4. I Wonder

1007 Kata
“Arata itu punya julukan Cool Prince Five Second...” Dini ♫♫♫   “... Aku sudah bilang, hanya di depan Mila, aku akan memanggil Tante dengan sebutan Ibu." "Arata!" Teriakan ini berasal dari kamar di dekat ruang tamu, sumbernya adalah Kazuo Daisuke, yakni ayah Arata. Dia langsung mendatangi putranya di ruang tamu. "Ngomong yang sopan sama Ibu kamu. Mau sampai kapan kamu bertingkah kekanakan seperti ini?" Arata menunduk, mengepalkan erat kedua tangan di sisi badannya. "Aku bisa mematuhi perintah ayah yang lain, kecuali menganggap Tante ini sebagai ibu aku." Arata bergegas merapikan buku-bukunya, kemudian berlalu dari ruang tamu, menuju kamarnya yang berada di belakang ruang makan. Sebelum meraih handel pintu jati berplitur cokelat itu, dia malah beralih ke kamar di depannya yang terdapat tulisan 'Kamar Mila' tercetak pada kertas yang tergantung di atas pintu kamar. Arata membuka kamar Mila yang memang tak pernah dikunci. Sensasi dingin menyambutnya ketika menapaki lantai ruangan yang penuh foto Mila dan dirinya di dinding kamar sewarna kuning cerah. Pengharum ruangan aroma jeruk memenuhi penciumannya, dan gemerincing genta angin di dekat jendela terdengar lembut seolah menyapanya. Arata mengayun kaki, meletakkan asal buku-buku di tangan ke lantai, kemudian berjalan lurus ke arah nakas, duduk di tepi ranjang Mila. Dia meraih foto sang adik yang tengah tersenyum menatap ke kamera. Senyum Arata juga ikut terbit hanya dari melihat foto Mila itu. Arata kemudian memandang sudut kanan kamar. Berdiri sebuah rak buku dari kayu sewarna putih gading, dengan tiga bilah yang masing-masing berisi buku pelajaran, koleksi manga, dan kumpulan n****+-n****+ kesukaan Mila. Di sebelahnya ada sebuah laptop di atas meja belajar dan kursi putar yang menjadi tempat kesukaan Mila. Di sisi lain rak buku adalah sebuah lemari baju ukuran besar motif bunga lily putih dan di kirinya ada rak sepatu minimalis. Koleksi pansus dan kets Mila ada di sana. Arata beralih menatap ke sebelah kiri, terdapat timbangan, kaca ukuran besar di dinding, dan seperangkat sofa dan televisi mini. Arata menghela napas, kemudian mengusap foto Mila. "Adikku yang cantik, jangan sakit lagi, ya," katanya.   ♫♫♫ Keesokannya.   Arata keluar kamar, bergegas ke kamar mandi yang berada di antara kamarnya dan kamar Mila. Ketika dia membuka pintu kamar mandi, terdengar suara ribut Ningrum yang mengomeli Dean di dapur, sisi lain area kamar Arata. "Ibu sudah bilang, kan, Dean anak baik, jadi,  nggak boleh membantah perintah Ibu," kata Ningrum. Arata yang mendengar ini merasa tertarik, lantas mengintip ke area dapur. Terlihat Ningrum sedang memeluk Dean yang menangis sambil mengusap-usap kepala anak lelaki itu. "Dean cuma mau bantu Ibu masak. Dean bukan anak nakal." Ini rengekan Dean. Setelah kalimatnya yang disertai isakan tersebut terdengar, Arata langsung buang muka dan kembali ke kamar mandi.  Lima belas menit berlalu, Arata bersiap di meja makan, sudah dengan seragam putih-abunya yang rapi. Di meja makan sudah ada Mahiro, Kazuo, Dean dan Ningrum yang duduk berjejer. Arata menarik kursi di depan Mahiro, dan mendudukinya. Dia melirik tempat kosong di kanannya, biasa Mila yang duduk di situ. "Ini bekalmu," kata Ningrum sembari menyodorkan bekal ke depan Arata. "Oh, bekal untuk Mila biar Ibu saja nanti yang antar, sekalian mampir sebelum Dean berangkat sekolah." "Makasih, Tante, tapi kalau nggak ada Mila, aku nggak perlu bekal," kata Arata, lantas menyorong kembali bekal itu ke hadapan Ningrum. Kazuo melirik Arata, berniat protes dengan tindakan putranya barusan, tapi Ningrum memegang punggang tangan Kazuo dan menggeleng pelan sembari tersenyum. Ningrum sudah cukup senang karena Arata tidak melempar bekalnya seperti di SMP waktu itu. Memang, biasanya harus Mila yang memasukkan ke tasnya baru Arata mau membawa bekal. Kazuo pun hanya bisa mengembuskan napas pelan ketika melihat sang istri menyunggingkan senyum paksa. Mahiro mengamati suasana yang sedikit tegang, terlebih tidak ada Mila yang biasanya memeriahkan acara sarapan itu. Untuk memecah sunyi, dia pun bertanya, "Ar, kamu sudah pilih ekskul?" Arata menatap ke abangnya yang duduk di depan, menghentikan sejenak aktivitas mengunyah nasi goreng buatan Ningrum. "Rencananya mau masuk ekskul Sains sama Mila." "Kenapa Mila ikut ekskul? Dia nggak boleh capek," kata Kazuo. "Iya, Yah. Aku juga sudah bilang gitu, tapi kasihan juga kalau Mila sendirian di rumah pas aku ada ekskul, kan?" "Kamu nggak usah ikut ekskul saja, seperti di SMP." "Nggak bisa begitu, Yah," ujar Mahiro, memotong kalimat yang hendak meluncur dari bibir Arata. "Arata perlu kegiatan ekskul untuk menambah nilai ketika nanti mengajukan diri ke kampus negeri. Dia harus punya pengalaman dengan dunia medis, dan menurutku klub sains PHS cukup menjanjikan masa depannya." Kazuo mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kamu benar, ini demi masa depan Arata. Apa Mila juga ingin menjadi dokter makanya ikut klub Sains?" Arata menggeleng pelan. "Aku nggak tahu apa yang dia mau." Kazuo lantas melirik Mahiro. "Aku juga nggak tahu, Yah. Mila sangat tertutup sebagai pasienku. Dia selalu memasang wajah baik-baik saja agar kita nggak mencemaskannya." Setelah mendengar jawaban Mahiro, Kazuo lantas menoleh ke Ningrum di sisi kirinya. Wanita usia tiga puluh lima tahun itu pun menggeleng. "Dia hanya terbuka dengan Arata. Jika Arata saja nggak tahu, bagaimana Ibu yang sibuk ini bisa tahu? Maaf, Sayang, aku gagal menjadi seorang ibu." Kazuo menepuk pelan punggung tangan Ningrum. "Kamu ibu terbaik. Mila hanya pintar menyembunyikan perasaannya." Kazuo kemudian kembali menatap Arata. "Coba cari tahu apa yang dia inginkan di masa depan, dan cari ekskul yang sesuai dengan cita-citanya itu, tapi ingat, jangan mengambil musik atau aktivitas fisik yang berat. Juga harus mempertimbangkan lokasi kerjanya." Arata mengangguk. Dalam hati, dia merasa lega. Bungkam tentang Mila yang mencintai dunia musik adalah pilihan terbaik. Setelah menenggak habis minumannya, Arata kembali ke kamar mandi, dan situasi itu dimanfaatkan Dean untuk memasukkan bekal buatan Ningrum ke dalam tasnya. Dean tersenyum kepada Ningrum, lantas ibunya itu mencium pipinya. “Anak pintar,” puji Kazuo sembari mengusap-usap pucuk kepalanya. Mahiro hanya melirik datar adiknya yang tersenyum lebar itu.   ♫♫♫   Jam pelajaran di sekolah berlangsung lambat bagi Arata. Dia merasa cemas dengan kondisi Mila di rumah skait, tapi sangat gengsi mau menanyakan tentangnya melalui aplikasi w******p. Dia masih kesal karena Mila menceritakan tentang orang bermusik itu dengan penuh semangat. "Ar, wajahmu kenapa?” tanya Beni, lelaki tinggi yang menjabat sebagai ketua kelas X IPA 1. “Kompakan gitu memarnya sama Noval.” Beni tertawa pelan, sementara Jaka dan Candra di sebelahnya hanya bersikap sopan dengan ikut tertawa. “Bukan apa-apa,” jawab Arata dingin. “Mila sakit, ya?” Arata langsung menatap tajam Beni dari balik kacamatanya. “Memangnya kenapa kalau adikku sakit?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN