Cintakah?

1465 Kata
Langit sore yang jingga sudah berubah gulita. Kelip-kelip bintang mulai hadir satu per satu. Ingar bingar suara kendaraan atau suara orang-orang yang berseliweran di jalan belum bereksistensi di Shinjuku. Musim salju yang membatasi aktivitas, masih akan berlangsung hingga satu bulan ke depan—kurang lebih. Terlihat seseorang yang terburu-buru memarkir mobilnya dan berlari memasuki asrama bertingkat itu. Sosok tersebut—yang tak lain adalah Jill—masuk ke kamarnya tanpa mengucapkan salam atau sekadar menyapa. Ia segera berlari menuju toilet. “Oh my god,” gumam gadis itu sambil memegang perutnya. Fitri yang sedang sibuk mengetik, dibuat heran karena tingkah Jill. Dengan refleks ia tertawa karena gemas melihat sahabatnya itu berlari dengan kondisi yang sedang hamil tua. Perut yang besar tentu saja membuat Jill sangat lelah. Gadis itu terengah-engah. Namun, tak cukup lima menit, Jill keluar dari toilet sambil menggerutu. “Tadi rasanya isi perutku ingin keluar semua. Sekarang sudah masuk toilet, setetes pun tidak keluar!” “Mungkin bayimu yang ingin segera keluar. Oh ya, bagaimana ujianmu, Jill?” tanya Fitri sambil terus fokus pada layar laptop, melanjutkan naskah novel yang sudah lama ditulisnya, tetapi belum juga selesai. “Lancar. Maaf, ya, untuk beberapa hari ini kamu harus pulang jalan kaki lagi. Mmm ... bagaimana tesismu?” “Sampai saat ini masih lancar.” Fitri melirik Jill dan tersenyum. “Tapi akhir-akhir ini aku sering sakit kepala, Jill, mungkin kelelahan.” “ Iya. Kamu terlalu sibuk .” Jill mengambil minuman kotak dari kulkas dan segera menyeruputnya. “Mmm ... oh ya, bagaimana kalau kamu minta Ume-san mengantar dan menjemputmu selama aku ujian. Setidaknya kamu bisa lebih menghemat energimu? Aku yakin dia pasti mau.” Jill memasukkan minuman kotak yang masih bersisa ke dalam kulkas dan duduk di bibir kasur sambil tersenyum-senyum pada Fitri yang masih fokus pada aktivitasnya. “Tidak, Jill. Asrama kita, kan, dekat untuk apa merepotkan orang? Lagi pula Takashi, kan, bukan suamiku.” Fitri menanggapi tanpa menoleh lawan bicaranya. “Memangnya harus jadi suamimu dulu baru bisa mengantarmu pulang?” ledek Jill. “Harapanku seperti itu.” “Ma-maksudnya? Kamu berharap Ume-san jadi suamimu?” Jill tersenyum-senyum. “Bukan itu maksudku. Aku berharap hanya suamiku yang mengantarku pulang. Begitu, Jill.” “Terus bagaimana dengan sopir taksi?” “Ya, sebenarnya tidak boleh, sih. Tapi setidaknya aku, kan, duduk di belakang. Kalau yang mengantarku itu seorang teman, aku tentu tidak sopan duduk di belakang,” jawab Fitri sekenanya. “Kamu ini berlebihan. Eh, aku rasa Ume-san suka denganmu. Dan kamu suka dengannya juga. Iya, ‘kan?” Jill menebak. “Loh? Kenapa topiknya jadi nyeleweng, sih?” gerutu Fitri. “Jawab saja, Suada-chan,” goda Jill. “Kenapa memanggilku Suada-chan?” Fitri memberengut. “Oops, sorry. Ternyata hanya Ume-san yang boleh memanggilmu seperti itu, ya?” Jill kembali menggoda. “Aku ke Jepang untuk kuliah, ya. Bukan untuk jatuh cinta. Sudahlah aku mau tidur!” Fitri mengempaskan tubuh ke tempat tidur dan memunggungi Jill. Ia merasa tersudutkan dengan pertanyaan Jill. Benarkah tebakan sahabat bulenya itu, sehingga membuat dirinya salah tingkah? Tanpa disadari semenjak pertama kali bertemu dengan Takashi, pikiran Fitri tak lagi menayangkan kisahnya dengan Afash. Mungkinkah dirinya telah melupakan pemuda masa lalu itu? Kenapa? Mungkinkah hatinya sudah menemukan pengganti, sehingga tak perlu menghadirkan kenangan tentang Afash lagi? Benarkah hatinya kembali memendam rasa itu? Cintakah? “Fitri, kok, jadi marah, sih?” Jill geleng-geleng kepala dan mengangkat bahu. Ia heran dengan sikap Fitri yang terkesan berlebihan. Daripada bingung, Gadis bule itu mengambil ponsel, memilih untuk mengutak-atik gawainya. Tiba-tiba, ia merasakan tendangan di perut buncitnya, begitu kencang. Ia mengelus-elus perut yang sudah sangat besar itu. Air matanya menitik. “Kazuma, akankah aku jadi orang tua tunggal? Kenapa semua harus berakhir seperti ini?” Tak terasa air mata Jill berderai saat menatap foto pemuda bermata sipit yang muncul di layar ponselnya itu. “Kazuma aku rindu padamu,” gumamnya lagi. Air matanya semakin deras. “Jiill?” Jill terperanjat. Ternyata Fitri sudah berada di belakangnya dan melihat ia tengah memandangi foto Kazuma. “Fi-Fitri! A-aku hanya ....” Ia tergegap-gegap. “Tidak apa, Jill. Aku mengerti perasaanmu. Kamu menangis karena merindukan Kitano-san, ‘kan?”Fitri merangkul Jill. “Ti-Tidak. Aku tidak apa-apa. Perutku sakit sekali, makanya air mataku keluar. Sepertinya bayiku ingin segera bertemu denganku.” Jill berkilah seraya melepaskan pelukan Fitri. “Oh ya?” Fitri hanya mengangguk meskipun sebenarnya ia meragukan jawaban Jill. “AAA ... SAKIIIT! PERUTKU SAKIT!” Jill tiba-tiba mengerang. Keringatnya mengucur deras. “Jill!” Fitri kaget. “AAA ... ADA YANG KELUAR ... AAA ... SAKIIT!” Jill berteriak. Fitri melihat cairan putih sedikit keruh tergenang di bawah kaki Jill. “KETUBAN ... ITU KETUBAN, JILL. KAMU AKAN MELAHIRKAN. TUNGGU-TUNGGU, AKU AKAN TELEPON AMBULANS.” Fitri berlari mengambil ponselnya dan menelepon ambulans. *** Tepat saat kedua jarum jam saling berimpitan, yaitu saat malam sudah mendekati waktu transisi, suara tangisan bayi memecah keheningan. Seorang bayi laki-laki telah lahir dengan selamat dari rahim seorang ibu yang pernah ingin menggugurkannya. Air mata Jill menitik. Ia sangat terharu dan bahagia saat melihat bayinya sudah berada di dunia. Makhluk mungil itu kini sudah berada di gendongannya. “Dia tampan sekali, Jill,” ujar Fitri sambil memandangi bayi lucu itu. “Iya, Fit. Seandainya kamu tidak mengingatkanku, aku tentu sudah membunuhnya. Aku pasti akan sangat menyesal setelah tahu betapa indahnya menjadi seorang ibu.” Air mata Jill menderas. Bayi kecil itu diciuminya dengan penuh cinta. Fitri tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia sangat terharu menyaksikan momen manis tersebut. “Oh ya, Fit, jadi bagaimana pertanyaanku kemarin?” Tiba-tiba Jill teringat dengan pertanyaannya yang belum dijawab Fitri. “Pertanyaan yang mana?” Fitri mengernyit, alis matanya nyaris bertautan. “Tentang kamu dan Ume-san.” “Kamu ini, merusak suasana saja!” Fitri memberengut. “Maaf, tapi kenapa harus marah kalau tidak ada apa-apa?” Jill bertanya sambil terus membersihkan kulit bayinya yang mengelupas. “Iya. Maaf, deh. Oh ya, aku mau keluar sebentar, ya.” Fitri meninggalkan ruangan itu. *** Ponsel Fitri berdering. Sebuah panggilan masuk dari Takashi. “Moshi-moshi, Takashi-san.” “Moshi-moshi, Suada-chan di mana?” “Saya di rumah sakit. Jill melahirkan.” “Saya ke sana, ya. Di rumah sakit mana?” “Di tempat Hamasaki-san bekerja.” “Oh ... kalau gitu lain kali saja saat Jill sudah pulang. Saya sedang tidak bisa bertemu Akane.” “Oh gitu. Ya sudah.” “Ngomong-ngomong, Suada-chan, sudah tahu arti tulisan kanji itu?” “Oh iya, saya lupa menanyakan pada Jill. Nanti saya tanyakan, ya.” “Oke, ya sudah. Oh ya, apakah besok Suada-chan sibuk? Saya mau kasih tahu sesuatu. Kamu pasti setuju.” Jantung Fitri berdegup kencang. Keringat terasa mengalir dari punggungnya. Entah apa yang akan disampaikan Takashi padanya. “Nanti saya kabari, ya.Takashi-san. Bye” ... Fitri menyimpan ponsel. Detak jantungnya masih kencang. Ia gugup. Dengan terburu-buru gadis itu kembali ke ruangan Jill. Jantungnya terasa masih berdegup tak keruan. “Fitri kamu dari mana?” tanya Jill saat melihat Fitri sudah kembali ke kamar tempat ia dirawat. “Aku cari udara segar. Oh ya, ada yang mau aku tanyakan, sebentar aku ambil ponselku dulu,” ujar Fitri sambil mengambil ponselnya. “Ini kanji apa, ya, Jill?” Fitri memperlihatkan sebuah foto dari galeri ponselnya. "Ini kanji 'koi', kalau ini apa, ya? ... oh, aku tahu, bacaannya 'hatsu koi', artinya ‘Cinta Pertama’.” “Apa?!” Jangan-jangan Takashi ... tidak ... tidak mungkin.” Fitri terlihat gugup setelah mengetahui tulisan kanji yang ditulis Takashi di mukena yang diberikan padanya tersebut. “Kenapa, Fitri?” Jill terlihat bingung. “Tidak, Jill. Oh ya, Jill, aku ada permintaan.” “Permintaan apa?” Jill penasaran. “Aku tidak ingin terlalu dekat dengan Takashi. Bantu aku untuk menjauhinya,” pinta Fitri. “Loh?” Jill menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. “Aku hampir saja melupakan komitmenku. Aku tidak boleh terlalu dekat dengan lelaki. Kamu tahu itu , ‘kan?” “Iya, walau aku tidak mengerti apa alasanmu. Apa yang akan kukatakan pada Ume-san jika dia menanyakanmu padaku?” “Katakan saja bahwa aku sedang sibuk mengurus wisudaku, atau katakan bahwa aku sudah dijodohkan dan tidak boleh bertemu dengan laki-laki lain sampai hari pernikahan,” jawab Fitri tanpa pikir panjang. “Ternyata gadis sepertimu bisa berbohong juga, ya!” Jill melirik Fitri dengan tatapan tak senang. “Ini terpaksa, Jill.” “Tetap saja berbohong itu tidak boleh!” Jill terlihat semakin kesal. “Ya, sudah terserah kamu. Aku hanya tidak ingin dekat dengannya lagi.” “Ada apa, sih, sebenarnya? Kamu aneh!” Perasaan Fitri campur aduk. Sebenarnya ia merasa bersalah karena rencananya yang ingin menjauhi Takashi. Namun, jika itu tak dilakukan, ia takut apa yang dibisikkan pikirannya itu benar bahwa ia telah jatuh cinta pada pemuda non-muslim itu dan begitu pun sebaliknya. **** Moshi-moshi : Halo( telepon)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN