3. Perkenalan dengan Tuan Besar

1894 Kata
Saat makan malam Aruna membantu Bu Menik menghidangkan makanan yang telah mereka masak bersama tadi di meja makan. Di ruang makan sudah ada Nyonya Hafsah dan Jingga yang sedang duduk menunggu sajian makan malam untuk mereka berdua. "Kamu suka pengasuh barunya, Jingga?" tanya Nyonya Hafsah pada cucu laki-lakinya. Jingga mengedikkan kedua bahunya tak acuh. "Dia yang kelihatan suka banget sama aku, Nek," jawabnya dengan memasang wajah pura-pura angkuh. Aruna yang tiba di ruang makan sambil mendorong troli berisi sajian makan malam untuk kedua majikannya sampai menahan senyum mendengar omongan Jingga yang menurutnya begitu lucu itu. "Dari mana kamu tahu? Memangnya dia bilang langsung sama kamu?" tanya Nyonya Hafsah penasaran. "Nggak juga, sih, Nek." "Trus kamu tahu dari mana, Jingga?" Jingga menoleh pada Aruna yang kini sudah berdiri di sampingnya sambil meletakkan mangkuk sup asparagus kesukaan Jingga. "Aku bisa lihat dari caranya menatapku, Nek," jawab Jingga jujur. Aruna merasa tersanjung dan dipuji oleh Jingga . Dia semakin menyukai pemuda kecil yang menurutnya memiliki attitude sangat baik dibanding anak laki-laki seumurannya. Dan tentunya memiliki hati yang baik dan jujur. Setelah selesai makan malam Aruna dan Bu Menik membereskan meja makan. Membawa kembali mangkuk serta piring-piring besar berisi sajian makan malam yang hanya disentuh sedikit oleh kedua majikannya. Di dapur Aruna menikmati selada romaine yang menurutnya sangat enak dan tidak pernah dia jumpai sebelumnya. Kata Bu Menik semua bahan makanan yang ada di rumah ini adalah barang-barang berkualitas tinggi. Tentunya juga dengan harga yang tidak ramah bagi kantong masyarakat menengah ke bawah seperti Aruna. "Ini semua akan dibuang. Sebaiknya kita nikmati dulu sampai puas," ujar Bu Menik menunjuk semua makanan yang kini sudah berpindah tempat di atas meja dapur. "Kalau memang begitu, saya nggak akan menolak," jawab Aruna sambil mengambil sebuah oyster yang terkenal karena harganya yang sangat fantastis untuk ukuran orang-orang rendahan seperti Aruna. Aruna mencoba kerang tersebut setelah melihat cara Bu Menik menikmati seafood tersebut. Setelah melihat ekspresi Bu Menik yang menunjukkan kenikmatan rasa dari makanan tersebut barulah Aruna berani ikut mencoba makan. Dan benar saja kedua mata Aruna berbinar sambil mengunyah oyster yang sudah berpindah ke mulutnya itu. Sebelum tidur malam seperti biasa Aruna akan mencuci muka dan menggosok giginya di kamar mandi. Saat Aruna dan Bu Menik sedang menggosok gigi, terdengar suara klakson mobil dari arah pintu gerbang. "Dia datang juga akhirnya," ujar Bu Menik segera mengakhiri acara menggosok giginya. "Siapa?" tanya Aruna bingung. "Tuan Batara itu. Cepat bersiap, Aruna! Pakai kembali seragammu! Saya akan memperkenalkanmu padanya sekaligus melayani kebutuhannya," ujar Bu Menik tergesa, membuat Aruna jadi kalang kabut dibuatnya. Bu Menik bergegas mengenakan seragamnya begitu juga dengan Aruna. Setelah semua beres mereka bergegas turun ke bawah untuk menyambut kedatangan tuan rumah yang sebenarnya di rumah ini. Di pintu rumah tidak hanya Bu Menik dan Aruna saja yang menyambut kedatangan tuan rumah, tetapi juga Jingga melakukannya bersama mereka. Aruna melambaikan tangan ke arah Jingga, akan tetapi pemuda kecil itu tidak membalas malah justru melengos. Aruna tidak tersinggung apalagi marah dengan sikap dingin anak asuhnya itu. Seorang pria bertubuh atletis dengan tinggi 185 cm dan wajah tampan rupawan khas pria asia timur muncul dari balik pintu rumah yang telah terbuka lebar. Jingga segera berlari ke pelukan sang ayah begitu melihat kemunculan pria tersebut. Sama halnya yang dilakukan oleh Jingga, pria itu membalas pelukan anak laki-lakinya tak kalah hangat. "Dia orang yang Tuan minta untuk saya temukan keberadaannya," ujar Bu Menik sedang memperkenalkan Aruna pada majikannya. Batara tampak menghela napas penuh kelegaan saat menatap Aruna. Sebuah senyum penuh arti muncul di wajah Batara saat Aruna memperkenalkan dirinya dengan kepala tertunduk. "Perkenalkan nama saya Aruna, Tuan," ujarnya sopan. Batara mengangguk paham kemudian melanjutkan langkah memasuki rumah lebih dalam sembari menggendong Jingga. “Mulai sekarang Aruna akan bekerja di rumah ini sebagai pembantu rumah tangga, Tuan,” jelas Bu Menik sesampainya di ruang keluarga. “Saya tidak pernah meminta kamu menjadikannya seorang pembantu, bukan?” ujar Batara dingin. Ekspresinya sama sekali tidak menunjukkan keramahan pada Bu Menik. "Dia juga yang akan menjadi pengasuh untuk Tuan Muda. Nyonya Hafsah yang memintanya untuk melakukan pekerjaan rumah yang lain selain mengasuh Tuan Muda." "Dad, benarkah dia yang akan merawatku? Apa dia akan lebih baik dari Bu Menik dan Nenek dalam merawatku?" tanya Jingga dalam gendongan Batara. "Ah, ya. Aruna itu masih muda. Lihatlah, tubuhnya kecil dan umurnya 19 tahun. Memangnya dia tidak bersekolah? Kenapa malah menjadi pengasuhku?" Jingga terus berceloteh dalam gendongan Batara, membuat ayahnya itu sampai menoleh untuk melihat kembali sosok Aruna yang terus dibicarakan oleh anak laki-lakinya itu. “Apa kamu sungguh sudah tahu tentang dia sampai sejauh itu? Kamu tertarik padanya, Boy?” goda Batara dengan senyum tertahan. Pertanyaan Batara yang ditujukan pada Jingga sontak membuat pipi Aruna menghangat hingga membuat gadis itu tertunduk malu. Bu Menik yang melihat adegan itu menyikut pangkal lengan Aruna agar menghentikan aksi yang menurutnya tidak sopan. “Aku tidak mencari tahu, Dad. Dia sendiri yang menceritakannya padaku. Sepertinya dia yang tertarik padaku,” balas Jingga. “Kamu tampan. Gadis manapun pasti akan mudah tertarik padamu, Boy.” “Namaku Jingga Permana, Dad. Stop panggil aku dengan sebutan itu,” ujar Jingga kesal. “Tapi Dad suka memanggilmu dengan nama itu.” “Terserah Dad sajalah,” jawab Jingga malas. “For your information, aku tidak menyukai perempuan yang jauh lebih tua dariku. Dia lebih pantas untukmu, Dad.” “Oh, ya? Menurutmu begitu?” Jingga mengangguk cepat lalu menyeringai sembari menunjukkan gigi susunya yang putih dan tersusun rapi. Batara hanya menggeleng takjub pada kata-kata yang menurutnya tak patut diucapkan oleh anak seumuran Jingga, lalu mengacak puncak kepala Jingga yang masih berada di gendongannya. Aruna kembali tersenyum tersipu melihat interaksi kedua laki-laki beda usia di hadapannya ini. Sekali lagi Bu Menik memberinya peringatan supaya tidak bersikap seperti itu. Aruna buru-buru menghapus senyum jenis itu di wajahnya. Mereka berdua mengikuti langkah Batara Aruna ke ruang keluarga dengan wajah serius. Sesampainya di ruang keluarga Bu Menik meminta Aruna berhenti melangkah di jarak lima meter dari sofa yang diduduki oleh Batara dan Jingga. "Kenapa berdiri di sana? Kemarilah, duduk di sini!" ujar Batara pada Aruna sembari menunjuk salah satu sofa kosong. Aruna tidak bergerak. Dia mengira Batara sedang berbicara pada Bu Menik. Beberapa detik kemudian dia mendapat kode dari Bu Menik supaya menuruti perintah Batara. Masih dengan wajah bingung Aruna bergerak ke arah sofa yang tadi ditunjuk oleh majikannya itu. Batara terus menatap Aruna. Dari tatapan menilai karakter seseorang hingga tatapan penuh minat. Sementara itu Aruna terus menunduk ketakutan karena ditatap secara intens oleh majikan laki-lakinya. Jemarinya gemetaran karena dia merasa khawatir telah membuat kesalahan sampai harus dipanggil seperti ini. Tak lama kemudian Batara tersenyum dan tertawa kecil sembari menepuk pundak Jingga . "Jingga, bukankah ini sudah masuk jam tidurmu? Kenapa kamu ada di luar kamar?" ucap Batara pada Jingga, tapi tatapannya tidak lepas dari Aruna. "Aku ingin melihatmu sebelum tidur, Dad." "Sekarang sudah, kan? Bagaimana kalau kamu berangkat tidur sekarang?" "Oke, Dad!" seru Jingga, lalu bangkit berdiri dari sofa yang didudukinya. Setelah memastikan Jingga sudah benar-benar meninggalkan ruang keluarga barulah Batara berbicara kembali pada Aruna. "Saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Batara Permana. Saya ayahnya Jingga," ujar Batara dengan senyum tipis yang mampu memikat siapapun hanya dengan senyumannya itu. Aruna akhirnya berani mengangkat kepala dan menghadapkan wajahnya pada Batara . "Saya Aruna, Tuan,” ujarnya kemudian tertunduk lagi, tak berani menatap wajah majikannya lebih lama. "Ya, kamu tadi sudah mengatakan namamu," jawab Batara sembari menyembunyikan senyum melihat tingkah polos Aruna. Aruna tersipun tersipu mendengar balasan Batara. Dia tetap menundukkan kepalanya karena terlalu malu untuk menatap langsung majikannya. Batara menyandarkan punggung dengan rileks di sandaran sofa. Gestur tubuhnya terlihat lebih santai dari saat tiba di rumah beberapa waktu yang lalu. Tatapannya tak bisa lepas dari memandang Aruna. Entah apa yang menjadi daya tarik pria 33 tahun itu sehingga ia sulit sekali mengalihkan tatapannya dari Aruna. "Tidak ada hal khusus yang mesti saya katakan. Semuanya pasti sudah dijelaskan oleh Bu Menik. Kamu akan menjadi pengasuh untuk anak laki-laki saya. Oleh sebab itulah saya merasa berkewajiban untuk menyambut kamu dengan baik, Aruna." Batara terus tersenyum saat mengatakan kalimat itu. Suasana hatinya seperti sedang berada di titik baik sehingga membuat wajahnya tampak setingkat lebih semringah dari biasanya. Bu Menik tampak takjub melihat sikap yang ditunjukkan oleh majikan yang telah dibersamainya selama lebih dari lima tahun itu. Selama itu baru kali ini dia melihat ketulusan dan keramahan di wajah Batara. Biasanya dia hanya melihat wajah Batara yang dingin, angkuh dan keras. Batara memang menunjukkan wajah hangat, tulus dan ramah hanya pada Jingga saja. Pada Nyonya Hafsah saja hanya sesekali menunjukkan keramahannya, yakni ketika Batara membutuhkan sesuatu atau sebuah bantuan dari wanita itu. "Terlebih lagi kamu telah menyelamatkan nyawa anak laki-laki saya. Kalau tidak ada kamu mungkin saya telah kehilangan Jingga saat ini," sambung Batara. "Maksud, Tuan?" tanya Aruna bingung setelah mengangkat kembali kepalanya dan memberanikan diri menatap Batara. "Apa Bu Menik tidak menceritakan padamu? Atau kamu sudah lupa pernah bertemu Jingga sebelum di rumah ini?" tanya Batara bingung sekaligus menunjukkan ekspresi tidak suka pada Bu Menik. Aruna menggeleng bingung. Dia kehabisan kata-kata saat ini. Selain karena memang benar-benar lupa pada informasi yang disampaikan oleh Batara, dia juga seperti terhipnotis pesona pria matang di hadapannya itu. Batara tertawa kecil melihat ekspresi bingung Aruna saat ini. Akhirnya dia menceritakan kembali kejadian penting yang baru saja disampaikan pada Aruna beberapa menit yang lalu. Detik itu juga Aruna ingat pada peristiwa itu. Sebenarnya Aruna tidak benar-benar melupakan kejadian kecelakaan satu bulan yang lalu, hanya saja dia benar-benar tidak ingat pada wajah anak kecil yang diselamatkannya karena dia sendiri tiba-tiba pingsan usai menyelamatkan anak tersebut. "Kalau kamu sudah ingat peristiwa itu, saya akan menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya padamu. Waktu itu saya tidak bisa mengucapkan secara langsung karena sedang sibuk dan setelah memastikan Jingga baik-baik saja, saya harus terbang ke luar negeri untuk mengurusi bisnis," jelas Batara. "Nggak apa-apa, Tuan. Mungkin itu kebetulan aja saya yang menyelamatkan tuan muda." “Apa Jingga tidak mengatakan sesuatu padamu? Dia yang paling ngotot menemukanmu karena ingin berterima kasih langsung pada penyelamatnya.” Aruna menggeleng lemah. Detik itu juga tatapan Batara beralih pada Bu Menik. Laki-laki itu tampak murka atas sikap Bu menik yang terkesan menyepelekan masalah. "Yang saya salutkan adalah kamu menyelamatkan nyawa seseorang tanpa pandang bulu. Padahal kamu tidak tahu tentang Jingga waktu itu. Tapi dengan beraninya kamu rela mengorbankan nyawa demi anak saya." "Tuan Batara terlalu berlebihan. Saya nggak sehebat itu, Tuan. Saya kebetulan ada di sana dan melihat Tuan Jingga sedang berdiri kebingungan di dekat jalan raya." Batara tersenyum penuh kharisma saat mendengarkan cerita yang disampaikan oleh Aruna. Bu Menik semakin merasa ada hal yang tidak biasa dalam diri Batara. Selama dia bekerja di rumah mewah ini jarang sekali melihat majikan laki-lakinya itu pulang ke rumah dalam kondisi sebaik sekarang ini. Terlebih sampai mau beramah tamah dengan seorang pembantu baru. Pasti ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh sang majikan, pikir Bu Menik. "Bu Menik , tolong siapkan teh terbaik yang ada di rumah ini untuk saya dan juga berikan satu cangkir untuk Aruna sebagai ucapan terima kasih sekaligus sambutan dari saya," ujar Batara sambil tersenyum penuh misteri. "Baik, Tuan." Kemudian Bu Menik bergegas ke dapur untuk menyiapkan pesanan majikan laki-lakinya itu. Batara tersenyum lebih lebar saat tatapannya bertemu dengan Aruna. Membuat Aruna jadi bingung mesti menanggapi apa sikap ramah majikan laki-lakinya itu. Dia kemudian membalas senyum lebar Batara dengan senyum tipis. Setelah itu Aruna pamit ke dapur untuk membantu Bu Menik. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN