Arini segera memberikan makanan yang dipesan pada si mbak Filler. Tapi dia belum mau beranjak pergi. Bagaimana tidak, Arini mesti nombok lima puluh ribu.
Tapi lama-lama dicuekin, tanpa bilang terimaksih, kek, Kamsahamnida,kek. Bikin Arini kesal hingga berdehem sambil memasang wajah jutek.
"Ehmmmm !"
"Eh ... mukanya jangan ditekuk begitu. Kamu enggak ikhlas ya tolongin aku !" Si mbak Filler terlihat tidak suka karena Arini memasang wajah jutek sambil berdehem kencang, bukannya cepetan pergi.
Arini segera tersenyum lebar dan manis, sehingga gigi rapinya terlihat.
"Uang saya, dibalikin dong kak, tadi saya nombok lima puluh ribu. Itu uang buat naik ojek," ucap Arini dengan wajah dibuat semelas mungkin.
"Hadeh ... duit segitu doang diributin," ucap Si embak balik lagi sambil mengambil makanan di depannya.
"Uang segitu, banyak buat saya kak. Lagian kalau enggak ada lima puluh ribu, enggak bakal bisa ada seratus ribu," balas Arini membuat si embak berbalik menatapnya.
"Ni .... anak baru, minta disidang, kali ya !" si embak Filler berkata ketus tidak suka akan ucapan Arini.
"Ya sudah, lah ... saya sedekahin buat embak aja, kali aja saya dapat jodoh yang kaya, tampan, baik hati dan tidak sombong," ucap Arini lalu segera melangkah pergi dengan cepat, sebelum si mbak filler makin bengkak bibirnya karena ngomel pada Arini.
Dengan wajah jutek Arini melangkah pergi. Tapi seseorang terlihat berjalan cepat menghampirinya.
"Rini ... dipanggil Pak Devan." Dengan tergopoh-gopoh, seorang wanita cantik menghampiri Arini dan menyampaikan pesan dari Devan.
"Hadeh ... ngapain juga itu aki-aki tua panggil aku. Jangan-jangan mau menunjukkan kemesraannya sama si mbak kunti !" gumam Arini kesal, karena ia belum menghabiskan mie gelas miliknya, yang ada di pantry. Tadi diganggu mbak Filler, sekarang si aki-aki tua, kesal Rini di dalam hati. Walau sambil ngedumel, ia berjalan menuju ke ruangan Devan.
Toook !
Arini mengetuk satu kali saja, berharap Devan tidak mendengarkan, sehingga ia bisa pergi. Jadi, kalau ditanya ia sudah datang memenuhi panggilan tapi si bos tidak ada di tempat.
"Masuk !"
Terdengar suara dari dalam.
"Sial ....sial," kesal Arini lalu perlahan membuka pintu.
Cklek !
"Bapak panggil saya ?" Tanya Arini masih di ambang pintu.
Devan tersenyum manis melihat Istrinya.
"Sini sayang ...," panggil Devan sambil menepuk sisi kosong di sampingnya.
Arini terlihat malu, karena Devan memanggilnya sayang. Sedangkan Devan tidak sendiri. Melainkan bersama seorang pria tampan, yang tersenyum sangat manis sambil menatap Arini. Netra Arini berkelana, mencarai si mbak kunti yang sepertinya sudah pindah alam.
"Cari siapa, sayang ?" tanya Devan yang dibalas gelengan Arini.
"Ini Kai, kamu ingat ?" tanya Devan memperkenalkan pria di depannya begitu Arini sudah masuk dan duduk agak jauh dari Devan.
Arini menggeleng karena dia memang tidak kenal. Ada-ada saja aki-aki, secara aku baru datang ke kota, mana kenal siapapun, batin Arini menanggapi ucapan Devan. Tapi dalam hati, mana mungkin dia marah-marah enggak jelas.
"Aku Kai. Hmm ... kamu pembantunya Devan, ya ?" tanya Kai yang segera mendapat pelototan dari Devan. Karena demikianlah, Rini memperkenalkan dirinya saat mereka berjumpa untuk pertama kalinya, di saat Arini belum lupa ingatan dan tentu saja masih seorang gadis muda yang baru dinikahi oleh Devan. Dan bergelar Istri Rahasia.
Rini mengatupkan tangannya sebagai tanda penghormatan dan perkenalan dengan pria di depannya.
"Kalau mau, kerja saja di tempatku, aku punya coffe shop. Gajinya dua kali lipat daripada bekerja bersama Devan." Ucapan Kai seperti familiar dalam ingatan Arini. Dia mencoba mengingat, sehingga merasakan kepalanya sedikit sakit.
"Aku seperti pernah mendengar kalimat ini, tapi dimana ?" gumam Arini sambil menahan sakit di kepalanya.
"Kamu baik-baik saja ?" tanya Devan yang melihat Rini seperti kesakitan.
"Aku seperti pernah mendengar kalimat yang diucapkan Pak Kai. Apa kita pernah bertemu sebelumnya ?" tanya Arini yang membuat Kai tersenyum.
Kai sengaja berkenalan seperti itu, karena momennya sangat pas. Devan sudah menceritakan perihal keadaan Arini, sehingga ia sengaja berbicara seperti tadi. Dan sesuai perkiraannya, Arini mengingat sesuatu. Sepertinya mereka memang harus mulai bermain peran dan membawa Arini kembali ke masa saat pertamakali datang ke kota.
"Hmmm ... jangan diingat, mengalir saja. Pelan-pelan kamu akan ingat dimana kita pernah bertemu," ucap Kai pada Arini, masih dengan senyum manisnya.
"Oke, aku pamit dulu, kapan-kapan aku ajak untuk melihat coffe shop milikku," ucap Kai lalu segera beranjak dari duduknya dan menatap Devan sambil mengangguk.
Setelah Kai pergi, Arini terlihat merenung.
"Kamu baik-baik saja ?" tanya Devan yang saat ini sudah berada di dekat Arini. Sontak Arini segera mundur karena jarak mereka begitu dekat sekali.
Devan mengulurkan tangan untuk mengusap rambut Arini.
"Aku antar pulang ?" Devan benar-benar merindukan Arini. Biasanya jika ia mengusap rambut Arini, Istrinya itu akan segera bersikap manja bak kucing minta dielus.
"Tap ...tapi pekerjaan saya belum selesai." Arini merutuki dirinya, mengapa kayak jelly saat diperlakukan manis oleh Devan seperti ini.
"Sayang .... kamu kerja hanya sampai jam makan siang, setelah itu, tugasmu menemani si kembar. Mereka membutuhkanmu. Aku akan bayar juga, karena kamu bekerja." Devan berbicara dengan sangat lembut sambil menatap dalam manik mata Arini.
"Tapi ... bukan seperti itu perjanjiannya." Arini tidak setuju dengan kesepakan yang Devan buat sendiri.
Devan yang tidak tahan, mendekat hendak mencium bibir Arini.
Bugh !
Arini menendang Devan, sehingga Devan sedikit mundur dengan posisi Kaki Arini yang masih berada di d**a Devan. Lagi-lagi Arini merasa Dejavu. Ia seperti pernah melakukan hal ini. Tapi dimana ? dia benar-benar lupa.
"Sayang ... walau sedang lupa ingatan, kamu tetap saja kejam," ucap Devan sambil tersenyum, bukannya marah karena Arini menendangnya.
"Aku tidak lupa ingatan ! aku masih Arini !" Arini tidak terima jika Devan mengatakan jika ia sedang lupa ingatan.
"Baiklah, kamu Arini gadis sembilan belas tahun yang baru tamat sekolah, dan sekarang adalah istriku." Ucapan Devan terdengar lembut tapi penuh tekanan pada akhir kalimat.
Perlahan Arini menurunkan kakinya. Ia terlihat merenung kembali, bingung pada ucapan Devan dan ingatan kilas balik bermain di dalam pikirannya.
"Sekarang aku antar pulang, hanya perlu bilang iya, atau tidak perlu bekerja sama sekali !" ancam Devan yang kali ini tidak dibalas oleh Arini. Ia seperti lelah, ingin istirahat atau bertanya pada Bi Sumi mengenai ucapan Devan.
"Iya kita pulang," ucap Arini akhirnya.
Devan tersenyum lalu meminta Arini menunggu sebentar. Devan memanggil asisten untuk ke ruangannya. Saat Devan sedang sibuk berbicara dengan asistennya, Arini menyelinap keluar dari ruangan Devan, tapi gerakannya cepat diperhatikan oleh Devan.
"Mau kemana ?" tanya Devan cepat.
"Hmmm ... saya tunggu di luar saja, enggak kabur, kok," ucap Arini lalu segera beranjak keluar. Tapi bukan keluar ruangan saja, ia terus saja berjalan lalu memasuki lift. meminta tolong pada seseorang untuk membantunya memencet tombol ke lantai bawah, seperti yang dilakukannya saat baru tiba dan pergi untuk membelikan pesanan si mbak filler.
Arini berjalan sambil melamun, tidak menyadari jika ia sudah sedikit jauh dari kantor Devan.
"Maharani !"
Seseorang memanggilnya. Arini menatap si pemanggil,mencoba mengingat.