Mami membawa Arini menuju kamar yang dulu pernah ditempati oleh Arini. Devan ingin protes, tapi Mami dengan cepat menaruh telunjuk di bibir sebagai isyarat agar Devan diam.
"Mi ....tidur enggak sama Arini mendingan Devan tidur di kuburan saja," bisik Devan yang gusar, kacau dunianya jika tidak bisa memeluk istrinya tersebut.
"Sabar ... ini ujian, mungkin yang maha kuasa mau mengujimu, selingkuh apa enggak selama istri enggak bisa dipeluk," balas Mami sambil berbisik pada Devan yang terlihat sangat frustasi.
Mami yang semula shock, sedikit mulai tenang dan mencoba menerima keadaan Arini, serta berusaha setenang mungkin untuk membuat menantunya itu bisa ingat kembali siapa dirinya.
Devan masih berdiri mematung di depan pintu kamar Arini, sedangkan si kembar sudah pergi bersama Nenek mereka.
Arini memicingkan mata melihat Devan yang masih berdiri di depan pintu.
"Bapak ngapain disitu ? cepat pergi, saya ngantuk, mau tidur !" ucap Arini kasar sambil menutup mulutnya yang sedang menguap. Padahal hanya pura-pura biar Devan pergi.
"Aku lapar, mau makan," jawab Devan dan malah masuk ke kamar mendekati Arini.
"B _bapak mau ngapain ? saya bakalan teriak kalau bapak macam-macam !" tantang Arini yang berusaha galak walau sebenarnya takut juga melihat Devan dengan wajah dinginnya.
"Cepat masak, aku lapar. Aku tidak biasa makan masakan Bibi," perintah Devan pada Arini dengan jarak yang begitu sangat dekat, sehingga Arini sampai menarik kepalanya agar Devan tidak menyentuhnya.
Sedangkan Devan benar-benar gemas melihat Arini yang seperti saat ini. Mereka seperti kembali pada kisah lama, kucing mengejar tikus. Masa pernikahan rahasia yang mendebarkan. Devan tersenyum, mungkin dia harus kembali ke mode lama untuk membuat Arini kembali jatuh cinta.
"Saya baru habis sakit, mau istirahat. Bapak bisa makan masakan bibi, di dapur," tolak Arini pada permintaan Devan.
Devan akhirnya mengalah, ya kali ini saja, karena ia akan terus mengganggu Arini. Hanya saja, dia bingung, malam ini bagaimana nasibnya ? mosok harus peluk bantal ?
Setelah Devan pergi, bukannya tidur, Arini malah mengendap-endap keluar kamar bak maling jemuran.
"Ibu ...." suara Ryu mengagetkan Arini.
"Aduh .... bocah, ngagetin saja kayak bapaknya," omel Arini pada Ryu yang menatap Arini sambil tersenyum.
"Aku bukan Ibumu, aku hanya mirip Ibumu, jadi panggil kakak saja ya," pinta Arini pada Ryu yang malah tersenyum.
"Boleh, Kak Rini," jawab Ryu yang dibalas acungan jempol Arini.
"Kembaran kamu mana ?" tanya Arini karena tidak melihat bocah yang mirip dengan bocah yang ada di depannya.
"Lagi bobok, habis nangis karena Ibu lupa sama dia," jawab Ryu akan pertanyaan Arini.
Tampak Arini sedih mendengar ucapan Ryu.
"Hmm ... dia sudah makan ? namanya siapa ?" tanya Arini pada Ryu.
"Namanya Ray, kalau aku Ryu," jawab Ryu sedikit lucu karena Ibunya benar-benar lupa pada mereka. Tapi biarlah, walau ada sedih di hatinya, tapi ia tidak boleh cengeng.
Ray suka masakan Ibu, tapi sayang, Ibu lagi lupa sama kami." Ucapan Ryu mengingatkan Arini pada perkataan Devan, jika Istri Devan sedang lupa pada mereka. Walau bingung, tapi Arini tidak ingin bertanya.
"Ray suka makan apa ? biar kakak yang masakin," ucap Arini sambil menarik tangan Ryu agar menunjukkan padanya dimana dapur.
"Ray suka semua masakan yang Ibu buat." Jawaban Ryu membuat Arini manggut-manggut.
Arini mulai menyisir dapur, mencari apa yang bisa dimasak. Maid dan juga Bi Sumi hanya memperhatikan tanpa melarang. Karena sebelum sakit, ia juga terbiasa begitu.
Arini meminjam ponsel milik Bi Sumi, dan mulai mencari masakan yang enak untuk dibuat cemilan. Akhirnya, pilihannya jatuh pada Garlic Bread Teflon Simple dari bahan yang ada.
Ponsel milik Arini disimpan oleh Devan. Mami yang menyarankan Devan untuk menyimpannya sementara waktu, daripada Arini bingung akan pesan masuk yang diterimanya.
Keluarga sepakat untuk merahasiakan keadaan Arini pada siapapun.
Adrian dan Freya sudah diberitahu akan apa yang saat ini terjadi pada Arini. Mereka berdua berjanji akan segera berkunjung.
Arini selesai memasak, dan mengajak Ryu untuk menemui Ray.
Pelan Ryu membuka pintu kamar mereka. Tampak Ray yang sudah bangun dan sedang duduk sambil melihat keluar kamar.
"Ray ...," panggil Arini yang membuat kedua netra Ray kembali berkaca. Ia merindukan pelukan Ibunya. Tidak terasa, ia mulai menangis lagi.
Arini cepat meletakan piring di atas nakas lalu berjalan cepat dan segera memeluk Ray. Hatinya sedih melihat air mata Ray.
"Jangan menangis, kakak ada disini ?" ucap Arini yang membuat Ray berhenti menangis mendengar kalimat kakak.
"Kakak ?" tanya Ray pada Arini dengan wajah bingung.
"Iya ... panggil saja aku kakak, kan usiaku baru sembilan belas tahun mau ke dua puluh tahun jadi masih pantas 'kan, kalau dipanggil kakak." Tentu saja Ray melongo akan penjelasan Arini.
Ray beralih menatap Ryu yang mengangguk penuh arti. Tapi Ray tidak bisa memanggil begitu.
"Apa boleh panggil Ibu ?" tanya Ray dengan wajah memelas. Ada sedih membuncah di hatinya.
Arini menarik nafas panjang, rasanya sangat lucu kalau dia dipanggil Ibu. Tapi melihat wajah sedih Ray, membuatnya tidak tega.
"Baiklah, saat berdua atau saat di rumah. Kalau ada orang, panggilnya harus kakak, oke ?" Arini mengulurkan tangan dengan senyum yang manis. Ray menerima uluran tangan Arini dengan hati sedih, tapi tetap mengangguk dengan berat hati.
"Nah .... jangan sedih lagi, ayo kita makan bareng," ajak Arini lalu membawa hasil masakannya ke atas karpet dan memanggil kembar untuk duduk di dekatnya.
Devan yang hendak masuk ke dalam kamar si kembar, urung melakukannya, melihat bagaimana bahagianya Ray yang beberapa waktu lalu menangis. Ia hendak menenangkan Ray sebelum pergi, tapi sepertinya Ray tidak akan menangis lagi setelah ini.
Kalau untuk Ryu, Devan tidak terlalu cemas. Putra sulungnya itu lebih dewasa dalam bersikap. Jauh sekali dari perkiraannya.
Akhirnya Devan melangkah pergi. Sore ini ia ada pertemuan dengan rekan kerjanya guna membahas proyek yang sedang mereka kerjakan.
Devan tiba di lokasi, seseorang menyambutnya dengan senyum merekah.
"Lala, eh maksud saya Ibu Lala ?" sapa Devan pada si wanita yang beberapa waktu lalu pernah berkenalan dengannya saat ia mengantarkan anak-anak berlatih.
"Senang bertemu Pak Devan disini. Semoga setelah ini, kita bisa menjadi partner yang baik," ucap Lala sambil mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Devan.
Rasanya seperti ketiban rezeki nomplok. Ia akan berusaha mendekati Devan yang sesuai dengan kriterianya. Walau ia tahu, Devan pasti sudah punya Istri, hanya saja menaklukan pria beristri adalah tantangan yang menarik. Karena setelah mereka bertekuk lutut, maka ia akan pergi.
Lala tersenyum samar, menatap Devan yang benar-benar mencuri hatinya.
*******
Pov author : Aduh Mbak Lala .... mas Devan jangan diapa-apain ya .... Si mbak Arini lagi lupa ama suaminya itu ...