. Aku sudah betah di sini.” “Oh gitu.” Devya manggut-manggut dengan pelan. “Kamu gak mau tanya, kenapa aku betah tinggal di sini?” Devya menoleh lalu menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Kenapa?” tanyanya dengan pelan. Daren tersenyum tipis lalu mengulas senyumnya. “Karena kamu. Sejak kejadian dua hari lalu, aku gak bisa lupain kamu, Devya. Bahkan, sepertinya aku tidak peduli, meskipun kamu sudah berumah tangga.” Devya menelan salivanya dengan pelan. “What do you want, Daren?” tanyanya dengan pelan seraya menatap wajah Daren yang tengah menatapnya juga. Daren kembali menerbitkan senyumnya. “You! I love you, Devya.” Perempuan itu tersenyum campah. “Semudah itu?” “No! Tidak mudah, Devya. Aku harus mencintai perempuan yang statusnya baru menjadi janda. Aku rasa, mungkin ini tantangan terbesar, yang harus aku hadapi.” “Tapi, aku yakin masih ada harapan,” sambungnya kemudian. Devya memutar bola matanya. Ia lalu menatap Daren dengan tatapan lekatnya. “Kalau kamu memang menginginkanku, nikahi aku tiga bulan yang akan datang!” Merasa ditantang oleh Devya, Daren langsung menganggukkan kepalanya. “Oke! Siapa takut? Memang itu yang aku mau,” ucapnya sembari mengulas senyum dengan lebar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN