Terus Terang

2063 Kata
Setelah estimasi perjalanan kurang lebih dua belas jam, dari Depok ke Magelang. Kini keluarga besar Fitri sudah sampai di teras rumah King. Tangan Fitri gemetar saat akan memencet bel. Ibu dan adiknya yang berdiri di sampingnya memberi semangat. Terlihat Makdang Burhan berjalan ke arah mereka bersama Etek Maryam. Pakwo Imran dan Makwo Ratna tak bisa ikut karena kondisi Pakwo Imran yang sedang kurang sehat. “Bismillahirrahmanirrahim,” gumam Fitri seraya memencet bel. “Assalamualaikum!” “Waalaikumussalam!” Terdengar suara jawaban salam dan derap langkah kaki seseorang dari dalam rumah yang menuju pintu. Ibu Astuti tersenyum senang melihat kedatangan Fitri dan keluarganya. “Wah, calon mantu Ibu dan keluarga rupanya. Kebetulan saya lagi butuh teman bicara, nih. Ayo, silakan masuk. Ngomong-ngomong duduk dulu. Saya langsung ambilin minum dulu, ya.” Sepuluh menit berlalu, Ibu Astuti kembali membawa cangkir-cangkir berisi teh hangat dan menghidangkan untuk tamu-tamu istimewanya itu. “Silakan diminum. Ngomong-ngomong ada berita apa ya, jauh-jauh dari kota?” tanya Ibu Astuti membuka pembicaraan. “Mas King mana, ya, Bu?” Fitri celangak-celinguk. “Iswan sedang ada syuting, sebentar lagi juga pulang. Ngomong-ngomong ada berita apa, ya? Nanti saya sampaikan.” “Ini adalah masalah yang serius, jadi sebaiknya kita tunggu King dulu, Bu.” Makdang Burhan kembali bersuara. Sementara Fitri dan anggota keluarganya yang lain terlihat sangat tegang. Ibu Astuti mengernyit. “Ini ada apa, ya? Kok semuanya jadi tegang gini? Bisa ceritakan saja sekarang?” Ia terlihat mulai curiga. Makdang Burhan memberi isyarat agar Fitri menjelaskan. Sebenarnya ....” Fitri mengeja suara. “Sebenarnya saya ....” lanjut Fitri. “Sebelumnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya pada Ibu. Sebenarnya saya ... se- sebenarnya saya tidak siap untuk menjadi istrinya Mas King. Saya ... saya ingin rencana pernikahan ini dibatalkan,” ujar Fitri terbata-bata. “Apaaaa?! Apa maksud kamu?! Kamu ingin mempermalukan keluarga kami?!” Ibu Astuti berteriak. Wanita paruh baya itu terlihat sangat emosi. “Maaf, Ibu Astuti saya ikut ngomong. Tadinya saya marah banget ama keputusan ponakan saya, tapi setelah saya dengar penjelasannya, saya kagak bisa bersikeras. Terus terang ini adalah aib. Bukan buat keluarga Ibu doang, keluarga kami juga dapat malu, tapi dari pada hal begini terjadi setelah menikah, bakal lebih parah lagi,” ujar Makdang Burhan membantu Fitri menjelaskan. “Saya dan Mas King tidak saling mencintai, Bu. Mas King mencintai Adelle. Saya mohon Ibu merestui hubungan mereka.” “Saya tidak akan merestui anak saya menikah dengan orang kafir itu!” “Tapi Adelle sudah mualaf, Bu.” “Saya tidak mau setelah menikah dia kembali ke agamanya dan memengaruhi anak saya!” “Astagfirullahal’adzim, jangan suuzan, Bu.” Fitri kaget setelah mengetahui alasan ibunda King tersebut. “Saya sudah pernah bertemu Adelle, Bu. Saya lihat dia adalah seorang wanita yang baik dan salihah. Mas King sangat beruntung bila menjadi suaminya, apalagi Mas King sangat mencintai Adelle. Ibu juga tidak akan menyesal menjadi mertuanya. Percayalah, Bu.” Fitri berusaha meyakinkan Ibu Astuti agar menerima Adelle sebagai menantunya. Ibu Astuti bergeming, wanita paruh baya itu terlihat menahan amarah. Ia menerawang, tetapi terlihat dari sorot matanya ada kemarahan yang bila diibaratkan sebuah bom, akan meledak dalam waktu yang tak bisa dipastikan. “Sekali lagi saya minta maaf, Bu.” Fitri kembali mencoba mengeja suara. Ibu Astuti masih tak bersuara. “Bu Astuti, saya sebagai orang tua Fitri sangat menyayangkan sikap putri saya yang tiba-tiba membatalkan rencana pernikahan ini. Namun, bukankah akan sangat disayangkan jika pembatalan pernikahan ini tidak terjadi, tetapi membuat putra-putri kita tidak bahagia?” Ibu Fitri ikut membuka suara. “Baiklah. Jika hanya itu yang ingin kalian sampaikan, saya rasa tidak perlu menunggu Iswan pulang. Mungkin lebih baik pergi saja dari sini!” Ibu Astuti mengarahkan telunjuknya ke pintu keluar. Sontak Fitri dan seluruh keluarganya sangat kaget dengan pengusiran itu. “Maafkan saya, Bu.” Fitri masih mencoba meminta maaf, tetapi Ibu Astuti hanya bergeming dan tetap mengisyaratkan agar Fitri dan keluarganya untuk pergi. Makdang Burhan berdiri dan kembali bersuara. “Pulang, dah, Fit! Sekagaknya lu udah minta maaf.” Fitri dan keluarganya meninggalkan rumah Bu Astuti. Fitri masih mencoba berpamitan, tetapi sama sekali tak digubris oleh Ibu Astuti. *** King yang baru saja memulai kegiatan syuting dikagetkan dengan suara ponselnya yang menampilkan kontak sang ibu sedang memanggilnya. Ia segera menjawab panggilan itu. Entah apa yang sudah terjadi. “Assalamualaikum, Bu.” “Iswan. Pulanglah sekarang!” Suara keras Bu Astuti membuat King cukup kaget. Pemuda itu menjauhkan ponsel dari telinganya. “Ada apa, Bu? Iswan lagi ada kerjaan, Bu.” “Kalau kamu masih menganggap Ibu sebagai orang tuamu kamu harus pulang sekarang!” Kalimat yang diucapkan Bu Astuti terdengar sangat memerintah. King sangat bingung, tetapi sebagai seorang anak yang sangat menghormati orang tua ia pun menghentikan kegiatannya dan buru-buru menuju rumahnya. Untung saja lokasi syuting masih di Magelang, sehingga tidak akan memakan waktu lama untuk sampai di rumahnya. King terlihat ragu-ragu untuk mengetuk pintu rumahnya. Ia menduga bahwa saat ini sang ibu sedang marah. “Assalamualaikum, Bu.” King membaca salam dengan suara yang sedikit ditahan. Gurat keraguan masih terpancar di wajahnya. Terdengar derap langkah dari dalam rumah yang bergerak ke arah pintu. King mendapati sang ibu membukakan pintu. Bu Astuti mengisyaratkan King untuk mengikutinya duduk di sofa. “Ada apa, Bu?” King mengenyakkan diri di atas sofa berwarna biru tersebut. “Fitri sudah membatalkan pernikahan kalian.” Bu Astuti mulai membuka pembicaraan. Ekspresi ibunya begitu geram. “A-apa?” Kedua alis King refleks terangkat. “Lihat saja, dia tidak memberitahumu, ya? Lancang sekali. Ternyata dia tidak sebaik perkiraan Ibu.” King bergeming. Pemuda itu sangat kecewa, tetapi dirinya juga tak bisa menyalahkan keputusan Fitri. Namun, satu hal yang ia tak habis pikir adalah kenapa Fitri tak memberitahunya terlebih dahulu? *** Ponsel di saku celana King bergetar. Pemuda itu merogoh sakunya untuk mengambil benda tersebut. Sebuah pesan masuk dari nomor ponsel Fitri. [Assalamualaikum, Mas King. Saya yakin ibunya Mas King sudah cerita tentang saya yang membatalkan rencana pernikahan kita secara sepihak. Sebelumnya saya minta maaf, ya, Mas.] [Oh, iya. Nggak apa-apa Dik Fitri. Saya mengerti] King berusaha untuk bersikap bijaksana, menyadari bahwa dirinya tak perlu menyalahkan Fitri. Pertama, karena ia sangat percaya apa pun yang terjadi adalah takdir Allah. Kedua, karena juga tak menginginkan pernikahan itu. Rasa cintanya masih sangat besar pada Adelle. Secepat pesannya terkirim, secepat itu juga Fitri mengiriminya balasan. [Mas King, Saya ingin ngomong empat mata sama Mas King dan ibu. Tapi, kebetulan saya nggak bisa ke Magelang, sih. Apa Mas King ada waktu untuk kita ketemu?] [Apa Mas King ada rencana mau ke Jakarta bareng Ibu?] King bergeming sejenak memikirkan jawaban yang tepat. Ia teringat bahwa saat ini dirinya memang akan menuju Jakarta. [Mmm ... mau bahas apa, ya? Kebetulan sekali, besok saya ada syuting di Taman Karang Pola, Jaksel. Kalo memang ada hal yang perlu disampaikan. Silakan datang ke sana besok sore. Insyaallah saya akan ajak ibu saya. Sekarang lagi persiapan menuju Jakarta.] *** Adelle. Gadis cantik bertubuh tinggi semampai, berkulit putih dan berjilbab hitam itu memutar kemudi mobil dengan perasaan gusar. Sudah beberapa hari ini—setelah hubungannya dengan King kandas—perasaannya tak menentu. Apalagi bila teringat dengan hari pernikahan King dengan Fitri yang tinggal beberapa hari lagi. Ponselnya yang terletak di atas dasbor mobil berkelip-kelip. Ia melihat sebuah pesan dari nomor baru. Adelle meraih benda elektronik itu dan membacanya. [Assalamualaikum, Adelle. Bisakah kita ketemu? Ada yang ingin saya bahas. Ini penting. Saya sangat berharap kamu bisa. Please. (Fitri)] “Fitri? Ada apa, ya?” Adelle bergumam sendiri. Ia menggerakkan kemudi mobil ke tepi jalan dan berhenti di sana. Kemudian jemari lentiknya mengetik pesan balasan untuk Fitri. [OK. Ketemu di mana] Baru saja pesannya terkirim. Balasan dari Fitri langsung masuk. [Kamu sekarang di mana? Kebetulan saya sedang di perjalanan menuju Jakarta. Bagaimana jika kita ketemu di taman Karang Pola?] [OK. Kebetulan saya juga di perjalanan pulang ke Jakarta. Dari Bekasi. Maaf jika sedikit terlambat] Setelah mengirimkan pesan balasan, Adelle meletakkan ponselnya ke dasbor mobil dan kembali memutar kemudi mobil menuju Jakarta. *** Sore itu, di taman Karang Pola. Fitri sudah berada di sana sejak lima menit yang lalu. Tempat yang tak berukuran besar, tetapi orang-orang yang mengunjungi cukup ramai, pada umumnya adalah anak-anak yang didampingi kedua orang tuanya—terlebih di sudut yang terdapat beberapa wahana permainan. Ia tersenyum-senyum saat menyaksikan kebersamaan pasangan suami istri yang membantu anaknya berseluncur. Pasangan muda itu memperlakukan buah hati mereka dengan sangat manis. Si anak meluncur bebas dari wahana permainan yang menggunakan konsep bidang miring tersebut dan kedua orang tuanya bergantian menyambut dari bawah. Bila sang ayah membantu si anak naik, si ibu yang akan menyambut dan begitu sebaliknya. Fitri melirik jam di tangannya, sudah jam empat sore. Tiga orang yang sangat ia harapkan kedatangannya belum muncul. Gadis itu meraih ponsel dari dalam tas. Dirinya bermaksud akan menghubungi Adelle dan King, tetapi belum sempat ia mengetikkan pesannya, sebuah pesan dari King lebih dahulu masuk. [Assalamualaikum, Dik Fitri. Maaf sedikit terlambat. Saya kejebak macet] Baru saja pesan dari King dibacanya. Fitri mendengar seseorang mengucap salam padanya. “Assalamualaikum, Fitri.” Fitri tersentak. Ia menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas. “Waalaikumussalam.” Fitri memandang sosok berjilbab yang sudah berada di hadapannya itu. “Adelle, apa kabar?” Fitri menyodorkan tangannya. Adelle menyambut tangan Fitri dan menjawab pelan. “ Alhamdulillah, baik.” Tatapan Adelle masih terkesan tak senang pada Fitri, tetapi Fitri tetap berusaha bersikap ramah. Ia mempersilakan bule berjilbab itu untuk duduk di sebelahnya. “Maaf, kamu mau bahas apa, ya?” Adelle menilik. “Saya sudah batalkan pernikahan dengan Mas King,” ujar Fitri langsung ke inti pembicaraan. Sementara gadis di sebelahnya itu kaget dan mengernyit. “Oh ya? Bagaimana bisa?” “Tentu saja. Saya sudah berjanji, ‘kan?” Fitri memandang gadis itu dengan tatapan serius, kemudian ia meraih tangan Adelle dan menggenggam sejenak dan menghadiahi gadis itu sebuah senyuman. “Percayalah, Mas King hanya mencintaimu, Adelle.” Fitri meyakinkan. “Tapi, King sudah memutuskan hubungannya dengan saya, Fitri.” “Insyaallah kalian akan bersama lagi. Saya sedang mengusahakan itu.” Fitri kembali tersenyum. “Hah! Maksudnya?” Adelle memasang wajah bingung dan penasaran. “Sebentar lagi kamu akan tahu. Tunggu sebentar, ya.” Baru saja Fitri selesai mengatakan kalimatnya. King yang sudah datang dan mengetahui bahwa Adelle juga di sana segera mengajak ibunya menghampiri Adelle. “Assalamualaikum, Adelle. Apa kabar?” Pemuda itu menyapa sosok yang dicintainya itu dengan ekspresi berbinar-binar. Ia terlihat sangat bahagia bisa melihat sang kekasih, bahkan dirinya seakan lupa dengan kehadiran Fitri yang nyaris menjadi orang ketiga di dalam hubungan mereka itu. Sementara ibunya yang awalnya hanya terbengong-bengong pun ikut menghampiri mereka. “Iki yang namanya Adelle, toh? Ternyata kamu cantik sekali. Ibu ndak nyangka loh penampilanmu sangat sopan seperti ini,” ujar wanita paruh baya itu terihat semringah. “Iyo, Bu, ini Adelle. Dulu Iswan pengen ngenalin, tapi ibu langsung nolak, toh.” “Maaf, Ndok. Ibu pikir dia ndak begini orangnya. Ibu berprasangka dia ini bule yang suka pake pakaian setengah t*******g begitu, yang mau masuk Islam karena ingin menikah saja.” Bu Astuti menjelaskan dengan ekspresi merasa bersalah. “Adelle. Maafin ibu, yo, Ndok.” Wanita paruh baya itu meletakkan tangannya di bahu Adelle. Gadis itu menyunggingkan senyuman. Adelle merangkul Bu Astuti. Fitri yang menyaksikan adegan tersebut ikut tersenyum. “Alhamdulillah. Makasih ya, Allah.” Ia bergumam. King teringat bahwa dirinya sama sekali belum menyapa Fitri semenjak baru datang karena sudah terbawa suasana bahagia bertemu sang kekasih dan menyaksikan adegan mengharukan antara ibunya dan Adelle. Ia merasa bersalah dengan sikapnya itu, ia pun menghampiri Fitri yang masih tersenyum. “Assalamualaikum, Dik Fitri, maaf saya lupa menyapa kamu.” King menangkupkan tangan ke d**a dan memperlihatkan ekspresi tak enak hati. “Sama sekali bukan masalah, Mas King. Saya bahagia sekali melihat mereka.” Fitri menunjuk Bu Astuti dan Adelle. “Makasih untuk usahamu mempertemukan kami, Dik Fitri.” King kembali menangkupkan tangannya. Fitri tak menjawab. Ia hanya mengangguk dan tersenyum. *** Pesta pernikahan itu terjadi. King dan Adelle menerima tamu dengan wajah berseri-seri. Bunga-bunga kembali tumbuh bermekaran di taman hati mereka. “Selamat ya, Adelle dan Mas King, semoga samawa.” “Terima kasih, Dik Fitri. Semua berkat kehadiranmu,” ujar King. “Kamu membuat kisah kami berjalan indah. Semoga kamu mendapat jodoh yang baik, ya, Fitri,” bisik Adelle sambil memeluk Fitri. Di dalam hati Fitri mengamini dengan perasaan yang sangat terharu. Tiba-tiba wajah pemuda bermata sipit itu kembali mengganggu pikirannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN