Hatsukoi

3300 Kata
Setelah proses menulis yang cukup lama. Akhirnya, novel pertama Fitri berhasil diterbitkan. King yang merupakan seorang sutradara tertarik untuk mengangkat cerita di novel Fitri ke layar lebar. Fitri sangat bahagia saat pemuda yang baru enam bulan menikah itu mengajaknya untuk bekerjasama menggarap film tersebut. Mereka berangkat ke Jepang untuk melaksanakan syuting bersama rombongan yang akan menggarap film tersebut. Tak ketinggalan, King mengajak serta istri tercinta yang tengah mengandung buah hati pertama mereka. Mereka terbang ke Negara Sakura dengan perasaan sukacita. Apalagi untuk Adelle yang baru pertama kali ke Jepang dan tentu saja juga untuk Fitri yang sangat merindukan negara itu. Banyak kenangan manis yang sangat ingin ia ulang di sana. Termasuk kenangan bersama seseorang yang pertama kali ditemuinya di Shinjuku Gyoen. "Takashi-san, ogenki desuka? *** Fitri baru selesai mandi pagi. Dengan masih mengenakan handuk ia membuka jendela kamar hotel—tempatnya menginap selama berada di Jepang—cahaya sang mentari dan juga udara pagi Kota Tokyo menyeruak masuk. Kehangatan cahaya langit langsung menyapa tubuhnya yang kedinginan setelah bersentuhan dengan air. Fitri yang saat itu sedang mengeringkan rambutnya itu, melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Jadwal syuting perdana filmnya akan dilaksanakan pukul setengah satu siang—di bandara Haneda—sehingga masih ada beberapa jam lagi untuknya bersantai sejenak, menikmati waktu senggang di Jepang. “Sebentar lagi Shinjuku Gyoen akan dibuka, apa aku ke sana aja kali, ya?” gumam Fitri sambil mengambil ponselnya yang terletak di dalam tas hitam kecil di atas meja. Fitri mengirimkan pesan pada King, meminta izin untuk mengunjungi Shinjuku Gyoen. Tanpa ditemani siapa pun ia akhirnya kembali bertemu dengan tempat yang paling dirindukan di Jepang itu, taman indah dan kenangan yang sangat manis. Untuk kedua kalinya Tanah Sakura kembali ia pijak setelah kurang lebih empat tahun yang lalu ia tinggalkan. Rasa rindu pada negeri yang pernah memberikannya banyak kisah itu sedikit terobati. Shinjuku Gyoen, tempat paling berkesan di hatinya. Tak bisa dipungkiri bahwa ia sangat rindu pada pemuda yang pernah bertemu dengannya di sini. “Takashi-san, bagaimana kabarmu sekarang?” Fitri bergumam lirih seakan pemuda itu sedang berdiri di dekatnya. Fitri memicingkan mata, menengadahkan tangan dan bergumam di dalam hati. Ya Allah, berdosakah jika hamba merindukan dan mengharapkan kehadirannya? Ampuni hamba, Ya Allah. Sungguh hanya Engkau yang tahu tentang keinginan ini. Fitri tak bisa memungkiri bahwa hatinya mengucapkan doa pertemuan dengan Takashi. Ia tiba-tiba tersentak, membuka kedua mata, kembali fokus memperhatikan keindahan Shinjuku Gyoen, seakan barusan dirinya tengah berada di alam bawah sadar. Dirinya lantas menggeleng-geleng, mengalihkan hal yang barusan dipintanya pada Allah. "Astaghfirullahaladzim. Ya Allah, ampunilah hamba atas permintaan tak pantas ini," gumamnya pelan, kemudian meraih ponsel dari dalam tas. Ia mencari kontak Jill dan menghubungi sahabatnya itu. “Jill, coba kamu lihat sekitarku, kamu tahu aku ada di mana sekarang?” “Wah, kamu di Shinjuku Gyoen, ya? Kapan kamu ke Jepang? Kenapa tidak memberitahuku?” Jill memberengut. “Kemarin. Aku sengaja tidak memberitahumu karena aku ingin memberimu kejutan. Kamu bingung kenapa aku bisa ada di sini sekarang, ‘kan?” “Aku tahu. Kamu ingin menyampaikan perasaanmu pada Ume-san, ‘kan?” Jill menebak. “Apa-apaan kamu ini Jill? Aku ke Jepang karena ada syuting di sini. Film pertamaku, Jill. Jadi, tolong jangan bahas itu lagi!” Fitri menegaskan, ia terlihat tak senang dengan tebakan Jill. “Wah, selamat, ya, Fitri. Kalau begitu aku beritahu Ume-san, ya?” “Tidak usah, Jill,” “Kenapa? Ayolah.” “Tidak ada apa-apa, kok. Oh ya, datanglah ke sini Jill.” Fitri mengalihkan pembicaraan. “Mmm ... baiklah, aku akan segera ke sana, ya.” *** Takashi melihat ponselnya berkelip-kelip. Sebuah panggilan video dari Jill. “Hallo, Jill.” Takashi melambaikan tangan ke arah layar ponselnya. “Fitri ada di Shinjuku Gyoen sekarang, Ume-san.” Jill memulai pembicaraan. “Benarkah? Wah, dia bersama suaminya, ya? Mereka merayakan bulan madu di sini? Aku ingin sekali bertemu dengannya, tapi tak ingin mengganggu. Oh iya, kenalkan ini Anna, pacarku,” ujar Takashi sambil memeluk gadis di sebelahnya yang juga merupakan seorang bule. “Pacar?” Jill sangat kaget mendengar apa yang barusan disampaikan Takashi. Ia sangat kecewa karena ternyata apa yang dikatakan Fitri benar. Takashi tak mencintai Fitri.“SHIIIITT!” Jill mengumpat. “Hei, Jill, what’s going on?” “So-sorry! Aku hanya ingin mengatakan bahwa Fitri tidak jadi menikah. Dia sekarang sendiri di Shinjuku Gyoen! Okay ... bye.” Jill segera memutuskan panggilan videonya. Ia terlihat sangat emosi. Takashi terdiam setelah mendengar informasi dari Jill. Gadis bule bernama Anna yang tadi dikatakan sebagai pacarnya itu mendekati Takashi. “Takashi, what’s going on? Siapa gadis tadi? Kenapa kamu mengatakan bahwa aku adalah pacarmu? Jika pacarku mendengarnya kamu bisa dimutilasi!” Gadis bernama Anna itu terlihat kesal. “Maaf Anna. Aku meminjam namamu tadi. Aku mau pergi sebentar, titip mobilku, ya.” Takashi bergerak keluar dari rumah gadis itu. “Where are you going?” Bagaimana dengan pemotretannya?” teriak Anna. “Shinjuku Gyoen. Aku janji besok akan memotretmu. Tidak perlu dibayar. Oh my god, i am so happy, Anna. Bye, Darling.” Takashi melambaikan tangan. Sementara itu Anna terlihat bingung melihat tingkah aneh Takashi. “Ke mana dia? Dasar orang aneh, kenapa dia tiba-tiba menjadi girang, padahal tadi seperti mayat hidup!” gerutu Anna. *** Sakura yang rontok seakan berlari-lari dikejar angin. Kali ini bunga indah itu tak membelai wajah Fitri—seperti kali pertama ia ke taman itu—kembang merah muda itu lebih memilih untuk mendarat di tempat yang pernah didudukinya dua tahun yang lalu bersama ... “Takashi-san,” ucapnya lagi-lagi lirih. Ia mengambil kamera dan memotret tempat duduk yang sedang membawa imajinya terbang menuju masa lalu tersebut. KLIK! Lagi-lagi, suara dari sebuah kamera mengagetkannya. Namun, ia tak mampu memutar arah tubuh seakan sudah tahu siapa yang sedang berdiri di belakang dan telah mengambil gambarnya. “Su-suada-chan.” Seseorang memanggil Fitri dengan suara bergetar. Fitri sangat mengenal suara itu. Jantungnya berdegup tak keruan. Ia menghela napas panjang dan membalikkan badan yang tiba-tiba terasa berat. Sesuai dugaan, pemuda itu kini berdiri di hadapannya mengukir sebuah senyuman. Senyuman yang membuat gemuruh di hatinya semakin semangat untuk berdentum. “Ohisashiburi, Ta-Takashi-san. Kabar saya baik. Ka-kamu?”Fitri membalas pertanyaan Takashi dengan terbata-bata. Ia tak berani menatap pemuda bermata sipit itu. Fitri benar-benar tak menyangka jika dirinya akan kembali bertemu dengan Takashi. Pertemuan yang membuat perasaan campur aduk. Entah sadar atau tidak Fitri terlihat meremas-remas jemarinya. Ia sangat gugup. “Se-seperti yang kamu lihat. Senang bisa berjumpa lagi denganmu.” Tak ubah dengan Fitri, Takashi pun terlihat salah tingkah. Apalagi setelah sosok yang dirindukan itu berdiri di hadapannya. Bagaimana ini bisa terjadi? Mana mungkin ini kebetulan? Tidak, hidup tidak sedrama ini.... “Pe-pertemuan ini bukan ... bukan sebuah kebetulan, ‘kan?” Fitri menyelidik. Kali ini suaranya tak begitu terdengar gugup, meskipun masih sedikit terbata-bata. Ia berusaha untuk bersikap biasa saja. “Apakah kamu akan percaya jika saya bilang ini kebetulan?” Takashi menilik. “Jill, ‘kan?” tebak Fitri. “Kamu marah jika iya?” “Ngg ... tidak, kok. Kenapa saya harus marah? Oh ya, saya ikut berduka cita atas meninggalnya Hamasaki-san dan obaasan,” ujar Fitri akhirnya berhasil mengungkapkan kalimat panjang tanpa terbata-bata, tetapi ia masih belum berani mengarahkan pandangan pada lawan bicaranya itu. Ia mengarahkan fokus matanya ke deretan pohon sakura—yang tumbuh tak begitu jauh dari tempat mereka berdiri—yang sama-sama dipenuhi kelopak merah muda. “Oh terima kasih, Suada-chan, pasti Jill yang memberitahumu,” tebak Takashi. Pemuda itu melirik Fitri yang masih memandangi sakura. “Oh ya, sa-saya ingin minta maaf padamu, Suada-chan,” ujar Takashi lagi. “Minta maaf? Memangnya kamu salah apa?” Fitri mengedutkan keningnya dan refleks ia mengarahkan pandangan pada Takashi. “Karena malam itu saya sudah lancang memegang tanganmu.” Takashi membungkukkan badannya. Fitri terdiam sejenak teringat saat pemuda itu meraih tangannya. Ia memang sangat marah malam itu. Namun, saat ini dirinya sudah tak memikirkan kesalahan Takashi lagi. Fitri mengeja senyum. “Iya, Takashi-san. saya sudah memaafkanmu. Oh ya, bagaimana kalau kita bahas yang lain saja? Yang lalu biarkanlah berlalu. Ngomong-ngomong, ini kamera baru, ya? Kamera lamamu mana?” Fitri menunjuk kamera yang berada di tangan Takashi. “Oh, kamera saya yang lama rusak. Saya terpeleset dan kamera itu jatuh,” jawab Takashi sekenanya. Seandainya Shinjuku Gyoen bisa bicara. Pasti ia akan memberi tahu Fitri apa yang sebenarnya terjadi pada kamera malang itu. “Oh ya, boleh saya menanyakan sesuatu?” Takashi sama sekali tak tertarik untuk membahas tentang kamera. “Menanyakan apa?” Fitri mengernyit. “Pemuda yang melepasmu di bandara waktu itu siapa?” Takashi memasang wajah penasaran. “Bandara?! Memangnya kamu datang waktu itu?” Fitri sangat heran mendengar pertanyaan Takashi. “Iya, tapi saat melihat pemuda itu datang saya langsung pergi. Takut pemuda itu marah.” “Memangnya kenapa? Oh ya, pemuda yang kamu lihat itu namanya King. Dia adalah teman saya.” “Syukurlah bila Suada-chan dan pemuda itu hanya berteman.” Takashi terlihat sangat lega setelah mengetahui bahwa King bukan calon suami Fitri. Tiba-tiba dirinya teringat dengan foto tulisan nama Afash yang ia temukan di galeri kamera Fitri saat kali pertama mereka bertemu. “Mmm … bagaimana dengan yang bernama Afash? Apakah dia itu calon suamimu?” Takashi menilik. “A-Afash? Bu-bukan. Dia hanya senior saya saat kuliah. Eh ... tapi, bagaimana kamu tahu bahwa saya mempunyai teman bernama Afash?” Fitri kembali mengernyitkan dahi. “Mmm ... aduh kenapa saya malah menginterogasimu, ya? Sudah lupakan saja. Kita bercerita sambil keliling-keliling, bagaimana?” ajak Takashi. “Oke. Tapi kamu belum jawab, loh. Kamu, kok, bisa mengenal Afash?” Fitri menilik. Sementara Takashi hanya mengangkat bahu, tersenyum dan kemudian bergerak meninggalkan tempat itu sambil memberi isyarat agar Fitri mengikuti langkahnya. Ia merasa tak perlu menjelaskan pada Fitri dari mana dirinya mengenal nama Afash, karena yang dibutuhkannya hanyalah mengetahui bahwa pemuda bernama Afash itu bukan calon suami Fitri. Dan mendengar jawaban gadis berjilbab itu ia sudah sangat senang. Mereka kembali mengitari Shinjuku Gyoen seperti saat pertama kali bertemu. Namun, kali ini perjalanan itu terasa sangat kaku. Terlalu banyak jeda dalam setiap kalimat yang mereka lontarkan. “Suada-chan. Apa bagimu yang lalu sudah berlalu begitu saja?” tanyaTakashi kepada gadis yang berusaha menyamakan langkah dengannya. “Maksud kamu?” “Boleh saya tanya sesuatu?” “Ngg ... silakan.” Fitri mengangguk. “Kamu tahu apa penyebab Akane meninggal?” Fitri tak mengeluarkan suara. Ia hanya mengernyitkan dahi. Takashi merogoh sesuatu dari saku celananya. “Karena ini.” Takashi memberikannya pada Fitri. Fitri mengambil benda yang tak lain adalah sebuah foto. Foto yang sudah diremuk, dirobek dan disambung lagi dengan selotip. “Foto saya?” Fitri terlihat semakin bingung. “Iya. Akane bunuh diri setelah membaca tulisan di belakang foto itu. Saya merasa sangat bersalah. Namun, saya juga tidak bisa membohongi diri saya sendiri.” Fitri membalikkan foto tersebut dan membaca tulisan yang tertera di sana. “You have brought my first love” Fitri menelan ludah untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering. Jantungnya berdegup kencang saat membaca tulisan yang ditulis pemuda tersebut. Fitri merasa tubuhnya gemetar, tangannya sangat dingin. Keringat mengaliri kening dan punggung. Ia berusaha untuk tetap tenang. “Kasihan sekali Akane. Dia pasti sangat terluka, sehingga dia merobek foto ini. Maafkan saya.” Fitri membungkukkan badannya. Takashi tersentak mendengar penuturan Fitri. “Akane hanya meremuknya. Se-sebenarnya saya yang merobek foto itu. Ta-tapi saya ... bi-bisa jelaskan,” ujar pemuda itu terbata-bata. “Ke-kenapa dirobek?” Fitri melirik Takashi. “Dan, kenapa disambung lagi?” Gadis itu kembali melontarkan pertanyaan. “Mmm ... baiklah. Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya padamu, Suada-chan.” Takashi terlihat yakin. Fitri menelan ludah. Jantungnya kembali berdegup kencang. Ia seakan sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan Takashi. “Suada-chan, saya sudah belajar untuk mencintai Akane. Jujur saja, saya sangat merasa kehilangan saat Akane meninggal dan membawa calon bayi saya. Namun, jika boleh jujur lagi, mungkin ini terdengar sangat egois, saya lebih merasa kehilangan saat kamu meninggalkan saya dan akan menikah dengan orang lain. Dan sekarang, saya sangat bahagia mendengar kabar tentang pernikahanmu yang dibatalkan. Saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan hari ini. Saya ingin ... saya ingin menikahimu, Suada-chan. Apa kamu bersedia menerima lamaran ini?” ungkap Takashi dengan lancar. Pemuda itu mengeluarkan cincin yang sudah lama ia persiapkan untuk menyambut pertemuan yang sangat diharapkannya ini. Sementara itu Fitri masih terdiam, matanya menerawang. “Tolong jawab, Suada-chan,” pinta Takashi sedikit memohon. “Tapiii....” “Tapi apa? Apa ada orang lain di hatimu?” Seketika sorot mata Takashi berubah sayu saat membayangkan Fitri mencintai laki-laki lain. “Bu ... bukan Takashi-san. Kita ... kita tidak mungkin bisa menikah....” Fitri terlihat ragu-ragu. “Kenapa? Apa karena saya bukan orang Islam?” Takashi menebak. Fitri menatap Takashi dengan rasa bersalah, kemudian mengangguk. “Siapa bilang saya tidak Islam? Memang tidak ada yang tahu selain obaachan dan Allah. Saya sudah membaca syahadat, kok. Itu syarat utamanya, ‘kan?” Takashi tersenyum bangga. “Benarkah?” Alis Fitri terangkat. Ia kaget dan sedikit tak percaya dengan jawaban Takashi. Sontak langkahnya terhenti. Kemudian menatap Takashi penuh selidik. “Tentu saja. Kamu tidak percaya? Kalo gitu, ayo dengarkan dan ikuti saya, ya,” pinta Takashi. “Asyhadu....” “Asyhadu....” “Allaillaha....” “Allaillaha...." “Illallah....” “Illallah....” “Wa asyhadu....” “Wa asyhadu ... tunggu-tungu, kok, jadi seakan saya yang mualaf, ya?” Fitri tertawa saat dirinya dipandu oleh Takashi untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Takashi ikut tertawa dan melanjutkan menyelesaikan kalimatnya. Fitri sangat bahagia mendengar pemuda itu lancar membaca dua kalimat suci tersebut. “Siapa yang mengajarkanmu membaca syahadat?” “Islam adalah cinta pertama saya. Jadi bukan hal yang sulit untuk mencaritahu tentangnya. Saya mempelajarinya dari internet. “Masyaallah. Saya bahagia mendengarnya. Mmm ... jadi, kata ‘HATSU KOI’ di mukena yang kamu berikan buat saya itu ditujukan buat Islam, ya?” tanya Fitri. “Kamu sudah tahu arti tulisan kanji itu, ya? Iya, deh, saya ngaku ... Islam is my first love.” “Ngomong-ngomong kapan pertama kali kamu membaca syahadat?” “Sebenarnya sudah lama. Sejak setelah saya meneleponmu ketika Jill melahirkan.” Fitri mencoba memutar memorinya saat Takashi meneleponnya. "Oh iya, saya ingat. Kamu bilang akan mengatakan sesuatu, ‘kan?” “Iya. Saat itu saya ingin mengatakan bahwa saya akan masuk Islam dan ingin kamu menjadi saksi saat saya membaca syahadat. Tapi, setelah itu saya tidak mendengar kabarmu lagi. Makanya saya cari saja sendiri di internet tata cara masuk Islam dan obaachan sebagai saksinya. “Jadi saat wisuda saya, kamu sudah membaca syahadat?” tanya Fitri. Takashi mengangguk penuh keyakinan. “Dan karena cinta saya pada Islam makanya saya meninggalkan Akane. Tapi, sayang saya sudah telanjur berdosa padanya.” Takashi mengenang. “Ya ampun. Jadi aku telah salah paham?” ujar Fitri sangat pelan, tetapi ternyata didengar Takashi. “Salah paham kenapa, Suada-chan?” Takashi mengernyitkan dahi. “Ng ... lupakan saja. Oh ya. Maafkan saya, ya. Ngomong-ngomong kamu sudah hapal bacaan salat?” “Belum. Jujur saja saat Suada-chan pergi, saya merasa kehilangan semangat.” Takashi melirik Fitri dan lagi-lagi ia tersenyum. “Gombal kamu.” Fitri salah tingkah dan mengalihkan wajah, menyembunyikan pipinya yang merona. “Tidak. Saya mengatakan apa yang saya rasakan. Saya jatuh cinta pada Islam dan saya jatuh cinta pada gadis yang mengenalkannya pada saya.” “Eh ... kita bahas yang lain saja.” Fitri salah tingkah. “Jawab dulu, dong. Will you marry me?” Takashi mendesak. Dengan refleks pemuda itu berlutut di hadapan Fitri dan mengeluarkan kotak kecil berisi cincin dari saku celananya. “Eh. Mmm ....” Fitri menundukkan kepala. Entah bagaimana bisa bibirnya terasa membeku padahal cuaca sama sekali tak dingin. Air mata bahagia mengalir di pipi. Ia benar-benar ingin menerima Takashi. Namun, tiba-tiba ada yang mengganjal di hati dan pikirannya. Keraguan untuk menerima atau pun menolak lamaran itu kembali mencuat. Keraguan menerima sebab keislaman Takashi yang terkesan sangat instan dan keraguan menolak karena tak bisa dipungkiri bahwa ia sangat menginginkan pernikahan itu, apalagi jika melihat pemuda oriental yang sangat berharap lamarannya akan diterima. Kebingungan membuat Fitri tak kunjung memberi jawaban. Ia bergeming cukup lama, membuat Takashi penasaran dan membuka suara. “Suada-chan? Kamu tetap tak bisa menerima saya meskipun saya sudah mualaf? Kalau begitu baiklah ... wakatta.” Pemuda bermata sipit itu berdiri, tetapi kepalanya menunduk. Ia benar-benar kecewa. Penantiannya sekian lama tak berarti apa-apa. “Oh ya, ngomong-ngomong terima kasih sudah memperkenalkan saya dengan Islam. Saya berjanji akan selalu mencintai Islam. Sebelum kamu kembali ke Indonesia bisa ajari saya salat?” Takashi berusaha menutupi kekecewaannya. Ia berusaha berpikir positif. Meskipun tak mendapatkan Fitri, dirinya sudah mendapatkan Islam. Agama terbaik yang ia yakini akan membawanya pada kebenaran yang hakiki. Fitri yang sebenarnya sudah memutuskan sebuah jawaban terbaik—menurutnya—tetapi tetap ia simpan sampai Takashi selesai berbicara. Setelah ia pastikan bahwa Takashi tidak akan mengatakan apa pun lagi barulah dirinya mengambil alih. Gadis itu tersenyum, membuat pemuda di hadapannya itu semakin terluka. Setelah menolak seorang pemuda dirinya masih bisa tersenyum manis. Jahat sekali memang. Namun, Fitri punya jawaban yang memberi harapan tentunya. “Saya tidak menolak kamu Takashi-san. Saya hanya ingin menangguhkan menerima. Saya ingin kamu memperbaharui syahadatmu di depan saksi dengan dibimbing seorang ustaz. Dan juga ... sampai kamu bisa mengerjakan salat. Mmm ... tapi itu terserah kamu, sih. Hanya saja saya mensyaratkan itu.” Fitri sangat yakin dengan keputusannya. Mendengar apa yang barusan dikatakan Fitri, Takashi seperti mendapat harapan besar. Mata minimalisnya berkaca-kaca. Dirinya sangat bahagia. “Suada-chan, saya sedang berusaha untuk ikhlas bila saya tidak bisa bersamamu. Saya sangat ingin memperbaiki keislaman saya. Semua akan saya lakukan. Dan mendengar keputusanmu tentu saya sangat bahagia, memiliki Islam dan kamu juga. Jadi, kapan kamu menemani saya menemui seorang ustaz?” Takashi benar-benar antusias. “Sabar dulu. Jangan buru-buru.” “Ini bukan buru-buru, Suada-chan. Bukankah niat baik tidak boleh ditunda-tunda? Oh iya, berarti kamu tetap menerima lamaran saya,’kan?” Takashi kembali berlutut di hadapan Fitri sambil kembali menyerahkan kotak kecil tersebut. Fitri memberanikan diri untuk mengangguk dan meraih kotak kecil berisi cincin peragih Takashi.Terjawab sudah semua doa mereka. “Anata wa watashi no hatsukoi, Suada-chan,” ungkap Takashi pelan. “Bohong.” Fitri berlagak cemberut. Padahal jauh di dalam hati dirinya sangat senang. “Saya belum pernah benar-benar jatuh cinta pada seorang gadis. Saya jatuh cinta untuk pertama kali padamu.” Taman hatinya yang kosong karena bunga-bunga penghuninya telah mati kini mengalami reinkarnasi. Taman itu berubah menjadi tempat terindah yang mengalir sungai madu yang ketika dicicipi rasanya sangat manis, semanis senyuman mereka yang tersungging karena bahagia yang meledak-ledak di hati masing-masing. “Oh ya, bagaimana kalau kita pergi ke apartemen Jill? Tadi dia meminta saya ke sana,” ajak Fitri. “Dengan senang hati. Jill memang menyuruh saya membawamu ke sana dan karena itu juga saya tidak membawa mobil.” “Memangnya kenapa? Apa hubungannya tidak bawa mobil dengan berkunjung ke apartemen Jill? Jill melarang tamunya pergi ke sana dengan mobil, ya?” Fitri mengernyitkan dahi. “Bukan begitu. Jika saya membawa mobil, kamu tidak akan mau pergi berdua dengan saya, ‘kan?” ujar Takashi mengeja senyum. “Oh, kamu ini masih ingat saja.” “Tentu saja saya ingat. Tidak sabar rasanya bisa jadi sopirmu.” “Memangnya kamu mau jadi sopir?” “Sopir halalmu, Nona Manis.” Ungkapan-ungkapan gombal Takashi cukup mujarab melambungkan perasaan Fitri. Ternyata lelaki memang diciptakan sebagai makhluk bermulut manis yang mampu melelehkan perasaan wanita. Meskipun ia sadar bahwa Takashi tengah merayunya, tetap saja sebagai seorang wanita normal dirinya merasa sangat tersanjung. Perasaan bahagia menggebu di hati Fitri. Apalagi karena Takashi ingat bahwa ia sangat membatasi diri untuk pergi berduaan dengan lelaki yang bukan mahramnya. Takashi benar-benar sangat menghormatinya. ***** Hatsukoi : Cinta Pertama Wakatta : Aku mengerti Anata wa watashi no hatsukoi no hito desu : Kamu adalah cinta pertamaku
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN