CINTA PERTAMA

2258 Kata
Fitri berdiri di depan cermin sambil mematut-matut diri, setelah mengenakan jilbab berwarna biru polos yang baru dibelikan ibunya. Air mata haru merembes membasahi pipi tembamnya saat menatap diri di cermin. Sebagai seorang gadis berjilbab ia sangat bersyukur karena hatinya telah terpanggil untuk mengenakan penutup kepala. Patah hati mungkin memang alasan awal ia memutuskan menggunakan pelindung mahkotanya itu. Namun, saat ini ia sudah memantapkan diri untuk memperbaiki diri karena ingin meraih rida Allah. Hatinya memang pernah disentuh oleh rasa yang ia anggap sebagai cinta—hal yang membuatnya lupa bahwa mencintai bukan seperti yang dilakukannya saat itu—yang membuat bulir-bulir air mata terjatuh karena hal bodoh itu telah mengkhianati. Namun, dukungan sang ibu yang tak pernah habis membuat ia kembali menemukan makna hidup dan berhasil memperoleh keyakinan bahwa dirinya akan lebih bahagia bila mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Informasi tentang lomba menulis naskah film pendek yang diadakan oleh salah satu rumah produksi film adalah pancingan termujarab yang diberikan ibunya. Sudah berbagai cara dilakukan sang ibu membujuk Fitri yang sedang patah hati, tetapi tak kunjung berhasil. Pengumuman tentang lomba yang didapatkan ibunya dari salah seorang teman Fitri ternyata sangat ampuh. Sebagai seorang ibu, tentulah ia sangat mengetahui impian sang putri, yaitu pergi ke Jepang, dan berkat doanya, Fitri berhasil memenangkan lomba tersebut. *** Di saat tengah asyik memandangi diri di depan cermin, Fitri teringat bahwa dirinya berencana akan merapikan rak buku. Sudah banyak benda berbentuk persegi dan berisi lembaran-lembaran kertas itu tak terpakai dan membebani tempat bersandarnya. Fitri berjalan menjauh dari cermin, mendekati rak kayu yang sudah tua itu. AHMAD AFASH ALKHATIRI Baru saja sampai di depan benda reot itu. Tak sengaja mata Fitri tertawan pada coretan sebuah nama yang tertulis di sudut atas karya tulis berjudul “Secawan Anggur Cinta” karangan Syek Muzzafer Ozak yang mengisahkan tentang para sufi. Si pemilik nama tersebutlah yang telah memberikan untuknya. Mata Fitri masih memandangi buku tersebut. Tiba-tiba bayangan Afash—pemuda bertubuh porposional itu—kembali menjamah pikirannya. Rasa itu membuat jantungnya berdegup tak keruan. Hal yang dirasakan itu tak pantas disebut sebagai cinta. Namun, predikat sebagai cinta pertama telah telanjur ia sematkan untuk pemuda pemilik nama itu. Bahkan, hampir setiap hari ia menulis perasaannya pada Afash di dalam buku harian yang saat ini hilang entah ke mana. Afash adalah senior satu semester di atas Fitri. Mereka sama-sama duduk di Fakultas Sastra Inggris dan memiliki banyak hobi yang sama. Fitri suka membaca, pun begitu dengan Afash. Hanya saja pemuda itu lebih suka membaca buku tentang ketuhanan, sedangkan Fitri lebih suka membaca novel romantis. Perasaan suka pada Afash mulai hadir di hati Fitri saat pertemuan mereka beberapa kali di sanggar teater yang sama-sama mereka ambil sebagai kegiatan kemahasiswaan. Fitri dan Afash acap kali dijadikan sebagai pasangan kekasih di dalam setiap drama percintaan yang mereka mainkan. Bila diperhatikan dari sudut pandang wanita, cara Afash memperlakukan Fitri memang terlihat seakan juga merasakan hal yang sama. Pemuda itu selalu memperlakukannya dengan istimewa. Sebagai seorang wanita yang sangat mengandalkan perasaan, memang tak salah bila ia merasa bahwa Afash juga mencintainya. Namun, mungkin sudut pandang Afash berbeda. Ia memperlakukan hal yang sama pada gadis-gadis lain. Mungkin Afash memang menganggap bahwa setiap gadis adalah makhluk yang istimewa. *** Fitri terus memandangi pemuda yang sedang didandani itu. Sosok tersebut adalah pasangan bermainnya dalam drama yang akan mereka tampilkan di acara Dies Natalis universitas tempat mereka menimba ilmu. Entah kenapa hatinya terus berbunga-bunga setiap kali memandang si pemuda. Jatuh cinta. Iya. Dirinya sedang jatuh cinta. Fitri kemudian mengambil sebuah diari dan mulai menulis. Kata awal yang ditulis adalah “AFASH”, nama orang yang membuatnya jatuh cinta. Ia mengambil kamera dan memotret nama itu. Kemudian, melanjutkan mencurahkan apa yang dirasakannya. Gadis berambut sebahu itu menggerakkan penanya sambil tersenyum-senyum sendiri. “Fitri, giliran kamu,” ujar pemuda tersebut—yang tadi dipandanginya—setelah selesai didandani. Sementara Fitri masih berkutat dengan diari. Si pemuda penasaran dengan apa yang sedang ditulis lawan mainnya itu, sehingga ia mendekati. “Lagi nulis apa, sih?” Fitri sangat kaget saat tokoh yang sedang diceritakannya dalam diari, telah berada di dekatnya. Beruntung ia segera menyembunyikan benda itu sebelum mata pemuda tersebut berhasil menelusuri apa yang ditulisnya. “A-aku ... lagi ... nu-nulis novel, Bang Afash.” Fitri benar-benar salah tingkah. Ia sangat gugup ketika harus berbohong. Namun, apabila memilih untuk jujur tentu akan membuatnya malu. “Oh. Kamu suka nulis, ya?” Afash melirik Fitri, membuat gadis itu semakin tak kuasa menahan degup jantungnya. “I-iya. Su-suka banget, Bang." “Keren. Boleh, dong, aku baca?” “Nanti kalo udah kelar aja, Bang. Sekarang giliran Fitri didandanin, kan, Bang? Fitri ke sana dulu, ya.” Fitri bergegas meninggalkan Afash. *** Fitri mencari sesuatu dari dalam tas. Ia kehilangan diari yang kemarin sedang ditulisnya. Gadis itu mencoba menanyakan pada teman-teman sekelas, tetapi tak ada yang mengaku telah menemukan benda tersebut. Fitri menjadi sangat panik. Dengan terburu-buru ia menuju ruang teater, tempat dirinya menulis diari itu kemarin, dan menanyakan pada semua orang di ruangan tersebut, tetapi tetap sama. Tak ada yang merasa telah menemukan benda itu. Sementara, Afash yang juga ada di sana—melihat Fitri kebingungan— segera mendekatinya. “Fit, nanti sepulang kuliah sibuk enggak?” Pertanyaan pemuda itu membuat jantung Fitri terasa berdegup kencang. “E-enggak, Bang. Memangnya ada apa, ya?” Fitri terlihat penasaran. “Ikut sama aku, yuk,” ajak pemuda itu sambil tersenyum. “Ke mana, Bang?” “Nanti kamu juga tahu.” Afash mengacak-acak rambut Fitri. Untuk pertama kali ia berani seperti itu. Entah apa yang telah membuatnya tiba-tiba bersikap demikian. Memang dirinya selalu memperlakukan Fitri dengan spesial. Namun, tak pernah semanis kali ini. *** Di sebuah taman. Sepasang sejoli sedang berduaan. Afash dan Fitri. Terlihat Afash dengan berani meraih dan menggenggam tangan gadis yang duduk di sebelahnya itu. Fitri hanya membiarkan hal tersebut. Ia merasa sangat bahagia. Jantungnya terasa bergemuruh. Mungkinkah Afash juga telah jatuh cinta padanya? Kenapa tiba-tiba? Namun, Fitri tak memedulikan hal tersebut. Ia hanya merasa bahagia dengan perlakuan manis seseorang yang baginya adalah cinta pertama. “Fit, kamu udah punya pacar?” Afash menatap Fitri lekat. “Be-Belum, Bang.” Fitri terlihat salah tingkah. “Berarti masih ada kesempatan buat aku, dong?” Afash menatap mata Fitri dalam-dalam. Fitri tersenyum. Ingin sekali ia mengangguk dan mengiyakan pertanyaan itu. “Mmm ....” Belum sempat melakukan hal tersebut, Afash memotong pembicaraan. “Fit, sebentar lagi kita, kan, diwisuda, jadi Abang berniat untuk segera menikah.” Pemuda itu tersenyum. “Memangnya Abang sudah siap?” “Insyaallah siap. Oh ya, Abang mau nanya pendapat kamu. Jika seandainya dilamar seseorang yang kamu suka, sementara kamu baru saja diwisuda apa kamu akan menerima lamaran tersebut?” Pemuda itu menatap kedua bola mata Fitri yang bulat dan jernih. Pertanyaan Afash membuat Fitri salah tingkah. Apalagi jika melihat keromantisan si pemuda yang di dalam khayalannya adalah pangeran tampan berkuda putih yang hendak melamar dirinya. Perasaan Fitri seakan bersorak girang dan berjingkrak-jingkrak. Ia membayangkan dirinya adalah seorang putri dan Afash adalah pangerannya. Betapa indah menjadi seorang permaisuri di singgasana kerajaan. “Fit ... Fitriii.” Tangan Afash melambai naik turun di wajah Fitri. Bayangan pemuda berkuda putih—yang sedang memasangkan cincin di jemarinya—kini berganti dengan pemuda tampan yang tengah bingung melihat gadis yang berdiri di hadapannya itu tiba-tiba tersenyum-senyum sendiri. “Insyaallah Fitri siap, Bang. Memangnya siapa gadis yang akan Bang Afash lamar?” Suara Fitri bergetar. Ia gemetar karena salah tingkah. “Mmm ... besok Bang Afash cerita lagi, ya,” ujar pemuda itu dengan senyuman misterius menggantung di bibirnya. Pangeran berkuda putih kembali menyimpan cincinnya. Ia belum siap untuk melamar sang putri. Mungkin ia takut jika nanti sang putri akan menolaknya. Dua sejoli itu meninggalkan taman yang kali pertama mereka kunjungi bersama-sama tersebut. Tempat indah yang seakan menjadi saksi keromantisan kisah mereka, yang ikut penasaran dan menunggu sang pangeran melamar sang putri. *** Fitri yang baru saja sampai di depan pintu kelas segera disambut oleh Afash. Gadis itu bingung melihat seorang pemuda—yang bukan teman sekelasnya—sudah berada di sana sambil tersenyum-senyum. Fitri memperhatikan sekitar. Hanya ada ia dan Afash. Belum ada teman yang datang. Ia sangat gugup, apalagi jika teringat dengan yang kemarin dikatakan oleh pemuda tersebut. Ditambah lagi dengan sikap Afash yang terlihat sedang merahasiakan sesuatu di tangan yang bersembunyi di balik punggungnya. Ya ampun. Bang Afash akan melamarku sekarang? “A-ada apa, Bang, pagi-pagi udah nyamperin Fitri?” Fitri membuka pembicaraan. Suasana saat itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia berusaha mengatur napas. Gemuruh jantung membuatnya sesak. Perasaan campur aduk antara cemas, penasaran dan bahagia. Ia sangat yakin Afash akan melamarnya saat itu. Afash menatap Fitri dalam-dalam. Tangan yang bersembunyi di balik punggungnya terlihat bergerak-gerak. Setelah berhasil menyimpan benda yang dirahasiakan itu, Afash meraih kedua tangan Fitri dan menggenggamnya. Semakin kencang gemuruh jantung Fitri. Ia salah tingkah. Entah kenapa gadis itu merasa semuanya membeku. Ia tak berani menggerakkan badan. Bahkan poni yang panjang sudah jatuh ke mata, dibiarkan saja oleh gadis itu. Afash melepaskan genggamannya. Dengan lembut pemuda itu merapikan poni dan membelai rambut Fitri. Tentu saja gadis itu semakin tak mampu berkata-kata. Kemudian, perlahan Afash mengeluarkan benda yang disembunyikannya. Setangkai mawar merah. Tentu saja Fitri sedikit kecewa karena yang dibayangkannya adalah kotak kecil yang menyimpan sebuah cincin. Namun, ia tak ingin memperlihatkan kekecewaan itu dan berusaha untuk tersenyum. “Mawar ini buat Fitri, Bang? Wah. Makasih, ya, Bang Afash.” Fitri meraih bunga indah itu dari tangan Afash dengan semringah. “Eits, tunggu dulu. Kamu enggak nanya kenapa Abang kasih mawar?” Afash membuat Fitri mengernyit. “Ke-kenapa?” “Soalnya hari ini Abang bahagia banget, Fit. Alhamdulillah, Nabila menerima lamaran Abang. Jadi mawar ini adalah hadiah buat kamu karena selama ini udah baik banget sama Abang.” Kalimat yang disampaikan Afash membuat getaran cinta di hati Fitri seketika berubah wujud menjadi luka. Fitri tercenung. Gadis yang dilamar Afash bukan dirinya. Ternyata selama ini kedekatan mereka tak memiliki makna apa-apa di hati Afash. Perasaan pada pemuda itu hanya bertepuk sebelah tangan. Bulir bening tanpa ia sadari merembes dari matanya. Nabila adalah mahasiswi jurusan Psikologi, satu angkatan dengan Fitri. Ia memang pernah mendengar desas-desus yang mengatakan bahwa Afash dan Nabila memiliki hubungan istimewa. Namun, karena Afash selalu bersikap manis padanya, membuat Fitri tak memercayai gosip tersebut. Ia sangat yakin bahwa dirinya dan Afash memiliki rasa yang sama. Langit saat itu memang mendung, tetapi tak lebih parah dari hati yang hujan. Fitri melangkah dengan gontai, meninggalkan kampus dan menuju terminal. Hari itu Afash tak lagi mengantarnya karena pemuda itu sudah sibuk bersama Nabila. Pangeran berkuda putih di dalam khayalannya kini membonceng seorang putri dari kerajaan lain. Fitri ibarat merpati kecil yang terluka, sayapnya terasa berat dan sulit untuk dikepakkan. Ia baru saja menikmati umpan lezat yang ternyata bukan untuknya. Ia teracuni oleh perasaan sendiri. Rasa yang hanya fatamorgana. Terasa ada tapi tak nyata. *** PLETAK! “Astagfirullahal’adzim.” Fitri sangat kaget mendengar suara itu—sebuah buku jatuh dari rak. Tersadarlah ia bahwa dirinya tengah melamun. Luka dari cinta pertama yang tiba-tiba muncul, membuat air matanya kembali terpancing untuk keluar. Fitri menyeka bulir hangat di pipinya itu, kemudian meletakkan kembali buku yang masih digenggamnya tersebut ke atas rak dan memungut buku yang jatuh barusan—yang menyadarkan ia dari lamunan bodoh itu—kemudian kembali fokus dengan apa yang akan ia lakukan, yaitu mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa ke Jepang. Menjadi pemenang lomba menulis naskah film pendek—yang menceritakan tentang keindahan wisata alam di Jepang—diselenggarakan oleh sebuah rumah produksi film yang bekerjasama dengan salah satu universitas swasta di Jepang, Universitas Waseda, adalah sebuah anugerah bagi Fitri. Alangkah tak terkira bahagia yang dirasakannya karena hadiah dari lomba tersebut adalah beasiswa untuk kuliah di universitas yang sangat prestisius tersebut. Impiannya untuk bisa melanjutkan S2 di Negeri Matahari Terbit akan segera terwujud. Tokk! Tokk! Tokk! “Unii! Udah selesai?” Aisyah—adiknya yang masih duduk di kelas tiga SMP—memanggil dari luar diiringi suara ketukan pintu. “Iya, bentar lagi,” jawab Fitri seraya menutup ritsleting koper yang telah bersedia memuat barang bawaannya itu. Ia menarik koper besar tersebut keluar beserta tas kecil berisi kamera yang menggantung di lehernya. Ibu, Aisyah, Pakwo Imran dan istrinya telah siap untuk mengantarkan ke bandara. *** Bandara Internasional Minangkabau. “Fitri jangan lupa selalu berdoa, salat jangan sampai tinggal, jangan telat-telat makan lagi, ya,” ujar sang ibu yang sejak beberapa hari ini terlihat tak bersemangat. Bagaimana tidak? Ibu mana yang tak sedih saat melepas anaknya yang akan pergi jauh? Apalagi jika sang anak selama ini tak pernah luput dari pandangannya. Fitri menghambur memeluk sang ibu. Pecahlah tangisan mereka.. “Uni, jangan lupa sama Adek, ya.” Sang adik ikut bergabung dalam pelukan itu. Isak tangis mereka membaur dalam dekapan perpisahan. Dalam keadaan yang masih tersedu, Fitri melepaskan pelukan itu perlahan seraya menyeka air matanya dan beralih mendekati Pakwo Imran dan sang istri. “Pakwo, Makwo. Fitri pamit, ya.” Fitri menyalami pasangan suami istri yang merupakan orang tua kedua baginya itu. “Fit, pasan Pakwo, elok-elok di nagari urang. Kau padusi hati-hati bagaua. Pandai-pandai mamiliah kawan.”Pakwo Imran menasihati. “Iya, Pakwo. Selalu doakan Fitri , ya.” Drama perpisahan yang mengharukan. Air mata semakin berduyun-duyun saat Fitri menarik koper meninggalkan keluarga tercinta. Gadis itu melambaikan tangan. Terbayang olehnya sang ayah—yang sudah meninggal dua tahun yang lalu—juga ikut melambai di atas kursi roda. *** Footnote : “Fit, pasan Pakwo, elok-elok di nagari urang. Kau padusi hati-hati bagaua. Pandai-pandai mamiliah kawan : Fit, pesan paman, baik-baik di negeri orang. Kamu perempuan hati-hati bergaul, pandai-pandai memilih kawan. Pakwo/makwo : Paman/Bibi
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN