♫ ♫

1053 Kata
“...berdansa di bawah kanopi musim semi yang bersinar,” bisik Altha tepat di telinga Mila. Musik pun berakhir. Mila tertawa, dia bergerak mundur. Altha membungkuk. “Terima kasih sudah bersedia menari dengan hamba, Yang Mulia,” kata Altha. Mila kembali tertawa. “Hahaha... Iya, deh.” Mila pun membungkuk, sedikit mengangkat kedua ujung roknya. “Terima kasih juga telah menari denganku, Pangeran.” Keduanya bertatapan, tersesaling melempar senyum penuh arti, lalu tertawa. “Aku selalu ingin berdansa seperti tadi dengan seseorang dari dulu, tapi nggak pernah bisa,” cerita Altha ketika mereka kembali duduk di bawah pohon akasia. “Kenapa?” “Aku khawatir cewek-cewek yang aku ajak dansa bakal baper. Aku nggak suka mematahkan hati seorang gadis, tapi lebih nggak suka ketika gadis itu merengek dan terus memintaku menjadi pacarnya. Lalu dengan segudang alasan yang menurutnya aku kayak memberinya kode, dia menyebutku PHP (pemberi harapan palsu). Aku sangat sebal kalau sudah begitu.” “Kalau begitu, nggak usah ramah sama mereka, biar nggak digangguin.” “Begitukah?” tanya Altha, alis kirinya naik. “Tapi, bagaimana, ya, Mil,” Altha menyisir rambutnya dengan jari, bergaya layaknya foto model, “aku sangat suka saat mereka memujiku tampan, keren, baik, ramah, dan─” “Hedeh... ya, ya, ya, Pangeran tampan. Aku sudah bosan dengar nama Atlan terus-terusan dipuji sama cewek-cewek itu. Di mana-mana, kantin, kelas, koridor, bahkan toilet.” “Hahaha... kamu nggak suka kalau aku dipuji? Takut abangmu kalah saingan, ya?” Altha menyikut pelan lengan Mila. “Enggak sama sekali.” Mila menatap ke lapangan basket, ke arah Arata yang dibimbing guru olahraga untuk mendribel bola dengan benar. Dia tersenyum kecil. “Arata itu cengeng, lemah, dan nggak bisa olahraga. Aku malah senang kalau enggak ada cewek yang  memuji atau memerhatikannya.” Altha mengikuti arah pandang Mila, senyumnya hilang. Mengembuskan napas, dia bangkit. “Aku mau ke ruang musik. Masih ada satu jam lagi sampai pelajaran olahraga selesai. Mau ikut?” Mendongak, Mila lantas tersenyum, dan mengangguk. “Eum... Bagaimana cara kita massuk ke ruang musik? Bukannya ruangan itu dikunci?” “Minta kuncinya ke guru, lah, Mil.” “Oh, iya, benar.” Mila menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi. “Atlan sikapnya berbeda ya dari kemarin kita kenalan.” “Beda bagaimana?” “Pas di rumah sakit, Atlan kelihatan cuek sama aku.” Altha tertawa, mereka mulai melintasi depan area kelas IPA, menuju gedung Bahasa, tempat ruangan musik berada. “Bagaimana aku nggak sebal kalau ada cewek aneh yang terus mengikutiku, bahkan sampai ke kamar mandi juga. Parahnya, semua itu cuma demi dengar biola.” Mila merengut, Altha pikir itu imut. “Cewek aneh bin menyebalkan yang terus mengikutimu demi biola ini adalah satu-satunya yang kamu ajak dansa.” Altha berdecak sebal. “Bagaimana lagi, nggak ada yang lain.” Ekspresi Mila berubah ceria lagi. “Eh, iya, tadi Atlan bilang nggak mau ngajak cewek berdansa karena khawatir mereka akan baper, bagaimana kalau nanti aku baper sama Atlan?” Altha berhenti melangkah, menatap burung yang barusan terbang di langit, lalu tersenyum ke Mila di sebelahnya. “Aku sangat menantikan hari itu.” “Dasar playboy,” kata Mila. “Hei, aku serius.” “Ya, ya, ya, Pangeran Tampan.” “Aku serius, Mil. Aku akan dengan senang hati menyambut kebaperanmu itu.” “Hemm... Aku juga.” “Kenapa nada suaramu jadi aneh begitu?” “Aneh bagaimana?” “Terdengar malas.” Tanpa disadari keduanya, Noval memerhatikan mereka sejak tadi dari lapangan basket. Dia yang kini tengah memegang bola sambil melihat Altha mengacak-acak rambut Mila itu refleks melempar bola di tangannya. “Auh!” Arata yang menjadi korban lemparan bola Noval. “Hei, kamu memang selalu suka cari masalah sama aku, ya?” “Ah, maaf. Tanganku terpleset.” Noval masa bodoh saja, dengan santai memungut bola basket kembali. “Mana bisa tangan terpleset. Perhatikan kosa katamu itu. Gunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.” “Berisik! Lebih baik kau perhatikan adikmu itu!” teriak Noval, mengundang tatapan heran siswa-siswi lain yang sedang berlatih operan bola basket. “Cih! Menyebalkan.” Noval malah keluar dari lapangan basket. “Kenapa anak itu selalu marah-marah?” keluh Arata. “Noval Adyaksa! Pelajaran olahraga belum selesai.” Teriak Pak Dodi, guru olahraga. “Cerewet! Aku mau ke toilet! Bapak mau, aku buang air di lapangan?!” teriaknya, sudah bersiap menurunkan celananya. Anak-anak di sana seketika tertawa. Pak Dodi hanya geleng-geleng kepala. Noval kembali balik badan, melangkah menuju kamar mandi dalam kantin. “Sebenarnya, Noval bisa lucu juga, ya?” komentar Anggrek kepada teman-teman se-gengnya itu. “Dia nggak seburuk gosip yang beredar.” “Semua cowok saja kamu bilang lucu, Nggrek,” komentar Amel.   ♫ ♫ ♫   Mila dibuat terperangah dengan suasana dalam ruang musik, bahkan Altha juga tak menyangka kalau tempat itu akan menyamai luas aula sekolah. Ketika menapaki lantai mermer sewarna cokelat tua, hidung Altha disambut wangi jeruk dari pengharum ruangan, juga udara segar dari AC. Matanya kemudian dimanjakan dengan berbagai alat musik yang tersusun rapi di sudut kanan ruangan, juga sebuah lemari yang Altha yakin isinya juga alat musik. Ada panggung cukup besar di depan sana, lengkap dengan kursi-kursi plastik di bawah depan panggung. Sudah mirip panggung untuk konser. Lalu di sudut kiri, sepanjang dindingnya tertempel kaca-kaca besar mirip milik klub menari di SMP-nya dulu. Altha pun yakin kalau ruangan ini juga digunakan anak klub tari. Yah, wajar saja jika melihat betapa luas ruangan ini. “Keren... Ruang musik di rumah Atlan kalah.” Altha melirik Mila sinis. “Yah, ruang musikku kalah sama di sini.” Dia kemudian menuju sudut kanan ruangan setelah mengunci pintu, sesuai permintaan guru tadi. “Tapi Atlan hebat juga bisa dikasih kunci ruang musik, karena setahuku hanya ketua PMC atau guru pembimbing musik saja yang berhak atas kunci ini.” “Aku cuma bilang bahwa aku adalah anak tunggal Pak Yusuf, dan aku mau lihat-lihat ruang musik, lalu bu guru dengan semangat nanya-nanya apakah ayah akan mengambil murid PHS lagi untuk lomba tahun depan. Bu guru juga bertanya tentang aku yang mau masuk klub musik, kemudian memujiku yang pernah menang lomba sebagai best violinst tingkat kota pas kelas 1 SMP. Aku nggak nyangka kalau bu guru nge-fans sama aku, sampai masih ingat prestasiku itu. hahaha...” Mila bersedekap setelah mendengar nada sombong dalam ucapan Altha. “Dasar tukang pamer.” “Loh? Apa yang salah?” Altha menyisir rambutnya dengan tangan. “Kamu, kan, nanya cara aku dapat kuncinya, ya, sudah, aku jelaskan.” “Ya, ya, ya, Pangeran Tampan. Aku salah.” Altha terkikik melihat gestur kesal Mila. “Kemarilah!" Altha tiba-tiba menarik pergelangan kanan Mila setelah mengambil sebuah biola, lalu mendudukkan gadis itu di kursi plastik terdekat. "Duduk di sini," katanya, sementara dia sendiri duduk di lantai. "Pertama, kenali alat musikmu." "Aku sudah tahu sejak lama. Sudah searching di internet. Ini namanya bow atau busur," kata Mila sembari menunjuk bow atau alat peggesek biola. "Bagian ini namanya pasak, buat mengatur senar. Ini sampai sini namanya leher biola tempat menekan senar. Ini senar, ada empat. Ini penyangga dagu buat tempat nempelin dagu." Mila menjelaskan sembari menunjuk biola di tangan Altha. "Aku benar, kan?" Altha mengangguk, sedikit kagum dengan antusias Mila. “Hei, Mil, kenapa kita nggak masuk PMC saja? Kalau sama kamu, mungkin aku akan ikut juga bergabung dengan PMC.”   ♫♫ ♫
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN