Pagi harinya, Jovanka mendapatkan telepon dari Luka yang memintanya membawakan sarapan. Untungnya itu tidak sulit, ia hanya harus membawakan roti isi dan jus untuk Luka. Dengan mobil Luka, ia memelesat cepat menuju apartemen.
Jovanka menunggu Luka dengan membaca jadwalnya hari ini. Karena Devon tidak hadir tentu saja ia yang harus menggantikan posisinya. Ini baru benar, pikirnya, ia harus bekerja seperti seorang sekretaris sungguhan, alih-alih seorang pesuruh yang hanya menangani apa yang harus masuk ke perut bosnya.
Sepanjang perjalanan keluar dari apartemen, Jovanka mengamati gerak-gerik Luka. Pria itu tampak menghindarinya, berdiri merapat di tepi ruang lift dan sesekali menoleh untuk memastikan ia memiliki jarak dengan Jovanka.
"Dasar pria aneh," batin Jovanka.
“Saya sudah membaca jadwal hari ini. Kita harus ke Mall Pelangi siang nanti pukul 10.00,” kata Jovanka saat mereka ada di mobil.
Luka mengangguk. Ia juga sudah membaca jadwalnya untuk hari ini—Devon mengirimkannya. Luka sudah sangat penasaran dengan Jovanka gara-gara insiden semalam. Jadi, kedua matanya sesekali melirik Jovanka yang sedang menyetir.
“Kenapa kau bersikeras bekerja denganku?” tanya Luka tiba-tiba. “Jika kontrak kerjamu dibatalkan kau akan dapat banyak uang.”
“Saya tidak butuh uang banyak, yang butuhkan hanyalah status bahwa saya bukan pengangguran,” jawab Jovanka.
“Begitu?” tanya Luka dengan kening mengerut.
“Ya. Seperti itu, Tuan,” jawab Jovanka. Ia mengira Luka akan mengabaikannya sepanjang perjalanan, tetapi pria itu justru mengajaknya bicara. Jovanka yang tak tahan untuk berdiam diri akhirnya gantian bertanya, “Tuan, bolehkah saya bertanya sesuatu?"
"Ehm, tanya saja," jawab Luka tanpa menatap Jovanka. Kedua matanya pura-pura sibuk membaca artikel di tablet.
"Bagaimana Anda bisa marah-marah pada saya karena kejadian semalam?” Luka terkesiap. Ia merasa jantungnya hendak meledak lagi lantaran Jovanka membuatnya teringat sensasi aneh yang ia rasakan kemarin. “Padahal dokter Rensi juga menyentuh Anda. Apakah rumor itu hanyalah rumor belaka?”
“Rensi adalah pengecualian. Dia dokterku, jadi dia boleh saja melakukan apa yang dia perlukan untuk memeriksaku," jawab Luka.
“Kenapa? Sebenarnya kenapa Anda tidak bisa bersentuhan dengan orang lain? Saya sudah menyentuh Anda, dan saya baik-baik saja,” ucap Jovanka.
Luka membuang napas panjang. “Jangan membahasnya lagi atau kau akan kupecat. Kau sudah melanggar perjanjian kerja kita. Kau sudah menyentuh dan menciumku.”
“Itu bukan ciuman, Tuan. Itu hanyalah tindakan darurat," kata Jovanka menerangkan.
“Bukan ciuman,” gumam Luka. Ia mengerjap beberapa kali. "Tetapi itu pertama kalinya seseorang menempelkan bibirnya ke bibirku. Bagaimana bisa itu bukan ciuman?"
"Ya, tentu saja itu tidak masuk dalam kategori ciuman, Tuan," kata Jovanka.
“Jadi, bagaimana pendapatmu tentang ciuman yang sesungguhnya, jika yang kau lakukan semalam bukan termasuk kategori ciuman?” tanya Luka. Ia ingin tahu wanita seperti apa Jovanka.
Jovanka mulai gelisah mendengar pertanyaan Luka. Ia bahkan belum pernah berciuman dengan siapa pun. Kemarin adalah pertama kalinya ia memberikan napas buatan pada seorang pria. Otak Jovanka lantas memutar adegan yang ia lihat di bordes tangga darurat saat Devon dengan panas b******u dengan Arilla.
“Seperti apa, Nona Jovanka, ciuman yang sebenarnya?” ulang Luka yang menunggu jawaban dari Jovanka.
Jovanka berdehem untuk menetralkan pikirannya. “Ciuman itu ... pastinya sangat basah dan panas. Itu adalah saat dua pasang bibir saling menekan, melumat, terbuka dan terhisap. Dengan mata terpejam dan tangan saling menyentuh dengan penuh gairah.”
Luka tercengang mendengar penuturan Jovanka. Ia membuang muka ke kaca mobil. Wajahnya mungkin sekarang sudah semerah kepiting rebus. Yah, yang terjadi kemarin tentu saja bukanlah ciuman yang sesungguhnya. Mereka hanya saling menempelkan bibir untuk tindakan darurat.
"Bagaimana bisa aku sebodoh itu?" umpat Luka dalam hati. Apa yang Jovanka lakukan kemarin sangat membekas di ingatannya. Ia masih bisa merasakan sensasi aneh yang menjalari tubuhnya saat bibir Jovanka yang lembut menyentuh bibirnya. "Oh, sialan!" umpat Luka lagi.
“Kau pasti sudah sering melakukannya, sampai bisa menjabarkan dengan baik apa yang dimaksud dengan ciuman,” kata Luka saat ia sudah berhasil mengatasi gejolak dalam hatinya.
"Tentu saja belum pernah! Aku belum pernah berciuman dengan siapa pun," batin Jovanka. Sebanyak apa pun pacarnya meminta berciuman ia selalu menolak. Ia hanyalah gadis polos yang belum tersentuh. Yang ia jabarkan adalah apa yang ia lihat dari Devon kemarin.
“Kita sudah sampai, Tuan. Saya akan menyiapkan kopi pagi dan sarapan Anda.” Jovanka langsung mengalihkan obrolan lantaran tak ingin membicarakan ciuman lagi.
Gedung Heamin Grup masih sangat sepi. Karena Luka selalu datang pukul 7.00 pagi di saat para karyawan belum banyak yang bermunculan. Jovanka menyimpulkan bahwa Luka sengaja menghindari untuk berpapasan atau bersentuhan secara tidak sengaja dengan orang lain.
Dan hari ini, mereka akan mengunjungi sebuah pusat perbelanjaan. Mall Pelangi pasti sangat ramai. Ia harus memastikan Luka tidak tersentuh selama di sana seperti pesan Devon. Namun, bagaimana?
***
Siang itu, Jovanka bersiap untuk pekerjaannya di luar kantor. Ia benar-benar berdebar, ia tak bisa membayang bagaimana mengawal Luka nanti. Ia pun mengetuk pintu ruangan Luka lalu masuk.
“Tuan,” ucap Jovanka seraya membungkuk hormat pada Luka. "Saya sudah memeriksa laporan dari tim keuangan dan hasilnya ada dua gerai yang tidak memberikan keuntungan signifikan selama tiga bulan terakhir.”
Luka mengangkat dagunya. “Tidak memberikan keuntungan sama sekali,” koreksinya.
“Yah. Seperti itu,” kata Jovanka sambil memeriksa laporan di tabletnya. Ia agak tidak tega mengatakan apa yang dimaksud Luka. Agenda hari ini adalah menyingkirkan dua gerai tersebut dari Mall miliknya.
“Aku sudah membaca laporan Devon, kau tidak usah bekerja terlalu keras. Kita berangkat 5 menit lagi," ujar Luka.
“Tuan, Devon masih di rumah sakit, apakah dia bekerja dari sana?” tanya Jovanka kaget.
“Ya, tentu saja. Dia sangat rajin dan aku membayarnya dengan gaji yang tinggi,” ucap Luka tanpa menatap Jovanka lagi.
Jovanka mendesahkan napas panjang. Ia tidak menyangka kakaknya bekerja sangat keras dengan Luka, bahkan masih dirawat di rumah sakit saja ia tetap mengerjakan laporan untuk Luka.
***
Kali ini, Jovanka dibuat takjub dengan pemandangan yang ia lihat. Saat Luka turun dari mobilnya, beberapa pengawal sudah bersiap untuk menjaga Luka agar terhindar dari kontak fisik.
Luka membenahi dasinya sebelum melangkah masuk ke gedung pusat perbelanjaan itu. Sementara Jovanka mengekor di belakangnya dengan jarak 2 meter. Para pengawal berjajar di sisi tubuh Luka dan tidak memberi kesempatan pada orang-orang untuk melihat lebih jelas atau mendekati Luka.
"Dia aman dan tak tersentuh," pikir Jovanka takjub.
Mereka tiba di gerai pertama yang hendak disingkirkan dari Mall tersebut. Itu adalah gerai yang menjajakan makanan tradisional. Jovanka sudah membaca laporan, mereka menunggak uang sewa dan uang pajak selama beberapa bulan. Sama sekali tidak menguntungkan untuk membiarkan mereka tetap ada di sini.
Jovanka sendiri tidak tahu bagaimana mereka bisa bergabung dengan Heamin Grup dan masuk ke Mall Pelangi. Namun, ia cukup kasihan jika mereka harus diusir secara tiba-tiba.
Luka yang membaca laporan keuangan sekali lagi menatap pria yang menjadi penyewa gedungnya. “Kalian sudah menunggak selama beberapa bulan. Kalian tidak akan bisa membayar utang dengan penghasilan yang kalian dapatkan. Makanan buatan kalian tidak terjual sesuai target. Kalian harus meninggalkan Mall Pelangi!”
Jovanka menahan napas. Rupanya Luka sama sekali tidak berbasa-basi dan langsung berniat mengusir mereka. Dengan getir ia menatap keluarga yang menjadi penyewa, ada seorang pria setengah baya lalu wanita cantik yang pucat sekali, mungkin istrinya dan seorang lagi anak perempuan, mungkin berusia 12 atau 13 tahun.
Jovanka bisa merasakan tatapan sengit dari anak perempuan tersebut. Jovanka yakin mereka tidak suka diusir seperti ini.
“Tuan, beri kami kesempatan lagi. 3 bulan! Kami akan memperbaiki semuanya dan membayar utang kami,” kata pria itu dengan nada memelas.
"Tidak! Kalian harus pergi dari tempat ini!" Luka menatap datar makanan yang ada di etalase. Ia berjalan mendekati makanan itu lalu menoleh pada si pria penyewa.
"Anda bisa mencicipi kue buatan kami, Tuan. Itu sangat enak," kata si pria memohon.
"Aku sudah mengamati selama ini. Dan tidak ada orang yang mau membeli makanan seperti ini di sini. Aku yakin, setiap hari kalian kebingungan karena makanan buatan kalian tidak laku sama sekali. Itu artinya, kalian tidak pantas berada di Mall Pelangi milik Heamin Grup." Luka tersenyum miring pada pria itu. "Kalian harus angkat kaki sekarang juga!"