7. Ajakan Dilan

1787 Kata
Malam ini, tiba-tiba saja Mas Dilan bilang akan menjemputku dan mengajakku ke suatu tempat. Benar-benar mendadak. Sore tadi dia kirim pesan dan langsung meyampaikan maksudnya. Dia sama sekali tidak bertanya apakah aku mau atau tidak. Dan sekarang, dia sudah menunggu di ruang tamu rumahku, sementara aku baru selesai mandi. Bena-benar semaunya sendiri orang itu. Kalau bukan karena kita sudah fix akan ‘menikah’ tidak lama lagi, malas sekali aku diajak keluar. Aku paling tidak bisa membuat orang lain menungguku lama, jadi aku ganti baju dan dandan cepat-cepat. Setelah aku merasa cukup, aku buru-buru keluar kamar dan menuruni tangga. Namun, langkahku langsung terhenti di tangga ke-tiga, begitu melihat Mas Dilan dan Kak Rika tampak mengobrol di bawah. “Ehm!” aku berdehem agak keras, dan kedua orang itu langsung menoleh ke arahku. “Sudah selesai, De?” “Udah. Ngomong-ngomong, Mas Dilan kenal sama Kak Rika?” tanyaku begitu sudah berdiri di dekat mereka. “Kenal...” Mas Dilan menjawab singkat. “Mas Dilan pernah menolongku waktu diganggu preman.” Kak Rika menatap Mas Dilan sambil tersenyum. “Dan mengantarkanku sampai pulang rumah.” Sebentar, tatapan macam apa itu? Tidak mungkin kan, Kak Rika suka sama Mas Dilan? Aku begini bukan karena cemburu, tetapi tidak lucu dong, kalau Kak Rika sampai menyukai calon suamiku? Terlepas dari bagaimana perasaan yang aku dan Mas Dilan miliki satu sama lain, kami sudah sepakat memutuskan untuk menikah. Itu artinya, Kak Rika sama sekali tidak boleh menyukai Mas Dilan. “Oh gitu.” Aku mengangguk ogah-ogahan. “Mas, saya udah siap, nih. Sekarang atau kapan berangkatnya?” “Om sama Tante—“ “Papi sama Mami lagi keluar.” “Ya udah, sekarang.” Mas Dilan langsung berdiri, dan bersiap pergi. “Mas Dilan, hati-hati!” ucap Kak Rika sambil tersenyum, jenis senyum yang membuatku muak. “Ah... iya.” Mas Dilan keluar lebih dulu, sementara aku menyusul di belakangnya. Aku sempat menoleh ke belakang, dan ternyata Kak Rika tersenyum miring padaku. Oh... dia mau cari gara-gara? Tidak akan kubiarkan! Setelah aku keluar dan menyusul Mas Dilan, aku buru-buru menahan jaketnya tepat ketika dia hendak membuka pintu mobil. Sekarang juga, aku perlu bertanya padanya tentang Kak Rika. “Apa, De?” “Beneran kenal Kak Rika?” Mas Dilan mengangguk. “Iya, kenal.” “Dekat?” “Enggak, cuma kenal.” “Kayaknya Kak Rika suka Mas Dilan, deh!” ujarku terus terang. “Terus kalau iya, kamu cemburu?” “Ngimpi, kali! Bukan cemburu tahu, Mas, tapi kan yang mau menikah itu kita. Ingat isi perjanjiannya, selama sudah sepakat, kita tidak boleh menjalin hubungan dengan yang lain.” “Memangnya saya terlihat bakal ninggalin kamu demi kakakmu?” tanyanya dengan sebelah alis terangkat. “Ya kali aja. Kak Rika kan cantik.” “Kamu kan lebih cantik, jadi apa masalahnya?” Deg! Sebentar, ini jelas bukan pertama kalinya aku dipuji cantik. Tapi kenapa tiba-tiba jantungku berdebar? Aku berdehem untuk menetralkan jantungku agar berdetak seperti semula. “Awas aja kalau sampai ingkar janji!” Mas Dilan tak menyahut, malah langsung masuk ke dalam mobil. Untuk kesekian kalinya, aku dibuat menggeram tertahan. Lagi dan lagi, Mas Dilan sukses membuatku merasa diabaikan. “Nih ya, kalau cowok romantis tuh bukain pintu buat ceweknya—“ aku langsung menghentikan kalimatku begitu Mas Dilan tiba-tiba mencondongkan badannya, lalu memasangkan seat belt untukku. “Habis bukain pintu, terus pasangin ini, begitu?” tanyanya sambil menoleh, dan itu membuat hidung kami hampir bersinggungan. Jarak wajah kami saat ini benar-benar dekat, sampai aku bisa merasakan napasnya menerpa wajahku. Aku mencium aroma mint dari mulutnya. “I-iya, dong! Harus!” balasku sedikit terbata. “Kamu tahan napas?” “Enggak, lah! Bisa mati, kalau tahan napas!” kali ini aku langsung mendorong Mas Dilan menjauh. Wah, kenapa aku merasa Mas Dilan ini berbahaya, ya? Pokoknya aku harus siap siaga kalau sewaktu-waktu dia mulai bertindak diluar dugaan. “Oh iya, waktu itu kamu bilang kalau kakakmu problematik, tapi setahu saya, dia baik,” ucap Mas Dilan ketika mobilnya keluar dari gerbang rumahku. “Jangan tertipu, Kak Rika itu punya banyak wajah. Ngomong-ngomong nih, kalian kenal sejak kapan, Mas?” “Saya lupa tepatnya, tapi yang pasti, saya sudah kuliah dan kakakmu masih SMA waktu itu.” “Ya pantes, kalau Mas Dilan bilang baik. Waktu masih SMA, Kak Rika belum berubah aneh.” Mendengar itu, Mas Dilan langsung menoleh dan menatapku dengan alis bertaut. Aku tidak berniat untuk menyahut lebih banyak, jadi aku memilih untuk memalingkan wajah. Aku rasa, belum saatnya aku bercerita lebih detail tentang Kak Rika pada Mas Dilan. “Ngomong-ngomong kita mau ke mana, sih, Mas? Awas loh, ya, kalau ke tempat aneh-aneh—“ “Ulang tahun teman.” “Loh? Kenapa pakai ajak saya?” “Nanti kamu juga tahu.” “Ish!” aku mencibir pelan, lalu mulai menyandarkan kepala dan menatap ke luar jendela. *** Mas Dilan benar-benar licik! Kalian tahu? Alasan dia mengajakku adalah agar dia terbebas dari rayuan cewek-cewek genit yang mengelilinginya. Jadi, sejak Mas Dilan turun dari mobil, aku sudah langsung melihat ada dua perempuan menghampirinya. Dan tentu saja, begitu aku keluar, dua perempuan itu tiba-tiba berhenti. Apalagi ketika dengan santainya Mas Dilan memberikan lengan kirinya untuk kuapit. Ck! Sepertinya aku perlu minta bayaran perjam untuk menemaninya malam ini! “Ini lebay banget sih, Mas, ngerayain ulang tahun udah kaya mau konser aja.” Lagi-lagi, aku mengeluh. Di sini banyak orang, juga suasananya sangat berisik. “Sudah jadi agenda tahunan, De.” “Ini teman sekolah atau kuliah?” “Sekolah, tapi kebetulan orang tuanya kenal dekat sama Ayah. Jadi ya selagi saya di rumah, Ayah menyuruh saya berangkat ke sini.” Aku mengangguk paham, lalu mengambil air minum yang ada di meja. Namun, tiba-tiba saja, Mas Dilan menahan tanganku ketika aku hendak meminumnya. Jelas aku bingung, tetapi Mas Dilan tetap menggeleng. “Kenapa? Saya haus...“ “Minuman di sini ada yang beralkohol. Enggak semua sih, tapi sebagian besar. Yang pasti aman, air mineral kemasan. Biar saya ambilkan.” Mas Dilan berjalan ke arah meja yang ada di ujung, lalu mengambil dua botol sekaligus. “Minum ini aja... kalau mau yang berasa, habis ini saya traktir minum di luar.” “Enggak usah, ini cukup. Makasih.” “Ya...” Setelah meneguk sampai separuh, aku kembali menoleh ke arah Mas Dilan. ”Ngomong-ngomong, kok Mas Dilan tahu kalau minuman di sini ada alkoholnya?” “Saya pernah kecolongan sekali, karena enggak tahu. Untung masih sedikit, jadi saya enggak sampai mabuk, tapi pusing bukan main.” Mendengar itu, aku kembali meraih gelas minuman, dan mencium aromanya. Benar saja, aku bisa merasakan ada bau alkohol di minuman ini. Meski aku belum pernah minum-minuman beralkohol, tetapi karena aku hidup di Jepang, aku sedikit akrab dengan aromanya. “Iya, kan?” Aku mengangguk. “Aromanya kecium, tapi kadarnya enggak banyak.” “Tapi intinya tetap ada. Oh iya, saya ke kamar mandi bentar, ya? Jangan ke mana-mana, habis ini kita pulang.” “Oke.” Sementara Mas Dilan pergi ke kamar mandi, aku memutuskan untuk duduk di kursi yang kosong, sambil sesekali mengecek ponsel. Aku mendongak ketika merasakan ada bayangan yang menutupiku dari lampu tama ruangan ini. Ternyata, saat ini ada dua orang laki-laki berdiri di depanku. Yang satu berambut lurus, dan yang satu lagi sedikit bergelombang. “Siapa, ya?” tanyaku. “Kamu calonnya Dilan, ya?” mendengar nama Mas Dilan di sebut, aku pikir orang ini mungkin temannya. “Iya.” “Kenalin, saya Roni.” Orang itu mengulurkan tangan untuk mengajak berjabat tangan. Jujur, aku ragu untuk menjabat tangan itu, tetapi aku tidak enak kalau membiarkan tangan itu terulur terlalu lama. Akhirnya, kuberanikan diri membalasnya. “Saya Deana.” Mataku seketika mendelik, karena begitu aku hendak menarik tanganku, ternyata orang itu menahannya. “Maaf, tangan saya—“ “Pantesan Dilan menolak banyak cewek, ternyata calonnya secantik ini.” “Mas! Tangan saya!” “Sebentar lagi saja, tangan kamu ternyata halus— Arghh!” aku meremas balik tangannya, lalu kupelintir sampai kini dia membelakangiku dan setengah menunduk. “De? Ini kenapa?” tiba-tiba saja, Mas Dilan sudah datang. “Ada tikus got!” Aku mendorong laki-laki itu sampai tersungkur, dan orang-orang seketika menatapku kaget. “Ada apa, ini?” Si Empunya Rumah, maksudku yang sedang ulang tahun, tiba-tiba ikut datang menghampiri. Ngomong-ngomong, dia perempuan, dan wajahnya sudah terlihat cukup dewasa. “Saya merasa tidak nyaman kalau diajak berjabat tangan terlalu lama sampai diusap-usap.” “Ya ampun, Roni! Keterlaluan, kamu!” Aku tidak lagi peduli dengan si Roni-Roni itu, yang aku tahu, saat ini aku ingin segera pulang. “Aku mau pulang sekarang, Mas!” ketusku pada Mas Dilan, lalu berlari keluar. “Dean! De! Tunggu!” aku mendengar Mas Dilan memanggilku, tetapi aku tidak mau berhenti sebelum tiba di parkiran. Tidak sudi aku berlama-lama di tempat ini! Sesampainya di tempat parkir, aku berjalan ke arah kran kecil, lalu cuci tangan di sana. Begitu aku menoleh, Mas Dilan sudah berdiri sekitar dua meter sambil menatapku dengan ekspresi... khawatir? “Saya enggak papa, tapi pengennya pulang!” Mas Dilan mengangguk. “Iya, kita pergi dari sini sekarang. Saya minta maaf...” “Maaf diterima kalau cepet bawa saya pulang.” Mas Dilan berjalan ke arah mobil, lalu membukakan pintu untukku. Selama di perjalanan pulang, aku terus berusaha mengalihkan pikiran buruk tentang apa yang baru saja aku alami. Mau secuek apa pun perempuan, yang namanya hampir dilecehkan pasti sedih dan kesal bukan main. “Banyak orang yang menyalahkan perempuan ketika ada kasus pelecehan, dan rata-rata yang disalahkan adalah pakaiannya. Coba sekarang, baju saya apa terbuka, sampai dijadiin target? Kedok salaman, tapi malah raba-raba. Kalau mata keranjang, ya mata keranjang aja!” Aku mulai ngedumal, karena tak bisa menahan diri untuk terus diam. “Kalau saya yang dilecehin, masih bisa balik ngelawan, libas habis sekalian. Tapi bagaimana dengan perempuan-perempuan yang lemah fisiknya? Bagaimana dengan mereka yang penakut? Laki-laki itu diciptakan, salah satunya untuk melindungi perempuan, bukannya malah membuat mereka merasa dalam bahaya. Kesel banget, asli!” Tiba-tiba saja, Mas Dilan menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Paktis aku menoleh, dan ternyata dia juga melakukan hal yang sama. “Kok berhenti?” tanyaku bingung. “Masih mau ngedumal? Kalau iya, saya dengerin di sini.” “Udah, udah cukup yang barusan.” “Oke. Kalau udah cukup, sebelum pulang mampir bentar, ya?” “Mampir? Ke mana?” Bukanya menjawab, Mas Dilan malah menunjuk gedung pusat perbelanjaan, yang terletak tidak jauh dari tempat kami saat ini. “Mau ngapain ke sana?” “Nanti kamu juga tahu—“ “Gitu aja, terus! Apa susahnya sih, Mas, tinggal jawab?” potongku tak sabaran. Mas Dilan tampak menghela napas panjang, lalu menatapku lurus-lurus. “Saya mau beli cincin buat kamu.” “Eh?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN