6. You Are

1015 Kata
“Kamu kayaknya punya kebiasaan mengubah nama orang, ya. Jangan-jangan bisa mengubah hati orang juga...” Althafa. ♫ ♫ ♫   ... sebenarnya Mila sakit apa? ♫ ♫ ♫   Arata baru saja menginjak bagian depan gerbang sekolah saat melihat Mila malah keluar rumah sakit. Gadis itu berlarian sambil menggenggam tangan seorang lelaki─kulit sawo matang, rambutnya sedikit panjang dan diikat kuncir satu mirip musisi jalanan. Kemudian Arata merogoh saku celana abu-abu dan mendapati pesan dari Mila yang mengatakan bahwa gadis itu akan ke rumah teman barunya. Tak membuang waktu, Arata segera menghubungi sopir untuk menjemput, tapi panggilannya malah dialihkan. Mengerang kesal, Arata memilih berlari menyeberang jalan, mengikuti Mila sembari terus menghubungi nomor gadis itu. Bagaimana kalau Mahiro bertanya ke mana Mila pergi? Dia harus bilang apa kalau sampai ayah tahu Mila menyentuh dunia musik? Sialnya lagi, setelah lima belas menit berjalan tanpa arah, dia malah kehilangan jejak, dan nomor Mila pun tidak aktif lagi. Arata lemah dengan arah dan denah. Dia tidak pernah memerhatikan jalanan di luar mobil saat diantarkan sopir, jadi dia sangat awam dengan lokasi sekitar sekolah. Akhirnya dia malah tersesat di jalanan. “Mila jadi susah dibilangin gini gara-gara si rambut gondrong menyebalkan itu. Dia pasti membujuk Mila untuk ikut bersamanya bermain musik, dan Mila yang polos dengan mudahnya terhasut.” Arata mengomel sepanjang pinggiran jalan besar, abai pada beberapa pasang mata yang meliriknya. Dia masih men-download aplikasi Maps untuk mengetahui posisinya berdiri saat ini, tapi loading-nya terlalu lama, sampai panggilan dari Mahiro membuatnya gelabakan. “Arata, kamu lagi sama Mila, nggak? Dia nggak ada di kamarnya.” Suara Mahiro dari seberang telepon membuat keringat Arata mengalir ke leher. “Ya. Aku ajak dia jalan-jalan ke luar rumah sakit.” “Nggak apa-apa kalau sama kamu, tapi pulangnya jangan kemalaman, ya? Nanti ayah marah. Kamu sudah makan siang?” “Hemm, sudah... Iya, kami akan segera pulang sebentar lagi. Oh ya, Mahiro, apa aku boleh tahu alamat salah satu pasienmu?”   ♫ ♫ ♫ Altha merasa geli melihat Mila selalu terkagum pada setiap alat musik dan kertas-kertas berisi not yang dia tunjukkan. Seolah gadis itu adalah manusia goa yang baru pertama kali melihat gedung pencakar langit. Rasa kagum Mila memberi sensasi tersendiri untuk jantung Altha, bahkan kepalanya sudah seperti ada konser musik. Selagi Mila mengagumi lekukan gitar di pangkuannya, Altha yang duduk di sofa sudut ruangan bersama sang ayah hanya bisa memerhatikan gadis itu sambil mengemil camilan. Sesekali Altha tersenyum kecil dan menggeleng-geleng kala mendengar penuturan Mila. Ayahnya yang duduk di sofa seberang itu tentu tak melewatkan ekspresi putra tunggalnya. "Pak Suyuf yang membuat semua ini?" tanya Mila, yang sudah beralih menatap puluhan lembar kertas di atas piano. Altha terkekeh pelan. “Yusuf, Mil. Nama ayahku Yusuf, bukan Suyuf.” “Nggak apa-apa, Al. Dia lucu,” ujar Yusuf, pria usia sekitar 40-an tahun itu tersenyum kecil, kemudian menatap Mila. “Suka sama lagunya, Mil?” Mila nyengir. "Mila nggak tahu cara membaca not, nggak tahu nadanya ini bagaimana, tapi tulisannya bagus, banyak bentuk meliuk yang naik turun garis, jadi seperti main lari-larian." Kedua pendengar di ruangan itu pun tertawa. "Altha akan mengajari Mila membaca not kalau memang Mila mau tahu," kata Yusuf. Mila mengangguk antusias. "Iya, Mila mau tahu banget, Pak,” katanya sembari membawa kertas not dan duduk di sebelah Altha. “Mila ini sangat suka belajar... Eum nggak terlalu juga, sih kalau belajarnya matematika atau biologi." Ayah Altha menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menenggak minumannya. "Nggak masalah. Ini bukan matematika yang satu tambah satu harus sama dengan dua. Ada Mila di sini saja, Bapak sudah senang. Sudah lama sekali ruangan ini nggak dibuka karena Altha kelihatan murung terus kalau di sini. Katanya suka teringat almarhumah ibunya.” Yusuf melirik Altha yang memasukkan camilan ke mulut, tidak menatap sang ayah. “Setelah Bapak pikir-pikir, ini pertama kalinya Altha membawa teman perempuannya ke rumah, terlebih ke ruangan ini. Kalian pacaran, ya?” Altha tersedak camilannya, menatap kesal sang ayah yang malah tertawa di seberang sana. “Ayah,” gerutu Altha, alisnya bertaut. Mila tertawa. “Enggak, Pak. Kami saja baru ketemu kemarin.” “Benarkah? Cepat sekali sudah akrab. Altha memang supel, mudah bergaul, tapi baru Mila loh yang secepat ini langsung diajak ke rumah.” “Ayah nggak mengajar les?” Altha bertanya, khawatir ayahnya akan menggodanya dan Mila terus. Itu tidak baik untuk jantungnya. “Hahaha... Iya, deh, yang mau berduaan,” kata Yusuf, lantas berdiri. Altha hanya menghela napas ketika ayahnya keluar dari ruangan itu. “Maaf, ya, Mil, ayahku memang berdarah muda terus.” “Hihihi, aku suka kok sama ayah Atlan.” Mila kemudian mengembuskan napas perlahan. "Ini sudah jam berapa, ya, Atlan?" tanyanya. "Empat lima belas. Kenapa?" "Kalau sudah pukul empat tiga puluh, ingatkan aku untuk ke kamar mandi, ya." Altha mengernyit, tapi tak mencari tahu lagi alasannya karena Mila sudah lebih dulu bertanya, "Bagaimana cara memainkan ini?" Gadis itu menunjuk saksofon. Altha dengan percaya diri mengalungkan tali saksofon lalu mulai meniupnya. Nada Careless Whisper yang merdu pun mengalun. "Huwaa... Kereeen." Mila yang semula duduk di keramik hijau lumut sambil bertepuk tangan meriah, kini berdiri dan menari-nari kecil mengikuti musik. Altha juga ikut berputar-putar mengikuti gadis itu. Setelah satu lagu jazz selesai, Mila menunjuk gitar. Altha kembali memainkannya dan tampak lebih mahir dibanding meniup saksofon. Kali ini dia duduk di sofa bersama Mila, bernyanyi lagu Girl like you dari Maroon 5. Altha bernyanyi. "Cause girls like you run ’round with guys like me. ‘Til sun down when I come through. I need a girl like you..." "yeah yeah..." sambung Mila. Altha tersenyum kecil, sepanjang dia bernyanyi, Mila hanya menanggapi di bagian 'yeah, yeah' saja sambil terus bertepuk tangan mengikuti nada gitar, tak lupa kakinya mengentak-entak pelan. "I need a girl like you..." Mila bertepuk tangan heboh, matanya berbinar-binar. "Waaah. Hebat sekali! Suaramu sangat merdu, nggak kalah sama vokalis band Marion five-nya." Terkikik, Altha sampai memegang perut. "Maroon Five, Mil. Kamu kayaknya punya kebiasaan mengubah nama orang, ya. Jangan-jangan bisa mengubah hati orang juga." Dia menarik-buang napas, keringat membasahi kaus hitamnya. Dia sedikit heran karena Mila masih tampak semangat tanpa sebulir pun keringat, padahal sejak tadi gadis itu sangat aktif menari-nari dan melompat-lompat. Tanpa peduli kritik Altha, Mila malah sudah antusias pada alat musik lain. "Atlan, coba mainkan piano juga. Ah, drum dulu saja." Gadis itu tahu-tahu sudah duduk di balik drum dan memukulkan stik asal-asalan. "Hahaha... Bagaimana? Aku bisa jadi drumer?" Dia terkikik. Altha mendatangi Mila dan menarik gadis itu agar duduk di sofa. Dia memerhatikan wajah Mila yang  kemerahan dan matanya sedikit kering. Memerhatikan pula perban yang melilit kepala gadis itu. "Ada apa?" tanya Mila bingung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN