Jangan Ingatkan Hal itu!

1067 Kata
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Karena toko kue tutup di jam sepuluh malam, Devya masih betah berlama-lama di sana menemani Sheril melayani para pelanggan yang datang hendak membeli varian kue di sana. “Belum mau pulang?” tanya Daren menghampiri Devya yang masih duduk di sofa pojok sana. Devya menoleh ke arah Daren. “Kamu sendiri, kenapa belum pulang juga?” tanyanya balik. Daren mengulas senyumnya lalu duduk di depan Devya. “Kalau boleh tahu, alasanmu berpisah dengan suaminya kenapa?” “Jenuh, bosen. Aku terus yang disalahkan. Seolah yang paling berdosa adalah aku.” Daren manggut-manggut dengan pelan. “Kalau begitu, kenapa dulu kamu memilih untuk menikah dengannya?” Devya menghela napasnya dengan panjang. “Kami dijodohkan. Tidak ada kata baik-baik saja, bagi orang yang sama sekali tidak mengharapkan wanita itu jadi bagian dari hidupnya.” Daren menatap wajah Devya yang terlihat begitu menyesali akan pernikahannya dengan Zion. Dan memang seperti itu kenyataannya. Yang mana ia hanya terpaksa menikah dengan lelaki itu. “Sabar, ya. Bahagia yang kamu impikan pasti akan segera datang menghampirimu,” ucap Daren kemudian menerbitkan senyumnya kepada Devya. Perempuan itu kemudian tersenyum tipis. “Thanks,” ucapnya dengan pelan. Keduanya menoleh kompak keluar sebab melihat hujan turun begitu derasnya di luar sana. “Kamu bawa mobil, ya?” tanya Daren kepada Devya. Perempuan itu mengangguk. “Iya. Kenapa?” “Nggak.Cuma nanya aja. Saya pik—“ “Eum … Daren. Sepertinya tidak perlu menggunakan kata itu deh. Saya. Terlalu formal menurutku. Bagaimana jika aku saja?” Devya tampak tak nyaman akan panggilan tersebut. Ia menginginkan memanggil yang biasa saja. Daren terkekeh pelan kemudian menganggukkan kepalanya. “Oke. Lagi pula, kita sudah lebih dari kata kenal. You know what we do last night, right?” Devya menelan saliva dengan pelan. “Ya. Dan aku hanya ingat saat tubuhku rontok, tidak mengenakan apa pun dan tidur di dalam dekapan tubuh kamu. But, Daren. Can you silent it? Please.” Daren mengangguk. “Don’t worry. Hanya kita yang tahu,” ucapnya dengan lembut. “Dan Sheril. Dia tanya, kenapa aku kenal sama kamu sementar kamu baru tiga hari di sini.” “Oh! Oke. She’s your bestfriend. Aku yakin dia bisa menjaga rahasia kita.” “Ya!” ucapnya kemudian mengulas senyumnya dan menatap keluar lagi. Rupanya hujan masih mengguyur dengan derasnya di sana hingga membuat Devya menghela napasnya. “By the way. Kamu sering menyewa perempuan?” tanyanya kemudian. “Tidak akan lagi. Cukup kemarin malam yang terakhir kalinya.” Devya mengerutkan keningnya. “Why?” “Nggak apa-apa. Cuma lagi gak mau kenal sama yang lain aja. Dan sebenarnya aku hanya minta ditemani saat itu. Bukan untuk tidur. Tapi, ternyata aku mabuk berat sampai tidur denganmu.” Devya menelan salivanya kemudian tersenyum tipis. “Dan tidak akan pernah menyewa perempuan lagi?” Daren mengangguk. “Ya! Untuk apa? Sudah selesai semuanya. Pikiranku sedang kacau karena dia harus menikah dengan pria lain. Sebab sudah sejak lama pun sudah curiga. “Tapi, aku masih mempertahankan dia. Yang akhirnya aku dihukum oleh keadaan di mana dia hamil dari pria lain.” Devya tersenyum tipis. “Kamu yakin, itu bukan anakmu?” tanyanya kemudian. “No! Dia sendiri yang bilang kalau itu bukan anakku. It’s just was to end. Dia tidak menginginkanku jadi miliknya.” Devya manggut-manggut dengan pelan. “Begitu rupanya. Aku pikir kamu yang memutuskan untuk tidak bertanggung jawab.” Daren tersenyum tipis. Ia kembali menatap wajah Devya yang masih berada di sana menikmati gemercik air hujan di luar sana ditemani secangkir hot chocolate yang dia pesan. “Devya. Apakah dulu kalian saling mencintai?” tanyanya ingin tahu. Devya tersenyum lirih. “Nothing love in our marriage, Daren. Entahlah, sepertinya aku gagal dalam membina rumah tangga ini. Yang seharusnya jadi bahagia untukku dan keluargaku. Rupanya tidak sebagus itu.” Devya menyandarkan punggungnya dan menghela napasnya. “Dan aku masih berharap orang tua Zion berhenti menyalahkanku atas perceraian ini. Dan ayahku juga masih di penjara. “Sebenarnya aku bisa pergi dari hidup keluarga itu jika aku sudah memberi mereka cucu, penerus harta kekayaan yang mereka miliki karena ulah Ayah yang telah membunuh anak kesayangan mereka.” “What?” Daren terkejut mendengar penuturan Devya. “Kenapa? Kaget, aku berasal dari anak seorang pembunuh? Stay away! Jangan dekat-dekat.” Daren tertawa pelan. “Yang pembunuh itu ayah kamu, bukan kamu. Jadi, tidak ada alasan bagiku untuk menjauhimu. Kita baru dekat, right?” “Ya. Aku tahu. Kalau begitu, aku pulang duluan. Kalau kamu masih ingin di sini, silakan.” Devya beranjak dari duduknya lalu mengambil tas miliknya. Daren mengantar perempuan itu sampai di depan mobilnya. “Devya? May i ask something?” tanyanya sembari menahan tangan Devya. “Apa?” tanyanya dengan pelan. Daren menelan salivanya kemudian menarik wajah perempuan itu. Bukan hanya menarik wajahnya, melainkan mencium bibir Devya juga. Membuat perempuan itu membolakan matanya kemudian menarik dirinya menjauh dari Daren. “Are you crazy?” ucap Devya kemudian mengusap bibirnya dan menoleh ke kanan dan kiri. Daren menaikan kedua alisnya. “Bukankah kita sudah melakukan lebih dari ini? Bahkan aku masih merasakan tubuh indah it—” “Stop it! Jangan ingatkan aku tentang itu. Kamu gak malu, huh?” Daren terkekeh pelan. “Kenapa harus malu? Toh! Tubuh kamu juga merangsang setiap belaian yang aku berikan. Perlu bukti? Aku bisa membuktikannya. Someday.” Daren kemudian membukakan pintu mobil untuk Devya dan melambaikan tangannya, meninggalkan perempuan itu seraya menerbitkan senyumnya. Devya masuk ke dalam mobilnya kemudian mengusapi dadanya yang berdegup tak karuan. “Nggak, nggak. Dia emang agak gila karena ditinggal tunangannya pergi.” Devya geleng-geleng kepala kemudian mengembungkan pipinya. Daripada berlama-lama di sana, ia pun memilih melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh pergi dari tempat itu. “Halo, Dyv. Lo udah pulang? Gue baru selesai meeting sama yang lain, lihat keluar udah gak ada orang.” Sheril menghubungi Devya sebab memang perempuan itu tidak pamit lebih dulu padanya. “Iya. Gue udah di jalan mau pulang. Sorry, ya. Gak bilang dulu ke elo tadi.” “Ya udah gak apa-apa. Thanks ya, Div. Udah nemenin gue sampai toko tutup. Kalau butuh kue, apa pun yang elo mau, tinggal bilang aja.” “Gampang. Ya udah, gue tutup. Udah mau sampai soalnya.” Devya kemudian menutup panggilan tersebut. Lima belas menit kemudian, ia telah sampai di rumah. Baru saja tiba di rumah, Devya sudah mendapatkan pesan dari mantan tunangan Zion. Agatha: [Zion ada di rumah?]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN