Setelah sah menjadi istri dari Bapak Edgar Cahyadi, kehidupan Abel tidak banyak berubah. Ia tinggal di rumah Abel atas permintaan Mama. Edgar tidak keberatan sama sekali. Mama Abel juga memutuskan untuk tinggal di kampung karena nenek Abel sudah tua dan butuh anaknya. Abel tidak keberatan, asal Mamanya bahagia. Antara Abel dan Edgar masih sangat kaku. Bahkan untuk sekamar saja Abel seperti sendiri. Seperti sekarang, setelah menghabiskan hari yang sangat lelah karena banyak tamu yang datang. Abel memilih untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Lucu sekali rasanya karena Abel kira ia akan terlibat pernikahan layaknya drama atau n****+ ternyata ia salah besar. Edgar tidak menutupi pernikahan dari siapapun. Banyak dosen-dosen yang berdatangan, hampir semua dosen di fakultas datang secara berombongan hari ini.
Bayangkan saja betapa malunya Abel, ia hanya bisa tersenyum canggung ketika teman-teman bahkan dosen menggodanya. Ingatkan Abel untuk melempar Zaki nanti karena ia dengan lantang berkata "Woi Bel, pelet lo manjur juga."
Abel tidak tahu apa tanggapan orang-orang setelah mendengar teriakan Zaki, yang terpenting ia sama sekali tidak memelet dosennya itu. Kurang kerjaan sekali Abel jika melakukan hal demikian.
"Ini rumah Papa kamu?" tanya Edgar. Matanya masih berfokus pada laptop. Baru menikah saja sudah fokus pada laptop. Bagaimana nantinya? seharusnya Edgar menikah dengan laptop atau pekerjaannya saja.
"Rumah ini udah atas nama saya Pa, itu permintaan Mama waktu cerai," jawab Abel sambil mengeringkan rambutnya dengan menggunakan handuk kecil. Ia baru saja selesai membersihkan diri. Badannya sudah sangat bau dan juga tidak nyaman. Makanya setelah acara selesai, Abel buru-buru masuk kamar dan membuka gaun pengantin yang beratnya buat Abel meringis. Abel keluar kamar mandi dengan menggunakan celana pendek dan hoodie kebesaran. Bahkan celana pendeknya sampai tidak terlihat karena tertutup oleh hoodie yang ia kenakan.
Edgar mengangguk paham, "Bapak nggak mandi?" tanya Abel memastikan.
"Saya nggak biasa mandi malam-malam."
Abel menatap sang dosen dengan mengerutkan alisnya. "Jorok," teriak Abel di dalam hati.
"What? jadi bapak kalau udah malam begini nggak bakalan mandi?"
Edgar mengangguk.
"Jorok banget si Pak, awas aja peluk-peluk saya nanti pas tidur," oceh Abel dengan pedenya. Edgar bahkan menatap Abel dengan wajah dingin plus datar. Abel terdiam sendiri. Mulutnya memang tidak bisa di filter sama sekali.
"Oh iya Bapak kan nggak bisa peluk cewek, tahu saya kok Pak," ujar Abel lagi memecahkan kecanggungan di antara mereka.
Edgar tidak merespon Abel, ia memilih untuk segera menyelesaikan pekerjaan yang semakin menumpuk setiap harinya.
Abel menggerutu sendiri, punya suami dingin plus datar hanya menjadi pajangan di kamar saja. Di bawa curhat tidak bisa, di bawa bercanda malah garing, dibawa bergelut malah ngacir. Abel memilih untuk mengambil kasur tipis di dalam lemari dan membentangkannya di lantai. Tidak lupa mengambil bantal dan juga selimut. Abel menghempaskan diri di kasur tipis itu, merentangkan tangan dan kaki selebar-lebarnya. Merasakan setiap kenyamanan yang di dapat. Ternyata menjadi raja dan ratu dadakan sehari sangat tidak enak. Harus berdiri berjam-jam dengan senyum yang tidak pernah luntur, bahkan gigi Abel sampai kering. Jika kalian mengira Edgar akan tersenyum lebar maka jawabannya adalah tidak sama sekali. Ekspresi wajahnya sama seperti mengajar di depan mahasiswa-mahasiswa di kampus. Abel sudah seperti perempuan yang memaksa agar Edgar menikahinya. Padahal tidak, walaupun pernikahan mereka seperti indomie yang dinikmati dengan instan tetapi tidak ada unsur keterpaksaan disana. Mereka sama-sama mau.
Abel memejamkan mata, berusaha masuk ke alam mimpi. Tetapi nyatanya rasa kantuk itu tidak kunjung datang. Matanya masih setia terbuka, tolong lah mata dan organ tubuh yang lain bekerja sama untuk segera tidur. Abel dan Edgar tidak akan ada malam pertama. Nanti bisa-bisa Edgar berteriak heboh saat Abel baru menggerayap tubuhnya. Sudah seperti perawan saja. Padahal memang kenyataan begitu. Edgar masih perjaka dan Abel juga masih perawan. Kalau disatukan akan sangat bagus. Khayalan Abel sudah kemana-mana, ia bahkan sampai memukul pelan kepalanya dan memutar ke kanan ke kiri.
"Kamu ngapain tidur di situ?" tanya Edgar dengan suara bariton. Abel menoleh, "Bapak kan phobia dekat sama cewek. Lebih baik kita pisah kayak gini. Di n****+ yang sering saya baca juga begitu. Mereka pisah ranjang kalau nikahnya mendadak apalagi dijodohin," jawab Abel dengan polosnya.
Edgar menghela nafas pelan, terlalu fokus pada pekerjaan sampai tidak sadar Abel sudah tergeletak di lantai. Edgar sudah seperti suami jahat jika seperti ini. Ia membuka kacamata dan menutup laptopnya. Edgar bangkit dari duduk dan mendekat ke arah Abel.
Jantung Abel berdetak kencang seiring langkah Kaki Edgar yang semakin mendekat. Abel langsung terduduk ketikan Edgar jongkok di depannya.
"Ba-bapak ngapain?" tanya Abel gugup. Matanya tertuju pada bibir berisi sang dosen. Pikiran Abel sudah berkelana kemana-mana. Apakah semua perempuan begini di malam pertamanya? Sangat-sangat memalukan sekali.
Edgar memegang dagu Abel, mengangkat dagu itu sehingga mata keduanya bertemu.
"Ba-pak!" cicit Abel pelan.
"Kamu jangan kebanyakan baca n****+, baca jurnal biar berguna untuk skripsi kamu."
Mata Abel melotot.
"Jangan kebanyakan menghayal, saya hanya phobia sexsual. Bukan phobia dekat cewek,"
plak
"Auu, sakit Pak," tukas Abel sambil mengusap-ngusap keningnya yang baru saja di sentil oleh Edgar.
"Tidur di atas sana," suruh Edgar lagi.
"Nanti kalau saya khilaf gimana Pak?" tanya Abel tanpa pikir panjang.
"Kamu bisa apa?" tanya Edgar balik dengan menantang. Abel kesal, ia masih normal apalagi ada laki-laki ganteng dan keren di kamarnya. Oke yang lebih penting mereka sudah sah dan halal jika berbuat yang iya iya.
Cup
Abel mencium Edgar. Ia bahkan sudah berdiri dan menggulung kasur tipis untuk di masukan lagi ke dalam lemari. Edgar terdiam sejenak, ia memegang bibirnya yang sedikit basah. Ia tidak menyangka jika Abel seberani ini.
"Kamu tidur di bawah saja, saya jadi takut seranjang dengan kamu," oceh Edgar saat kesadarannya kembali.
"Nggak bisa gitu dong, Bapak nggak boleh plin plan."
Abel langsung naik di ranjang. Ranjang yang cukup besar, berbeda dengan ranjangnya yang dulu. Ia beringsut ke belakang dan bersandar di kepala ranjang.
"Bapak," panggil Abel pelan.
"Kenapa?"
"Kalau saya cium lagi boleh nggak?" goda Abel dengan kedipan mata.
Edgar menatap tajam Abel, "Saya mau mandi." Edgar langsung masuk ke kamar mandi. Abel masih ingat jika sang dosen tidak terbiasa mandi malam. Jadi kenapa sekarang mau mandi?
Abel tertawa terbahak-bahak, lucu sekali melihat wajah sang dosen. Ia memilih untuk membongkar koper Edgar. Mengeluarkan isi di dalam koper dan memindahkan ke dalam lemari. Tidak lupa Abel menyiapkan pakaian santai untuk Edgar. Sebelum itu, Abel beranjak ke dapur untuk membuatkan s**u. Abel sadar ia masih belum mengerti tentang kebiasaan sang suami, tetapi terlepas dari apapun yang terjadi. Ia akan belajar bagaimana menjadi istri yang baik.
Ternyata Edgar sudah selesai mandi ketika Abel masuk ke dalam kamar. Abel tidak terlalu kaget melihat Edgar bertelanjang d**a.
"Wow ada roti sobeknya, " ujar Abel dengan mata berbinar-binar.
Edgar langsung kaget, ia kira Abel tidak akan masuk ke kamar dengan cepat ternyata analisanya salah. Edgar lari terbirit-b***t ke kamar mandi.
"Pak saya nggak bakal grepe-grepe, Hahaha." Abel tertawa melihat tingkah sang dosen. Abel langsung berbaring di ranjang. Ia sudah sangat lelah.
"s**u buat siapa?" tanya Edgar yang baru saja keluar kamar mandi.
"Buat bapak lah, atau mau s**u dari saya?" goda Abel lagi dengan menahan tawanya.
Edgar tidak merespon, ia memilih untuk meneguk s**u tersebut.
"Jangan langsung tidur Pak, keringin rambut dulu nanti sakit kepala," ujar Abel.
"Iya," jawab Edgar seadanya. Abel sangat mudah tertidur, terlihat sekarang ia sudah sampai ke alam mimpi.