“Memangnya kenapa kalau adikku sakit?”
Beni terkikik, menggaruk tengkuk dalam gestur kikuk. “Enggak apa-apa, cuma pengen tahu. Oh, ya, mau ke kantin bareng?"
Arata menggeleng. "Enggak, makasih."
Candra, si paling pendek mendengus kecil, berbisik pelan ke Beni, "Dia sombong banget. Apa karena anak orang kaya dan pintar banget, ya, makanya nggak mau gabung sama kita?"
"Nggak gitulah, Bro. Mungkin dia masih kaku kalau sama teman baru." Beni membela seraya mengajak dua teman dekatnya itu keluar kelas.
"Enggak, kalau Arata memang dari dulu begitu. Dia cuma mau bareng Mila." Jaka yang satu sekolah dengan Arata dan Mila pun berkomentar.
"Beneran? Cewek imut yang jadi teman sebangkunya itu?" Candra mulai kepo.
"Iya. Dia itu adik kembarnya."
Kemudian gosip itu menyeruak di ruangan kelas X IPA 1. Anak-anak perempuan pun mulai memuji wajah manis Arata.
“Dia itu kayak Arima Kousei di anime your lie in April, atau kayak Kitamura Takumi pas Live Actionnya anime let Me eat your Pancreas. Kyaaa... Kakkoii,” kata Amel. (Kyaaa: teriakan ala Jepang; Kakkoii berasal dari bahasa Jepang, artinya ‘Keren’; anime = kartun)
Rina di sebelahnya menggerutu, “Dasar Wibu. Dia itu mirip Woo Seuk band Pentagon kalau dipakaikan kacamata, tahu. Walau wajahnya lagi babak belur gitu, enggak tahu kenapa, malah bikin kesan cool-nya makin kelihatan. Duh, melting aku.” (Wibu: sebutan bagi orang-orang di luar negara Jepang yang terobsesi dengan segala hal yang berbau Jejepangan)
“Hadeh, kalian berdua. Yang satu Jepang, yang satu Korea. Udah, deh, yang jelas Arata itu manis banget kayak pangeran-pangeran gitu.” Ini suara Anggrek.
"Eh, btw, aku dengar, Arata nggak pernah lihat cewek lebih dari lima detik, loh." Meisha, si badan tambun ikut berbicara. (Btw: singkatan Bye The Way artinya ngomong-ngomong)
"Hah? Beneran?" tanya Amel.
"Iya. Cuma sama Mila, dia mau bicara banyak,” balas Rina.
"Benar, benar. Aku dulu satu SMP sama dia, sama Rina juga. Arata itu punya julukan Cool Prince Five Second." Dini mulai nimbrung setelah meletakkan kaca.
"Wah kayaknya dia terkenal ya pas SMP?" tanya Amel.
"Terkenal banget. Dia selalu memegang juara 1 umum sejak kelas satu SMP, eh, kayaknya sejak SD, deh. Dia itu, ya, pernah ditawarin jadi ketua OSIS pas SMP, tapi dia menolak karena nggak mau buat adiknya itu menunggu kalau semisal ada rapat atau acara-acara OSIS gitu." Dini kembali buka suara.
"Ya ampun itu cowok, sudah manis, cool, ikhwan sejati, sangat sayang lagi sama adiknya. Ahhh, cowok idaman aku banget." Amel bertopang dagu di atas meja, matanya menerawang sampai melewati plafon kelas.
"Bentar, bentar, kok bawa-bawa ikhwan sejati?” Anggrek bertanya.
“Ikhwan sejati, kan, nggak memandang cewek lama-lama.” Amel cengengesan sambil menutup mulut dan hidung dengan jillbab putihnya.
“Ya elah,” kompak empat teman lainnya bersuara bersamaan.
“Aku mau coba menyapa dia, ah, siapa tahu jodoh."
Empat siswi lain yang mendengar Anggrek langsung menyorakinya, membuat anak-anak lelaki yang tersisa di kelas seketika menoleh ke meja paling depan, tempat kelima siswi berkerumun untuk bergosip.
"Jangan buat malu, ih," kata Anggrek, yang membuat empat temannya cekikikan. "Aku mau samperin dia. Kalian hitung ya berapa lama dia menatapku."
Empat teman tertawa, lalu Amel menepuk punggungnya. "Ganbatte, nee, Anggrek. Semoga nggak beku di tempat." (Ganbatte nee: Semangat, ya)
Anggrek, si gadis langsing berwajah lonjong berdecak sebal, kemudian mendatangi meja Arata di baris ketiga, paling pinggir dekat jendela bening yang langsung menghadap ke lapangan utama PHS. "Hai, Ar," sapa Anggrek.
Hening.
“Arata,” kata Anggrek sedikit lebih kuat, sembari menyentuh pelan tangan Arata.
Arata melepas earphone di telinga, kemudian mendongak, menghentikan sejenak aktivitasnya berselancar di layar ponsel. "Ya?"
Teman-teman Anggrek mulai menghitung di depan sana.
Satu...
"Aku mau ajak kamu makan," kata Anggrek.
Dua...
Tiga...
Empat...
Lima...
Arata langsung menunduk, kembali memasang earphone ke telinga. "Maaf, nggak tertarik." Dia kemudian mengais tasnya yang ada di dalam laci, bermaksud mengambil buku bacaan, tapi malah mendapati bekalnya. Karena sudah telanjur dimasukkan ke tas, Arata tak tega kalau harus membuangnya. Sejak kecil dia diajari untuk tidak menyia-nyiakan makanan. Menghela napas, Arata kemudian membawa bekalnya ke luar kelas.
Sedetik setelah Arata keluar kelas, tawa anak-anak X IPA 1 seketika membahana nyaring, mengejek Anggrek, kecuali Noval yang pura-pura tertidur di meja paling belakang dekat dinding. Noval berwajah muram ketika melirik Arata keluar kelas. "Dasar ansos," lirihnya.
"Beneran membeku deh tuh anak," ejek Amel.
"Hahaha... Kasian banget, kamu Nggrek..." Rina tidak mau kalah mengejek.
"Eh, Nggrek, makannya sama aku saja, kuy," kata Yogi, si wajah penuh jerawat.
"Najis kalian semua," gerutu Anggrek, kembali membuat tawa seisi kelas.
"Levelnya Arata itu beda sama kita, Nggrek. Harus setara model." Ini suara Apri.
"Yang kayak Rena misalnya." Muhdi si badan besar ikut berkomentar.
"Rena?" tanya Anggrek dengan kedua alis tertaut. "Siapa itu Rena?"
♫♫♫
Arata menghela napas lelah. Dia memilih duduk di bawah pohon kersen belakang gedung IPA sebagai tempat untuk makan siang. Baru hendak menyuapkan nasi ke mulut, dia dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang barusan melompati tembok.
Arata berhenti berkedip, fokus memandang makhkuk Tuhan paling cantik yang pernah dia lihat, sosok gadis berambut pendek dengan tinggi semampai bak model. Mungkin tingginya menyamai Arata. Satu kata untuk gadis yang berhasil membuat wajah Arata terlihat bodoh dengan mulut sedikit terbuka: Cantik. Mulai dari lengkungan alis hitam yang indah, hidung mancung, wajah lonjong, bibir ranum kemerahan, bentuk badan proporsional, juga pakaian itu—tank top kuning di balik jaket hitam, celana pendek di atas paha—dan kaki jenjang yang mengenakan sepatu kets kuning tua; semuanya sempurna di mata Arata.
Mendadak tempat si kacamata duduk berubah bagai di Jepang pada musim semi. Ada sebuah jalan besar dengan seorang gadis berdiri di bawah pohon Sakura yang sedang mekar. Ada alunan merdu dari piano dan kicauan burung yang menambah riang. Ada wangi bunga Sakura yang memenuhi penciumannya. Seperti ada banyak kelinci melompat di perutnya yang memberi kesan menggelitik.
Mata bulat dengan netra cokelat itu menatap datar Arata, lalu melangkah pelan. Satu tangan di kantong jaket, tangan lainnya menenteng tas, mulut sibuk mengunyah permen karet.
Dalam khayalan, Arata melihat gadis itu berlari dengan senyum cerah lalu memeluknya, kemudian berbisik memanggil namanya tepat di telinga. Dia membayangkan menggenggam tangan lembut gadis itu di sepanjang jalan dengan jejeran bunga Sakura mekar. Lalu suara piano dan kicau burung mengiringi langkahnya menuju—
"Hoi! Kamu melihatku melompati dinding?" tanya gadis itu usai meletuskan gelembung permen karet di mulutnya, lantas jongkok dan memamerkan paha mulusnya.
Arata menelan ludah, kembali menurunkan tangan yang memegang sendok. Tak bisa mengeluarkan suara, Arata hanya mengangguk, lalu menatap rerumputan di dekat kaki si gadis. Jika orang lain melihat gestur Arata, mereka mungkin akan mengira lelaki itu sangat cool, tapi sebenarnya dia amat gugup di dalam.
"Aku baru melihatmu, anak kelas satu, ya?" tanya gadis itu, yang malah dengan santai duduk di depan Arata sembari membuka ranselnya.
Arata kembali mengangguk, tangannya mulai merapikan kotak bekal di sebelahnya, lantas mengambil ponsel di saku baju.
"Aku Odellia Rena, XI IPA 1."
Arata menatap layar ponselnya, sesekali melirik Rena yang tersenyum manis. Gadis itu tiba-tiba merangsek maju sampai membuat punggung Arata menempel ke batang pohon kersen, kemudian menaruh telunjuk di depan bibir si kacamata. Dengan nada pelan, Rena berkata, "Tentang apa yang barusan kamu lihat, tolong rahasiakan dari orang lain, ya?"
♫♫♫