Deenan Jevino Argadhika merapikan kancing teratas seragamnya dengan santai ketika semua orang sibuk berlalu-lalang dengan pekerjaan yang Deenan berikan. Kekuasaan sebagai Ketua eskul Mading membuat Deenan bebas menyuruh anggotanya melakukan apa pun, sejauh tak melewati batas-batas peraturan SMA Mahardika Jakarta.
Dua hari lagi akan diadakan pesta olahraga di sekolahnya, untuk memperingati hari jadi Mahardika. Eskul Mading bekerja sama untuk membantu Osis karena mereka kerepotan. Sehingga mau tak mau, Deenan harus turun tangan. Ia tak suka ada cela dalam pekerjaannya, dan sifatnya yang satu ini menurun dari sang Mama. Perfeksionis total.
"Kak Deenan, yang bertugas jadi photographer buat acara nanti itu fix Kakak? Atau ada yang lain?"
Pertanyaan dari utusan Osis langsung dihadiahi anggukan oleh Deenan. "Iya, gue," jawabnya.
Utusan Osis itu memberikan jempol, membuat Deenan mengangguk lagi tanda setuju. Ketika ia berniat ingin mengecek pekerjaan anggotanya, benda tipis di dalam saku Deenan bergetar. Ia tak langsung merogohnya seperti kebanyakan orang, Deenan akan memberikan jeda beberapa waktu sambil menengok jam tangannya.
Jangka waktu sepuluh menit, barulah ponsel itu dikeluarkan dari tempatnya. Dengan setengah malas, Deenan menggeser layar untuk melihat notifikasi yang masuk.
Danielle : Deenan! Udah makan siang?
Deenan : Blm.
Danielle : Ini udah jam satu, Deen. Entar kalau maag Deenan kambuh gimana? Deenan di ruang mading? Mau Danie bawain makan?
Jika gadis itu ada di hadapannya, Deenan yakin ia akan mendapatkan sorot sok khawatir berlebihan mendekati alay. Deenan tak mengerti mengapa para gadis senang mengumbar perhatian tidak masuk akal mereka. To much. Nggak jelas.
Danielle : Deenan mau makan apa? Bakso? Siomay? Batagor? Mpek-mpek? Mie tek-tek? Atau nasi aja? Lauknya ayam bakar? Cumi? Sop iga? Terus minumnya apa?
Deenan : Pa aja.
Danielle : Tunggu ya, 15 menit lg Danie dateng!
Deenan : Y.
Benda tipis itu sudah kembali ke tempat asalnya, dan pemiliknya memilih menyenderkan punggung pegalnya pada kursi. Deenan ingin terlelap sebelum nanti mengecek pekerjaan anggotanya.
Sekitar lima belas menit menutup mata, sesuatu yang lembut mendarat di pipinya. Sehingga Deenan langsung membuka mata, dan menemukan gadis yang sebisa mungkin ia hindari sedang tersenyum bodoh.
"Awas!" Deenan menepis telunjuk Danie yang seenaknya saja bermain pada pipinya.
Emangnya Danie siapa sampai seberani itu?
"Ayam bakar!" kata Danie bersemangat, selalu. Ia memberikan satu porsi paha ayam bakar, beserta nasi dan sambal yang terlihat sangat menggugah selera.
Deenan mengambil piring dari tangan Danie dengan cuek. Sedangkan gadis itu memilih duduk di sebelah Deenan sambil membuka tutup botol air mineral.
"Nggak usah berlebihan, gue bisa buka botol air sendiri," ujar Deenan kesal melihat kelakuan Danie yang selalu memperlakukannya bagai bocah.
Suara kekehan khas dari Danie terdengar, ia senang Deenan tidak mengusirnya karena hari-hari kemarin ia tak diizinkan duduk barang sedetik saja. Ya, Danie membuka botol air sambil berdiri. Menyaksikan Deenan makan dengan mata berbinar meski ia tahu bahwa cowok beralis tebal itu risi.
Namun Danie senang.
Danie bahagia dekat dengan Deenan meski Deenan tidak.
"Danie udah makan kok tadi," kata Danie memecah keheningan sehingga Deenan menghentikan kunyahannya.
Gue nggak nanya, tebak Danie dalam hatinya. Ia tahu betul Deenan akan mengatakan itu.
Dan cowok yang hobi mengoleksi jaket itu langsung menjawab, "Gue nggak nanya."
Binggo!
Tepat sasaran.
Danie malah tersenyum geli. "Nggak pa-pa Deenan nggak nanya, yang penting Deenan denger."
"Aneh," sindir Deenan sambil nenyerongkan badan, membelakangi Danie yang masih tersenyum seperti habis menang undian berhadiah pesawat.
Danie menaruh botol air mineral itu di sebelah Deenan. Menepuk bahu cowok itu perlahan, tanda bahwa ia akan segera pergi dan tak akan mengganggu Deenan lagi.
"Sana," usir Deenan tidak peduli.
Danie melangkah agar bisa berhadapan dengan Deenan. Cowok itu sudah terlihat sangat kesal dan itu menggemaskan. Danie merendahkan wajahnya, sehingga dengan refleks Deenan mundur.
"Di film romantis yang Danie tonton, kalau ceweknya mau pergi, cowoknya nepuk kepala ceweknya lho, Deen." Danie memberi kode keras, berbicara di hadapan Deenan. Mencoba menekan detak jantungnya sendiri yang menggila meski Deenan menatapnya tanpa minat.
"Terus?" pancing pemuda beralis tebal itu dengan suara datar.
"Nggak tahu terusannya. Wi-fi rumah keburu mati, jadi belum habis nonton, he he he!" Danie sengaja berbohong agar kepercayaan dirinya tidak cidera. Percuma jika memberi kode pada Deenan.
Danie sudah berdiri tegak lagi, mengangkat tangan kanannya untuk ia lambaikan pada Deenan. Jangan lupakan senyum sumringah itu. Meski respon Deenan sangat dingin, Danie tak pernah kesal. Ia akan lakukan itu setiap harinya, jika ada kesempatan.
Danie berlari keluar sambil berteriak, "Danie suka banget sama Deenan! Sarangheyooo, Nan-nan ganteng!"
Suara Danie membuat para anggota mading yang mendengar langsung tertawa, berbeda dengan Deenan yang tidak peduli.
Deenan melanjutkan acara mengunyahnya, bertahan hanya beberapa suap karena ia merasa tidak selera. Ia menaruh piring itu, beralih mengambil air mineral yang tutupnya sudah dibuka Danie. Deenan minum sampai kosong, tak bersisa lantas botolnya ia remas.
Deenan menepuk-nepuk dadanya, sambil mengambil napas teratur. Lalu membiarkan waktu satu menit untuk memegang sebuah cincin yang menjadi gantungan dari sebuah kalung tali yang ia pakai.
Cincin dengan desain sama persis seperti yang terlingkar pada jari manis Danielle Fegaya.
❄ ❄ ❄
"DEENAN AWAS!"
Duk!
Kepala Deenan yang sejak tadi terpokus untuk melihat hasil jepretan pada kamera akhirnya mencium pintu. Clumsy, terkadang Deenan bisa menabrak apa saja jika sedang berjalan sambil berkencan dengan kamera.
"Kambuh lagi dah oon-nya!"
"Nggak liat," sahut dengan pada Rhea yang sudah berkacak pinggang. Selalu memarahi Deenan jika ia tidak hati-hati.
"Pintu segede ini masih nggak liat juga?"
"Shut up, Rhealine."
Rhea langsung menyindir, "Language, Jevino!"
"Whatev." Deenan sudah paling malas jika ada yang memanggilnya dengan nama tengah. Lalu pemuda itu melirik Rhea yang sedang menikmati cake. "Lo nggak diet?"
"Nggak." Rhea menggeleng. "Mana ada orang yang bisa nolak cake buatan tunangan lo? Cake Danielle, gitu lho. Paling juara."
"Berisik." Deenan benar-benar bad mood mendengarnya.
Lalu tawa sarkas memenuhi ruangan berbentuk kubus itu. Kamar Rhea sekarang berubah menjadi teater komedi. Dia saja sih yang merasa lucu sedangkan Deenan tidak.
Rhea membawa langkahnya menuju Deenan yang duduk di sisi tempat tidur. Memberikan satu suap cheese cake tapi cowok itu menggeleng. Karena mendapat penolakan, Rhea menyimpan sisa cake ke atas meja belajar lalu ia kembali menghampiri Deenan. Duduk di sebelah cowok itu, melihat hasil jepretan Deenan pada kamera.
"Gue keliatan gendut sih di foto ini?" Rhea mengeluh, tidak terima.
Deenan langsung melirik dengan dahi mengkerut. "Ini nggak gendut, perasaan lo doang."
"Pipinya berisi, Deen! Ikan kembung aja kalah!"
Deenan memilih mematikan kamera sebelum menerima ocehan lain dari Rhea.
Memang ya, cewek itu sering membesar-besarkan masalah berat badan.
"Mending lo tidur deh. Udah malem," ujar cowok itu.
"Lo jadi nginep, kan?" tanya Rhea.
"Iya, Tante Adina ke Paris dan gue dengan terpaksa bertugas jadi baby sitter lo malem ini."
"Kalo gitu lo temenin gue nonton drama Korea dulu, ya? Please..." Rhea memasang puppy eyes yang tak mungkin bisa Deenan tolak. Sejak kecil, Rhea benar-benar bisa membuat Deenan bertekuk lutut.
Akhirnya Deenan mengangguk, membuat Rhea bersorak senang. Gadis itu langsung mengambil laptop, menaruhnya di pinggir tempat tidur sedangkan ia dan Deenan sudah mengambil posisi seperti buaya. Menaruh bantal di d**a masing-masing agar nyaman.
"Jangan tidur duluan ya, awas!" ancam Rhea kepada Deenan yang mengangguk lagi.
Episode pertama sebuah drama yang beberapa waktu lalu sengaja Rhea download sudah diputar. Gadis itu memberikan full attention pada layar laptop. Tak mau sampai terlewat satu adegan pun.
Meski tidak mengerti, Deenan ikut menonton. Harus rela tangannya diremas Rhea jika gadis itu melihat ada tokoh yang tampan sambil berkata, "Aduh, Oppa! Ganteng banget!"
Acara menonton drama itu terus berlanjut sampai jam dua pagi mentang-mentang besok libur jadi Rhea ingin marathon. Tidak peduli meski cowok di sebelahnya sudah mengeluh karena mengantuk.
Sabarnya Deenan, ia tak mungkin tidur jika Rhea belum tidur.
"Ngantuk?" Rhea melirik Deenan yang sebisa mungkin membuka matanya. Seperti kucing, merem-melek. "Tidur duluan aja kalo kaya gitu."
"Gue temenin," kata Deenan sambil mengusap rambut Rhea. "Lanjut aja sampai lo puas nontonnya."
Rhea kembali pada layar dan tidak sengaja drama yang ia tonton sedang menampilkan adegan kissing.
Mengapa suasana jadi canggung?
Dengan gerakan pelan Rhea melirik Deenan yang ternyata masih stay untuk membuka mata. Cowok itu diam saja membuat Rhea menyesal karena sudah melirik. Seharusnya, Rhea lanjut menonton.
"Payah." Tiba-tiba Deenan menyeletuk setelah mata Rhea tertuju pada laptop lagi.
"Excuse me?" ujar Rhea tak mengerti.
Deenan menunjuk layar menggunakan dagunya. "Pemain cowoknya payah. Gue bisa lebih kaya gitu pas nyium cewek."
"Oh?" Sekarang Rhea dan Deenan berpandangan, jarak mereka hanya beberapa inci saja.
"Butuh bukti?" Alis kanan Deenan naik sebelah, ia mendekatkan wajahnya pada Rhea sehingga deru napasnya terasa di sekitar pipi Rhea. Perlahan, sudut bibir Rhea terasa dikecup sesuatu yang hangat. Hanya sedetik karena Deenan menjauhkan wajahnya lagi.
Cowok itu berdecak, memalingkan wajahnya dan sempat mengacak rambut. "Arghh! Sorry..."
Rhea masih belum mengerti apa yang terjadi beberapa saat lalu antara ia dan sahabatnya.
"Sorry for what?" Akhirnya gadis itu bersuara karena melihat Deenan seperti menyalahkan dirinya sendiri. "It's not our first kiss, Deenan."
"I know." Cowok itu memposisikan diri untuk duduk sehingga Rhea mengikuti. "Sekarang lo tidur. Sorry buat yang tadi."
Ketika Rhea ingin menyanggah, ponsel di saku Deenan bergetar dan cowok itu memberi kode untuk keluar sebentar, mengangkat panggilan yang masuk.
"Apa, Danie? Lo liat jam nggak? Ini jam dua pagi dan lo nelepon gue?" Adalah kalimat sapaan yang Deenan lontarkan setelah menggeser layar ponsel.
"Deenan kebangun gara-gara telepon Danie?" tanya gadis itu khawatir dari ujung panggilan.
"Iya!" bentak Deenan tidak sadar. "Bisa nggak sih lo jangan ganggu gue?!"
"..."
"..."
Hening.
Kemudian Deenan sadar bahwa ia keterlaluan. "Sorry. Kenapa lo nelepon gue? Mimpi buruk, hmmm?" nada cowok itu melembut. Karena biasanya, Danie akan menelepon Deenan jika terbangun akibat mendapatkan mimpi yang kurang indah.
"Danie oke, kok. Kalau gitu Deenan tidur lagi--"
"Gue nginep di rumah Rhea. Jangan telepon kalo nggak penting. Ganggu." Deenan memotong cepat.
"---oh, okey," kata Danie setelah terdiam cukup lama. "Good nig---"
Tut.
Panggilan diputus sepihak oleh Deenan karena ia merasa waktunya terbuang sia-sia. Setelah itu Deenan kembali masuk ke kamar Rhea dan menemukan gadis itu sudah menutup laptop, berpelukan dengan selimut.
"Itu tadi Danie, ya?" tanya Rhea yang langsung dihadiahi anggukan oleh Deenan.
Saat Deenan akan mematikan lampu kamar Rhea, gadis itu berkata, "Tidur di sini, Deen. Sebelah gue."
"Oke," jawab Deenan. "Sampai lo tidur, kan? Nanti gue pindah ke kamar tamu."
Deenan mengerti bahwa Rhea terkadang sulit tidur. Jika ada Mamanya, pasti selalu ditemani oleh Adina sampai Rhea terlelap. Berhubung Adina sedang tidak ada di rumah, maka Deenan merasa ini menjadi tanggung jawabnya.
Deenan mengambil posisi di sebelah tempat tidur Rhea yang kosong. Gadis itu menjatuhkan tangannya pada perut rata Deenan, lalu mencari posisi yang nyaman. Memeluk cowok itu yang juga membalas untuk mengeratkan pelukan mereka berdua di bawah selimut yang sama.
"Danie beruntung ya punya lo. Jangan sakitin dia," kata Rhea sebelum ia terhanyut dalam mimpi dengan Deenan yang ia peluk erat. "Good night, Jevino."