UNIVERSITAS WASEDA

1997 Kata
Entah sejak kapan Jill kembali ke asrama, yang jelas pagi itu—di saat hendak keluar dari kamar mandi—Fitri sangat kaget melihat gadis bermata biru tersebut sudah berada di kamar dan tengah bermesraan dengan pemuda yang terlihat seperti orang Jepang. “Astagfirulahal’adzim.” Fitri segera kembali masuk ke kamar mandi sebelum mata pemuda oriental itu menuju padanya. Kali ini ia merasa sangat geram pada Jill. “Jill! Bisakah kamu untuk tidak membawa laki-laki ke ruangan ini? Aku menyadari bahwa aku telah bersalah karena mencampuri urusanmu, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya. Walau bagaimanapun aku juga punya hak atas kamar ini. Tolong hargai privasiku, dan bawa pacarmu keluar dari kamar ini!” teriak Fitri sambil mengintip dari sela-sela pintu kamar mandi yang ia buka sedikit, memastikan apakah Jill mengacuhkannya atau tidak. Sementara itu, Jill meminta sang kekasih untuk pergi. Mereka berjalan mendekati pintu keluar sambil bergandengan mesra. “Sayang, aku baru saja punya teman sekamar. Temanku ini sangat polos. Jadi, sekarang adalah kesempatan terakhir kita untuk bermesraan di kamar ini. Jika kamu rindu denganku kita bisa bermesraan di tempat lain,” ujar Jill, kemudian memeluk sang kekasih. “Apa dia juga seksi sepertimu? Aku jadi penasaran.” Pemuda berwajah tampan itu menatap Jill dengan tatapan s*****l. Ia semakin melekapkan tubuh satu sama lain. “Sudahlah, jangan nakal. Pergilah sebelum dia mengamuk.“ Jill melepaskan pelukannya. “Oke, Sayang. Tapi jangan lupa perkenalkan dia padaku.” Pemuda itu mengedip genit, kemudian keluar dari kamar tersebut. “Dasar kamu.” Jill tertawa seakan sudah terbiasa dengan tingkah genit sang kekasih. Mengetahui pacar Jill sudah pergi, Fitri merasa lega, kemudian keluar dari kamar mandi. Namun, ia tak bisa menyembunyikan raut muka kesal. Kali ini dirinya tak bisa menyimpan amarah. Ingin sekali ia memaki Jill. Jill yang menyadari hal itu mendekatinya. “Fitri, jadi kali ini kamu yang marah padaku? Come on, Girl. Aku saja sudah melupakan kesalahanmu, tapi kenapa saat aku bersalah sepertinya kamu ingin menelanku?” Gadis itu tertawa seakan tak memiliki kesalahan. Dan .... UWEKK! Jill muntah tepat di handuk Fitri, kemudian ambruk. Aroma alkohol menyebar bersamaan dengan aroma muntah yang membuat isi perut Fitri juga meronta ingin keluar. “Astagfirullahal’adzim, Jill!” Fitri menangkap tubuh gadis itu, kemudian membimbing Jill ke tempat tidur. “Istirahatlah, Jill,” ujar Fitri pelan. Sejujurnya dia ingin sekali marah dan membiarkan saja Jill tergeletak di lantai hingga siuman, tetapi kemudian ia menyadari bahwa hal itu tak benar. Fitri kembali menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh dari muntah Jill. Tiba-tiba ia teringat bahwa teman sekamarnya itu tengah hamil. Entah kenapa ia sangat khawatir jika Jill akan mengalami keguguran karena meminum alkohol. Segera setelah selesai membersihkan tubuh ia keluar untuk melihat kondisi Jill. Fitri memperhatikan gadis bule—yang terlihat lugu saat tertidur—itu dengan ekspresi prihatin. Ia tak melihat ada darah yang mengaliri paha putih Jill yang hanya dibungkus dengan rok yang sangat pendek itu. Pelan-pelan diangkatnya kedua kaki Jill yang berjuntai ke lantai, kemudian menyelimuti gadis itu. ”Jill, semoga saja kamu bisa berubah,” gumamnya. Baru saja kalimat Fitri selesai diucapkannya, Jill terbangun. “Fitri, tadi aku memuntahimu, ya? Maafkan aku.” Jill meminta maaf dengan nada santai, seakan tak bersalah. Mungkin kehidupan yang sangat bebas membuatnya seakan-akan tak memiliki beban, sampai-sampai sesuatu kesalahan hanya dianggap angin lalu olehnya. Entahlah. “Oh, iya. Never mind. Aku yang seharusnya minta maaf karena telah mencampuri urusanmu.” Fitri berusaha tersenyum. Mungkin di hatinya—yang hanya seorang manusia biasa—ada rasa jengkel menghampiri, apalagi melihat sikap Jill yang santai saja dengan kesalahan. Namun, ia kembali berprasangka baik bahwa saat ini keimanannya sedang diuji Allah dan Jill hadir sebagai salah satu ujian untuknya. “Sabar Fitri, sabar,” ungkapnya bergumam sendiri. “What do you say?” “Oh, no. Just forget it! Kamu tunggu di sini, ya. Aku akan buatkan s**u hangat. Kamu mau rasa cokelat atau vanilla?” “Vanilla. Thanks , Fitri.” Jill tersenyum. “Okay.” *** Esok harinya. Di hadapan mereka, sebuah bangunan berdiri dengan kokoh—di halamannya terdapat patung berpakaian wisuda yang menjadi ciri khas bangunan itu. Universitas Waseda, salah satu universitas swasta terbaik di Jepang, memiliki maskot Waseda Bear serta semboyan “Independece of Learning”. Fitri merasakan perasaan campur aduk—antara takjub dan terharu—saat Jill yang berada di sampingnya menarik tangannya untuk mulai memasuki gerbang kampus tersebut. “Welcome to Waseda University, Fitri.” Jill mengembangkan kedua tangan, kemudian menunjuk Universitas Waseda sambil berputar-putar. Fitri cekikikan melihat tingkah gadis bule tersebut. Mata Fitri liar mengitari sekeliling. Mulutnya tak henti melafaskan “Masyaallah” seakan tak percaya bahwa saat ini ia sudah menjadi salah satu mahasiswi di kampus ternama itu.“I am dreaming, aren’t i?” Mata Fitri berkaca-kaca. Hal itu mengundang gelak tawa Jill. “No, you aren’t ... you are so something, come on, Girl!”Jill kembali menarik tangan Fitri. Fitri mengikuti Jill yang sibuk menjelaskan. Ia hanya tersenyum-senyum saat gadis bule itu terlihat seperti seorang pemandu wisata. “Ngomong-ngomong, ini perjalanan pertamamu ke luar negeri?” tanya Jill. “Iya, Jill.” “Pacarmu tidak mengajak?” Jill melirik Fitri yang berjalan di sebelahnya itu. “Aku tidak pacaran, Jill.” Fitri tersenyum tipis. “Hah? Kamu normal, ‘kan?” Jill terlihat sangat heran. Fitri tak menjawab pertanyaan Jill. Ia hanya menyunggingkan senyuman. Gadis itu bingung bagaimana cara menjelaskan alasannya pada Jill. “Kenapa hanya tersenyum? Ngomong-ngomong, kamu pernah jatuh cinta, ‘kan?” “Ayo, kita lanjutkan, Jill,” ajak Fitri mengalihkan pembicaraan. “Oh, sorry. Aku mendesakmu." Fitri bergeming. Sebuah ingatan kembali membawanya ke masa lalu. Kenangan yang sangat ingin ia lupakan. Momen bersama laki-laki yang belum bisa hilang dengan sempurna dari hati dan pikirannya. *** “Suatu saat kita ke Jepang sama-sama, yuk.” “Bang Afash yang bayarin ongkos Fitri, ya?” “Oke.” “Janji?” “Ada syaratnya, loh.” “Apa?” “Jadi istri Abang dulu.” *** Jill menghentikan langkah. Ia bingung melihat Fitri yang termenung. Dipukulnya pundak gadis itu. “Fitri kenapa terdiam? Aku salah bicara?” Fitri terperanjat. “Ti-tidak, Jill. Ayo, kita lanjutkan.” Lagi-lagi Fitri kedapatan melamun oleh orang yang baru dikenal. Ia menjadi canggung sendiri. Hari itu menjadi hari pertamanya berkenalan langsung dengan Universitas Waseda yang dulu hanya ia temui di dunia maya. Fitri teringat pada foto beserta tulisan-tulisan tentang mimpinya untuk melanjutkan pendidikan di Jepang. Air mata kembali terbit. Ia sangat terharu karena Allah telah memperkenankan mimpi-mimpi di atas kertasnya terkabulkan. Gadis yang sangat hobi memotivasi diri itu semakin percaya bahwa selalu berpikir positif akan memberi hasil yang positif juga. *** “Kamu ingin kuliah di Jepang, ya?” “Iya, Bang. Doakan Fitri, ya.” “Iya, suatu saat kamu pasti akan meraih mimpimu.” *** Kembali ingatan tentang Afash mengganggu pikiran Fitri. Tak terasa bulir bening kembali membasahi pipinya . “Hei, what is going on?”Jill kembali menghentikan langkah. Ia bingung karena Fitri tiba-tiba menangis. Astagfirullahal’adzim, kenapa aku terus teringat dengannya? “So-sorry. I make you confuse. Let’s go.” Fitri menyeka air mata dan berusaha menenangkan perasaan. Jill benar-benar dibingungkan oleh tingkah Fitri, kemudian ia bergumam, “What freaky you are.” Fitri sangat malu pada gadis bule itu, tetapi ia berusaha bersikap biasa-biasa saja. Beruntung karena Jill terlihat sudah tak memikirkan keanehan Fitri. Gadis itu kembali menjelaskan dengan semangat, kemudian menghentikan langkah tepat di sebuah ruangan.“This is my class. Oh ya, nanti kalau acaramu sudah selesai langsung saja ke tempat parkir. Aku akan menunggu di sana. Hari ini sebenarnya aku tidak kuliah, hanya ingin menyerahkan ini.” Jill menunjuk lukisan yang sedari tadi membebani punggungnya. “Okay, Jill.” “Let me accompany you to go to your room.” Jill menarik tangan Fitri. Gadis berambut pirang itu menggenggam tangan Fitri erat, bersikap seperti seorang kakak yang takut kehilangan adik kecilnya. Tak begitu jauh dari kelas Jill, gerbang Fakultas Sastra Inggris menyambut mereka. Jill menemani sampai Fitri menemukan ruangannya. Sebagai mahasiswa baru, tentu saja banyak hal yang harus diurus Fitri sebelum proses belajar dilaksanakan. Hari itu adalah acara penyambutan mahasiswa baru. Aula besar itu dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiwi baru yang terlihat semangat mendengarkan pidato para pimpinan universitas swasta bergengsi itu. Meskipun sudah menggunakan mikrofon, tetapi suara para mahasiswa lain yang terlalu antusias bercengkerama—mungkin membahas tentang perasaan mereka saat berada di universitas itu untuk pertama kali—membuat suara dari pengeras suara itu menjadi kurang jelas, sehingga Fitri berusaha keras menyimak pidato tersebut, apalagi posisi berdirinya yang berada di barisan paling belakang. Ditambah lagi karena tatapan heran mahasiswa lain padanya membuat fokus Fitri untuk mendengarkan pidato menjadi tak sempurna. Ia salah tingkah. Fitri yakin mahasiswa yang menatapnya heran itu disebabkan karena penampilannya yang berbeda. Tak terasa setelah berpuluh-puluh menit berlalu, acara penyambutan mahasiswa baru pun selesai. Fitri ingin segera pulang. Baru saja mengeja langkah, tiba-tiba seorang memanggilnya dari belakang, memintanya berhenti. Ia mendapati seorang gadis bermata sipit berjalan dengan terburu-buru untuk mengejar langkah Fitri. “Excuse me. Bisakah kita jalan sama-sama?” tanya gadis itu sangat ramah. Dari sekian banyak mahasiswa yang hanya menatap Fitri dengan heran, ternyata ada salah satu yang berusaha akrab dengannya. “Of course.” Fitri menyunggingkan senyuman. “My name is Sato Ayumi. Jurusan Magister Sastra Inggris. Aku dari Osaka.” Gadis itu menyodorkan tangan. Ia terlihat sangat ramah. “Wah, jurusan kita sama, Sato-san. Oh ya, perkenalkan aku Fitri Suada dari Indonesia.” Fitri ikut menjabat tangan gadis Jepang itu. “Indo ... ne ... shia? Where is it?” Sato Ayumi mengernyit. “Kamu tahu Bali?” “Bari? Of course i know it. It is a most beautiful country yang pernah kukunjungi. Kamu berasal dari sana?” Gadis itu semringah. “Bali bukanlah sebuah negara. Bali adalah salah satu kota yang berada di Negara Indonesia. Aku berasal dari kota lain di Indonesia.” “Oh my god, i see. I am sorry because i said that Bari is a country,” ujar Ayumi terlihat salah tingkah. “Daijobu. Tak perlu merasa bersalah.” Fitri tersenyum, memperlihatkan keramahan pada teman barunya yang terlihat salah tingkah itu. Setahunya sudah lumrah jika orang luar negeri tak kenal Indonesia. Fitri sering melihat informasi itu dari video eksperimen di media sosial. Dua gadis berpenampilan kontras itu berjalan menuju tempat parkir sambil mempromosikan negara dan kota asal masing-masing. Meskipun baru berkenalan, terlebih mereka berdua berasal dari negara yang berbeda dan memiliki cara berbusana yang juga jauh berbeda, tetapi mereka sangat cepat menjadi akrab. *** Jill sudah menunggu Fitri sejak setengah jam yang lalu di atas mobilnya. Sudah nyaris satu bungkus rokok yang ia isap. Saat melihat seseorang yang ia tunggu berjalan ke arah tempat parkir, Jill langsung membunyikan klakson, keluar dari mobil, kemudian melambaikan tangan saat Fitri menoleh ke arah mobilnya. “Sato-san, itu temanku sudah menunggu. Ayo sini kuperkenalkan dengannya.” Fitri meminta Ayumi mengikutinya. Mereka mendekati mobil Daihatsu Tanto berwarna silver itu. “Jill, ini temanku sesama jurusan Sastra Inggris, namanya Sato Ayumi.” Fitri memperkenalkan Ayumi pada Jill. “Halo, Sato-san, aku Jill Taylor,” ujar Jill sambil membungkukkan badan layaknya orang Jepang saat berkenalan, kemudian menyodorkan tangan. “Halo juga, Jill-san. Senang berkenalan denganmu.” “Ngomong-ngomong, aku dan Fitri pamit dulu ya, Sato-san, sampai ketemu lagi.” Lagi-lagi Jill membungkuk. “Oke, Jill-san. Oh ya, Fitri sampai jumpa besok, ya. Aku sangat berharap kita sekelas.” Ayumi tersenyum ramah. “Aku juga berharap begitu. Sampai jumpa, ya.” Fitri melambaikan tangan dan masuk ke mobil berbarengan dengan Jill. Mereka melambaikan tangan pada gadis dari Osaka itu. “Maaf membuatmu menunggu lama, Jill,” ujar Fitri saat gadis bule itu mulai menstarter mobilnya. “Okay. Oh ya, Fitri, aku ingin ke tempat pacarku sebentar. Apa kamu mau menemaniku?” “Baiklah.” Jill mulai menyetir mobil menuju tempat kerja pacarnya. Gulungan tembakau yang diisapnya kembali mengepulkan asap di dalam mobil yang pengap. ***************** Daijobu : Tidak masalah Bari : Bali. Sato Ayumi yg merupakan orang Jepang tidak bisa menyebut huruf L.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN