♫♫

1040 Kata
"... Kenapa Arata marah sama kamu?" Mila mengedikkan bahu, tatapannya menyapu ke luar jendela, tepat ke area jalanan kecil samping rumah sakit. "Entahlah. Mungkin dia nggak suka aku berbicara tentang musik. Apalagi kemaren malam aku bilang mau menemui Atlan lagi untuk membahas Paginani. Arata jadi langsung pulang ke rumah, padahal katanya mau menemaniku di rumah sakit." Altha kembali mengingat wajah kesal Arata kemarin. "Hemm, mungkin Arata hanya khawatir karena lihat kamu berdarah-darah kemarin. Apa musik dilarang di rumahmu?" Mila mengangguk. "Begitulah. Ayah dulunya punya istri yang seorang penyanyi, jadi, anak-anaknya dilarang mendekati dunia musik. Tahu, nggak, di rumah kami pun nggak pernah ada musik terdengar. Kalau mau dengar musik, ya, palingan pakai earphone masing-masing saja, itu pun mendengarkannya harus di kamar biar nggak diomelin sama ayah.” “Sampai segitunya, ya?” “Yah, begitulah.” “Tentang istri ayahmu, berarti kamu punya ibu tiri?” “Enggak, bukan gitu. Sepuluh tahun lalu, ibu aku menikah sama ayah Arata. Ayah sudah punya dua anak sebelumnya, namanya Mario sama Arata. Terus pas sama ibu aku, ayah punya anak lagi, namanya Deden. Ups.” Mila menutup mulutnya. “Aku harusnya nggak cerita ini ke orang lain. Nanti Arata bisa marah.” “Hah?” Altha menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa dia bisa marah?” “Arata mau aku sama dia kayak saudara kembar, karena begitu yang semua orang tahu selama ini.” “Tenang saja, aku akan merahasiakannya dari orang lain.” "Terima kasih, Atlan." Mila tahu-tahu sudah mendekati Altha, dan mengambil alih biola di meja dekat brankar. “Mainkan biola lagi, dong, sebelum pulang.” Altha tersenyum kecil, mengambil biola yang disodorkan Mila. “Mau lagu apa?” “Yang kemarin. Gift of friend.” Altha memulai permainan biolanya, tapi kali ini melodi yang tercipta tidak sebagus sebelumnya, dan itu ditangkap jelas oleh indra pendengaran Mila. Gadis itu kemudian duduk di kusen jendela sembari bersedekap, wajahnya sedikit cemberut. "Kayaknya suasana hati Atlan sedang nggak baik." Altha refleks berhenti main biola. "Kenapa?" "Aku mendengar nada sumbang dan kesalahan pada jari Atlan yang menekan senar. Seharusnya sebelum masuk reff, telunjuk Atlan menekan senar ketiga, tapi Atlan malah menekan senar ketiga dengan jari manis." Altha berkedip-kedip, sedikit kagum. "Kamu sebenarnya bisa main biola, kan?" tanyanya, sembari melirik Mila yang menatap halaman samping rumah sakit dari jendela. “Kamu kayak paham banget soal musik.” Mila menoleh, rambutnya tertiup angin. "Nggak bisa. Aku cuma memerhatikan tangan Atlan dan mengingat nadanya. Suaranya berbeda ketika Atlan menekan dengan jari telunjuk dan jari manis, meski yang ditekan sama-sama senar ketiga." Itu benar. Maksud perkataan Mila adalah jarak nada. Tidak seperti gitar yang memiliki fret sebagai penanda jari, pemain biola harus benar-benar tahu letak suatu nada dengan perasaannya. Altha kagum karena Mila memiliki pendengaran tajam yang bisa membedakan nada, dan artinya gadis itu berbakat. Sebelum Altha bertanya lebih jauh, Mila malah sudah menaruh telunjuk di depan bibirnya. (Fret adalah besi yang ditempatkan vertikal sepanjang freat board gitar. Fret pertama adalah fret besi atau gading yang berada paling dekat dengan head stock gitar atau tempat menyetem gitar, dan sistem penomoran fret dimulai dari fret itu; sumber: google) "Sst! Atlan, coba dengar." Mila memejamkan mata, kemudian dua tangan di tangkup di depan d**a. "Suara angin." Altha, entah mendapat bubuk pixie dari mana, tiba-tiba dia merasa terbang bebas melintasi Neverland. Seolah ada tawa Wendy dan Peter Pan yang memenuhi kepalanya, membuat tubuh ringan dan senyum melebar. Wajahnya pun perlahan bersemu ketika menatap Mila. "Cantik," lirihnya tanpa sadar. "Hemm?" Mila membuka mata, menatap Altha penuh tanya. Lelaki itu berdeham. "Aku sudah mau pulang. Rumahku nggak jauh dari sini. Cuma jalan kaki sekitar sepuluh menit. Kamu mau ikut ke rumahku?” “Apa di rumah Atlan ada alat musik lain?” Mata Mila sudah berbinar-binar penuh harap. Altha mengangguk. “Banyak. Ayahku dulunya seorang komposer, dan suka mengoleksi banyak alat musik. Dalam satu ruangan khusus, ayah menyimpan biola, gitar, saksofon, piano dan drum. Walau sekarang cuma mengajar jurusan musik di universitas dan tempat kursus, ayah masih aktif bermain musik di rumah.” “Berarti ayah Atlan bisa membuat lagu?” “Tentu saja,” kata Altha sembari memasukkan biola ke tempatnya, kemudian menyampirkan tas ke bahu. “Ayah banyak membuat lagu meski hanya beberapa yang terkenal. Ayah suka menciptakan banyak lagu untuk dinikmatinya sendiri, dan ibu selalu hidup dalam setiap melodinya. Aku pernah berharap seseorang akan membuat lagu yang penuh akan diriku, seperti cara ayah mengenang ibu.” “Kalau begitu, Atlan juga bisa buat lagu?” Altha menggaruk tengkuknya. “Sedikit.” “Kalau begitu, ajari aku membuat lagu.” “Hah?” Altha terbelalak, bertanya-tanya, apakah Mila akan membuat lagu untuknya makanya ingin diajari membuat lagu? Tadi dia hanya berandai-andai saja ada orang yang akan membuat lagu yang penuh akan dirinya, tapi tidak menyangka jantungnya berdebar tak sabar kala membayangkan hal itu benar-benar terjadi. Tiba-tiba saja gugup menyerangnya. “Ajari aku membuat lagu. Aku ingin membuat lagu untuk seseorang.” Wajah Altha berubah pias, tiba-tiba merasa kecewa, lalu dia terkekeh sendiri. Tidak mungkin gadis yang baru dia temui kemarin akan membuat lagu untuknya, kan? Ini bukan sinetron murahan. Altha lantas tertawa. “Baiklah.” “Ajari aku juga bermain biola, ya?” Altha tertawa tertahan. “Baiklah, ayo ke rumahku.” Mila pun bersenandung selagi keluar kamar rawat Altha. “Oh, iya, aku, kan belum boleh ke luar rumah sakit.” “Terus, bagaimana? Lain kali saja ke rumahku?” Mila menggeleng. “Aku mau sekarang. Aku akan bilang sama Arata saja. Nanti biar dia yang bilang ke Mario.”  “Kenapa nggak bilang ke doktermu?” “Mario adalah dokterku. Sebentar, ya, aku chat Arata dulu.” Mila berdiri sedikit menjauh dari Altha, beberapa saat kemudian, dia kembali ke dekat si pemusik dan menarik tangan lelaki itu. “Mil, jangan lari-lari, nanti jatuh.” “Kalau nggak lari, nanti ditangkap sama dokter lain.” Mila semakin kuat menarik tangan Altha dan dia malah tertawa. Yang tangannya ditarik Mila hanya bisa ikutan tertawa. Benar kata orang, tawa itu bisa menular. “Kenapa kamu malah tertawa, Mil?” “Ini pertama kalinya aku lari-larian setelah sembilan tahun. Terakhir kali lari-lari aku malah hampir ditabrak mobil. Sejak itu, ayah melarangku lari, Arata juga ikut-ikutan nggak bolehin aku lari pas di sekolah.” Mila lalu memandang Altha sekilas. “Atlan juga tertawa.” Altha tertegun. Dia bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya Mila sakit apa?   ♫♫♫ Penjelasan tambahan: Peter Pan: or, The Boy Who Wouldn't Grow Up (1904) adalah judul drama karya novelis dan dramawan Skotlandia James M. Barrie, dan Peter and Wendy adalah judul novelisasi yang diterbitkan tahun 1911. Keduanya menceritakan kisah Peter Pan, bocah lelaki nakal yang dapat terbang, dan petualangannya di pulau Neverland dengan Wendy Darling dan saudara-saudaranya, peri Tinker Bell, anak-anak hilang (the Lost Boys), putri Indian Tiger Lily, dan bajak laut Kapten Hook. {sumber: Wikipedia bahasa, google} Dalam serial kartun Tinker Bell, para peri mendapat bubuk berwarna kuning keemasan dan bercahaya bernama Bubuk Pixie yang bisa digunakan untuk terbang.   ♫♫♫
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN