"Lo Cantik banget Bel," ujar Ella memandang temannya itu dengan takjub. Sebagai orang yang dekat dengan Abel, tentu saja Ella harus berada di samping Abel. Sedangkan Diba tidak bisa karena sedang berada di Jepang mengikuti suaminya.
Pernikahan sederhana itu terjadi begitu saja. Abel merasa di alam mimpi. Selama ini, baru pertama kali Abel memegang tangan sang dosen begitu pun sebaliknya. Saat Edgar dengan lantang mengucapkan ijab kabul dengan satu kali tarikan nafas maka Abel sudah sah menjadi istri. Setelah ijab kabul, Abel mencium tangan Edgar dengan rasa aneh yang menyeruak di dalam dirinya. Jemari-jemarinya dingin dan juga bergetar hebat.
Abel tahu sang dosen merasakan betapa gugup dirinya saat itu, bahkan sampai sekarang pun Abel masih sangat gugup. Mereka berdua sudah duduk di pelaminan. Abel dan Edgar masih mengunci mulut satu sama lain.
"Papa pulang dulu ya," ujar Papa Abel.
"Papa nggak bisa sehari aja duduk di dekat Mama ya? cuma demi Abel pun nggak bisa?" balas Abel dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Bunda sama adik kamu udah nunggu di depan, katanya ada urusan."
Di hari seperti ini pun Abel diharuskan mengalah. Sudah banyak kata-kata keluhan yang ada di dalam hati Abel, tetapi semua tertahan. Abel hanya bisa tersenyum penuh kesedihan. Apalagi sang Papa tidak mau untuk foto terlebih dahulu. lihatlah Istri Papanya sudah memanggil-manggil dari jarak jauh. Papa memeluk Abel sejenak, setelah itu pergi di hari yang seharusnya bahagia untuk Abel dan juga keluarga.
"Udah nggak apa-apa," bisik Mama berusaha menguatkan Abel. Abel menggenggam tangan sang Mama sebagai isyarat bahwa ia baik-baik saja.
Masih ingat di pikiran Abel bagaimana sang Papa menentang niat dirinya untuk menikah. Papa dan keluarga barunya bahkan berkata yang tidak-tidak kepada Abel. Mereka mengira apakah Abel sudah hamil sehingga menikah begitu cepat. Jelas saja pemikiran itu salah.
Abel datang bersama Edgar untuk meminta sang Papa agar mau menjadi wali nikahnya. Edgar dan Abel tidak berada dalam mobil yang sama melainkan Abel menaiki motor sendiri sedangkan Edgar juga mengikuti Abel dari belakang dengan motornya pula.
Mereka disambut dengan wajah istri sang Papa yang tidak bersahabat. Bahkan Abel dan Edgar cukup lama berada di depan rumah.
"Masuk," ujar Istri Papa.
Abel melihat ke arah Edgar dengan rasa tidak enak hati. Seharusnya mereka disambut dengan lebih lembut atau sedikit saja lebih ramah.
"Maaf ya Pak," ujar Abel dengan suara pelan. Edgar tidak merespon, ia langsung masuk saja.
"Papa ada di rumah?" tanya Abel.
"Bentar lagi pulang,"
Abel dan Edgar menunggu dengan sabar. Mereka berdua pun sama-sama diam. Abel sudah lama tidak berkunjung ke rumah sang Papa. Rumahnya tampak sangat bagus, apalagi perabotan yang cukup bagus menjadi nilai tambah tersendiri. Abel langsung mengenyahkan pikiran yang tidak-tidak. Kata andai hanya akan menjadi boomerang tersendiri.
Beberapa menit kemudian Papa pulang, seperti biasa Abel menyalami sang Papa. Raut wajah Papanya juga tidak bersahabat. Sepertinya mereka tahu niat Abel dan Edgar untuk datang ke rumah tersebut.
"Ini calon kamu?" tanya Papa dingin.
"Iya Pa, saya Edgar cahyadi," jawab Edgar mewakili Abel.
"Kamu hamil?" tanya Papa langsung. Abel terdiam, jiwa-jiwanya seperti tidak berada di tempat. Beginikah respon seorang ayah ketika anaknya ingin menikah? Mungkin hanya Abel yang mengalami hal tersebut.
"Maaf Pak, Abel ti-"
"Saya bertanya dengan Abel bukan dengan kamu," potong Papa langsung.
"Aku nggak hamil Pa," jawab Abel dengan hati yang kembali terbuka. Ia meneguk ludah dengan susah payah. Malu juga kepada sang dosen yang mengetahui bagaimana keluarga Abel sebenarnya.
"Terus kenapa kamu ingin menikah? Kuliah saja belum selesai eh udah mau nikah saja. Papa kuliahin kamu biar sukses bukan malah nikah kayak gini! Seharusnya kamu sadar itu Abel."
Apa yang salah jika Abel menikah? Ia tahu tentang pendidikannya. Abel juga tidak akan lupa menyelesaikannya. Abel tersenyum miring mendengar apa yang Papa katakan. Papa berkata seolah-olah ia yang menghidupi Abel sampai sekarang. Kalaupun bisa, Abel bisa mengembalikan semua biaya yang sudah Papa keluarkan untuk biaya kuliahnya yang tidak seberapa. Tetapi Abel tidak bisa melakukan itu, ia masih sadar bahwa laki-laki di depannya ini adalah ayah kandungnya. Darah sang ayah mengalir dalam dirinya.
"Nikah nggak bakal buat aku berhenti kuliah Pa," ujar Abel meyakini.
"Kalau ujung-ujungnya nikah kenapa harus minta sama Papa untuk kuliahin. Mending langsung nikah pas tamat SMA," ucap istri Papa yang baru datang membawa minum. Abel tertawa di dalam hati, ia sudah hampir menunggu dua puluh menit dan baru sekarang minuman itu datang.
"Kamu lihat adik kamu itu yang semangat kuliah malahan masuk perguruan tinggi negeri, tiru dia sekali aja kamu nggak bisa?"
Haha? Abel rasanya ingin tertawa. Dia berusaha menguatkan diri sendiri. Memilih diam adalah hal terbaik.
"Maaf kalau Abel ngecewain Papa," lirih Abel.
"Kamu memang udah kecewain Papa Abel, apa ini didikan Mama kamu?"
Abel berusaha menguasai dirinya, jangan sampai dirinya lepas control.
"Papa nggak usah nyalahin Mama, Mama udah luar biasa hidupin aku dan didik aku. Harusnya Papa tanya sama diri sendiri apa yang udah Papa lakukan untuk hidup aku?"
Papa terdiam, namun hanya sejenak.
"Apa Kerja kamu?" tanya Papa kepada Edgar. Edgar tersenyum canggung, "Saya hanya seorang pengajar Pa."
Abel melihat wajah Papa tidak bersemangat, ia tahu jika Papanya terlalu berekspektasi tinggi kepada calonnya. Ternyata pandangan Papa dan Mama jauh sekali berbeda.
Abel langsung saja meminta sang Papa untuk menjadi wali nikahnya nanti. Papa bisa apa jika tidak setuju. Abel kemudian langsung pamit karena tidak mau berlama-lama di sana. Telinganya sudah sangat panas mendengar celoteh mereka yang tidak mengenal Abel secara dalam. Mereka hanya tahu Abel anak yang tidak bisa diharapkan sama sekali. Tidak ada tanda-tanda kesuksesan di dalam diri Abel. Pemikiran dangkal mereka membuat Abel bertambah semangat membuktikan bahwa pilihan hidup yang ia ambil tidak akan disesali sampai kapanpun.
Sebelum keluar dari rumah itu, Papa menanyai Abel lagi. "Kamu yakin mau menikah? Kamu masih mudah Abel!"
Abel mengurungkan niatnya untuk melangkah, ia kembali berbalik. Berusaha tersenyum bagaimanapun hatinya terluka bahkan perihnya sampai ke ubun-ubun.
"Untuk orang yang nggak pernah tahu bagaimana aku hidup sampai dua puluh tiga tahun, pertanyaan itu terlalu lucu Pa. Aku diam pas Papa nuduh aku hamil duluan, aku diam pas Papa bilang aku anak yang nggak tahu diri, aku diam pas Papa nyalahin Mama aku, Papa tahu itu karena apa?"
Mata Abel memarah, bibirnya bahkan sudah bergetar tetapi ia berusaha menahan semuanya. Abel tidak boleh terlihat lemah apalagi di depan Papa dan istrinya.
"Itu karena didikan Mama, Mama selalu bilang kalau sampai kapan pun nggak ada namanya mantan anak ataupun mantan Ayah. Aku diam saat Papa bandingin aku sama anak tiri Papa. Seharusnya Papa sadar itu, jika bukan karena didikan Mama maka aku udah marah-marah sama Papa. Jangan lupa Pa, aku manusia dan punya hati. Berapa kata yang keluar dari mulut Papa ataupun istri Papa sampai hari ini masih membekas dalam hati aku."
Abel tersenyum masam, "Terima kasih Pa, karena Papa aku bisa jadi kuat dan dewasa. Aku minta maaf kalau kata-kata aku nggak sopan. Papa nggak ada hak buat nyalahin Mama terkait hidup aku. Aku pamit, semoga Papa mau datang dan jadi wali di nikahan aku. Aku pastikan itu bakalan jadi terakhir kali aku nyusahin Papa. Assalamu'alaikum."
Abel langsung keluar, diikuti oleh Edgar. Edgar hanya diam saja, ia tidak mau terlalu ikut campur karena ia belum punya hak untuk itu.
"Kamu langsung pulang Abel?" tanya Edgar dengan wajah datar.
"Iya Pak, maaf karena Bapak nggak di sambut dengan baik oleh keluarga saya. Saya Pamit Pak!"
Abel melanjutkan motornya dengan kecepatan sedang, bahkan saat hujan turun pun ia tidak berhenti. Di sisi lain, Edgar mengikuti Abel dari belakang. Entah apa yang ia pikirkan saat itu, keselamatan Abel sampai ke rumah itu yang jauh lebih penting.