2. Bertemu Tuan Muda

1294 Kata
Keesokan harinya Aruna berangkat ke kota tempat majikan barunya tinggal dengan menggunakan alat transportasi kereta api. Dari stasiun kota Aruna masih harus menempuh perjalanan sejauh 20 km menuju sebuah area perbukitan dengan menggunakan angkutan umum. Setelah menempuh perjalanan hampir 4 jam lamanya sampailah Aruna di sebuah bangunan besar yang merupakan rumah majikannya. Bentuknya seperti mansion mewah seperti yang ada dalam film-film. Bu Menik menyambut kedatangan Aruna sekaligus memperkenalkan perempuan muda itu pada sang majikan. Berhubung Aruna datang pada saat sang majikan sedang melakukan olahraga maka Aruna harus menambah stok kesabarannya menunggu sang majikan sampai selesai dengan aktivitasnya. Tak lama kemudian perempuan yang sedari tadi menjadi pusat perhatian Aruna itu berdiri dan berjalan dengan penuh peluh yang membasahi sekujur tubuhnya. Perempuan itu hanya mengenakan setelan pakaian olahraga yang mempertontonkan bentuk dan kulit tubuhnya. Aruna terkagum-kagum melihat kulit majikannya yang putih bersih bak porselen ditambah dengan kecantikan alami yang tetap terpancar meski usianya sudah tak lagi muda. Aruna sampai melihat kulit tangannya yang terbungkus cardigan lusuh. Perbedaannya bak langit dan bumi antara warna kulitnya dengan warna kulit perempuan itu. "Jadi kamu orangnya? Yang selama ini dicari oleh cucu saya,” komentar wanita berusia 50-an yang kini balik memerhatikan penampilan Aruna dari ujung rambut sampai kaki. “Nama kamu siapa?” tanyanya datar. "Saya Aruna, Nyonya," ujar Aruna sopan. "Beliau Nyonya Hafsah. Salah satu majikan di rumah ini," jelas Bu Menik memperkenalkan wanita tadi pada Aruna. "Bekerjalah yang baik. Kamu bisa ada di sini juga berkat Bu Menik. Saya menghargai bantuanmu, Bu. Jauh-jauh ke ibukota untuk mencarikan orang yang sangat ingin ditemukan cucu saya." "Sama-sama, Nyonya. Semoga dia bisa cocok dengan tuan muda," seloroh Bu Menik sembari menyikut pangkal lengan Aruna. "Saya juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena dipercaya untuk membantu pekerjaan di rumah ini," ujar Aruna sembari sedikit membungkukkan punggungnya. "Sepertinya kamu belum tahu tugas yang sebenarnya di rumah ini? Dan hal-hal mendasar yang membuatmu bisa bekerja di sini," ujar Hafsah sambil melirik sinis ke arah Bu Menik. "Maafkan saya, Nyonya! Saya memang belum menceritakan soal itu padanya. Saya kira biar Tuan Besar saja yang nanti menyampaikan padanya soal itu." "Ah, sudahlah. Saya saja yang akan memberinya penjelasan. Jadi begini. Saya punya seorang cucu laki-laki berusia menjelang 6 tahun. Dan tugas utama kamu adalah menjadi pengasuh untuk cucu saya itu." "Kalau hanya menjadi pengasuh saya bisa, Nyonya. Kebetulan saya juga suka anak kecil. Saya akan mengurus dan merawat cucu Nyonya Hafsah dengan baik. Saya juga bisa menemaninya bermain dan belajar." “Yakin, kamu bisa melakukan semua hal itu dengan baik? Saya lihat kamu sepertinya masih muda untuk memiliki seorang anak seumuran cucu saya.” Aruna menggeleng cepat. “Belum, Nyonya. Saya bahkan belum menikah,” jawab Aruna apa adanya. “Tapi saya punya keponakan seumuran cucu Nyonya Hafsah. Kebetulan saya yang membantu kakak ipar merawatnya sejak bayi.” "Baguslah kalau begitu. Selain tugas utama kamu sebagai pengasuh cucu saya, kamu juga tetap membantu pekerjaan rumah tangga di rumah ini. Kasihan Bu Menik kalau harus bekerja sendirian di rumah ini sementara usianya sudah waktunya untuk pensiun." "Sendirian? Jadi selain Bu Menik nggak ada orang lain yang bekerja di sini sebelum saya?" tanya Aruna merasa keheranan. "Pemilik rumah ini kurang suka rumahnya dimasuki oleh orang asing. Maka dari itu dia tidak mempekerjakan banyak orang di rumah ini. Lagi pula Bu Menik senang-senang saja melakukan semua pekerjaan di rumah ini sendirian. Dengan begitu dia akan mendapatkan gaji sepenuhnya tanpa perlu membagi-baginya dengan orang lain." Aruna mengangguk paham. Meski ada sesuatu yang mengganjal dan tidak bisa diterima oleh akal sehatnya, tapi dia tidak terlalu memikirkan soal itu. Kemudian Aruna mengikuti langkah Bu Menik yang akan menunjukkan kamar untuknya serta memberikan seragam yang bisa dipakai Aruna selama bekerja di rumah ini. "Kamu cuma boleh memakai tiga pakaian itu selama di rumah ini. Termasuk ketika menghadap tuan rumah. Meski malam sekalipun kamu tetap harus menggunakan seragammu saat menghadap Tuan Batara dan Nyonya Hafsah," jelas Bu Menik sembari memberikan seragam yang harus digunakan oleh Aruna selama bekerja di rumah ini. "Jangan sampai mereka melihatmu menggunakan pakaian selain seragam itu ketika masih berada di dalam areal rumah ini." "Tuan Batara itu siapa?" tanya Aruna dengan polosnya sembari menempelkan seragam-seragam yang masih rapi di hangernya. "Tuan Batara itu papanya anak yang akan kamu asuh sekaligus tuan besar di rumah ini. Nanti juga kamu akan bertemu dengan dia. Kalau pagi sampai malam dia sibuk di kantor." "Baiklah. Seragamnya cantik-cantik. Saya suka," balas Aruna dengan santainya. "Tapi saya nggak pernah memakai pakaian seperti ini sebelumnya," ujarnya sambil menempelkan atasan seragamnya yang berupa blouse pas badan warna putih polos, sementara untuk bawahannya berupa rok span di atas lutut warna hitam. "Cepat ganti pakaianmu dengan seragam itu. Dan segera mulailah bekerja," ucap Bu Menik dengan tegas. "Tuan muda juga sebentar lagi pulang sekolah. Bersikaplah yang baik dan sopan, tapi nggak usah terlalu memaksakan diri untuk mendekati pemuda kecil itu. Yang ada dia akan muak kalau kamu terlalu memaksanya." "Baik, Bu Menik." Setelah berganti pakaian dengan seragam yang sudah ditentukan oleh Bu Menik, Aruna menunggu kedatangan tuan muda yang akan jadi anak asuhanya selama bekerja di rumah mewah ini. Melihat sebuah sedan mewah hitam Aruna yakin itu adalah mobil yang membawa tuan muda di dalamnya. Dia segera merapikan seragamnya yang sebenarnya sudah rapi itu. Seorang anak kecil dengan langkah tegap keluar dari dalam mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh sopir pribadinya. Aruna bergegas menghampiri anak laki-laki berwajah tampan, imut dan menyenangkan itu. Meski ada kesan dingin di wajahnya tapi sama sekali tidak mengurangi kadar ketampanannya. Ach, kenapa wajah penghuni rumah ini sungguh sempurna sekali, Ya Tuhan. Ini lagi anaknya aja seganteng ini. Gimana bapaknya? Batin Aruna berteriak mengagumi ciptaan Tuhan di hadapannya ini. "Selamat siang, Tuan Jingga. Perkenalkan saya Aruna, pengasuh baru untuk Tuan Muda," ujar Aruna sopan setelah menerima tas sekolah Jingga dari sopir pribadinya. "Bagaimana sekolahnya hari ini? Pasti menyenangkan,” ujar Aruna bertanya sekaligus menjawab sendiri pertanyaannya. “Apa Tuan Jingga nggak ingin menyapa Nenek lebih dulu?" "Kamu siapa?" tanya Jingga dengan tatapan penuh selidik. "Saya yang akan jadi pengasuh tuan muda mulai sekarang." "Tapi aku tidak yakin kamu orangnya," gumam Jingga. "Bagaimana, Tuan?" respon Aruna. "Lupakan saja," jawab Jingga tak acuh. Jingga terus berjalan tanpa mengacuhkan Aruna. Namun Aruna tidak berkecil hati apalagi marah. Dia terus mengikuti langkah Jingga hingga ke kamarnya. Sepertinya pemuda kecil itu sedang suntuk untuk sebuah alasan yang sama sekali tidak diketahui oleh Aruna. Sehingga dia menganggap kehadiran Aruna di sekitarnya tak lebihnya dari seekor hama pengganggu. Dia bahkan tidak mengizinkan Aruna memasuki kamarnya. Namun Aruna tidak kehabisan akal. Dia terus berjalan dan menghampiri Jingga melalui pintu penghubung antara kamarnya dengan kamar Jingga. "Menyingkir kamu dari hadapanku!" ucap pemuda kecil itu ketika Aruna terus saja mengikutinya sampai ia masuk kamar. "Aku mau ganti baju dan bisa melakukannya sendiri tanpa kamu." "Kalau Tuan Jingga membutuhkan saya, jangan sungkan untuk memanggil ya." "Iyalah, aku pasti akan memanggilmu. Mau panggil siapa lagi?" jawab Jingga ketus. Aruna tersenyum geli melihat tingkah laki-laki berusia menjelang 6 tahun di hadapannya itu. Cara bicaranya tegas dan baku seolah-olah ingin dianggap sebagai laki-laki dewasa. Tingkahnya itu membuat Aruna gemas. Meski pemuda kecil itu tengah bertindak seenaknya pada Aruna, tapi di mata Aruna dia tetap lucu dan menyenangkan. Aruna jadi penasaran ingin segera bermain dengan pemuda kecil itu. Aruna yakin pemuda kecil itu pasti baik. Hanya saja karena mereka baru bertemu dan baru mengenal satu sama lain, maka dari itu Jingga tampak membuat tembok yang begitu tinggi untuk Aruna supaya tidak bisa mendekatinya. Aruna juga lupa bahwa Jingga adalah anak laki-laki yang pernah diselamatkan nyawanya beberapa waktu lalu. Begitupun Jingga, anak itu sama sekali tidak ingat bahwa Aruna adalah perempuan yang pernah bertaruh nyawa demi menyelamatkan dirinya, dan bahkan pernah merengek memohon pada ayahnya untuk mempertemukan dirinya dengan wanita itu untuk berterima kasih secara langsung layaknya pria dewasa. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN