Keesokan paginya Batara terjaga bukan di waktu bangun tidurnya. Ia memeriksa ponselnya lebih dulu dan menemukan beberapa chat serta panggilan dari Cantika yang meminta dirinya untuk datang ke apartemen wanita itu. "Merepotkan saja. Dia pikir dia siapa?" gerutu Batara lalu beranjak dari ranjang, duduk sebentar di tepiannya. Ia sudah tidak bisa tidur lagi. Batara melangkah menuju pintu kamar setelah meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku.
Setelah berada di luar kamar pandangan Batara langsung tertuju ke arah dapur saat menangkap siluet gerakan yang mulai ia hapal pemiliknya. Sebuah senyum terbingkai sempurna diiringi langkah ringan ia mendekati dapur yang lampunya dibiarkan menyala. Sekarang masih pukul lima pagi. Langit di luar rumah masih belum terang sempurna. Sehingga lampu masih tetap dibutuhkan sebagai penerang di beberapa sudut rumah, terutama ruangan-ruangan yang minim cahaya matahari.
"Aruna?" panggil Batara dengan suara serak khas pria dewasa baru bangun tidur.
Aruna yang sedang berdiri menghadap kitchen set terperanjat dari tempatnya. Ia buru-buru balik badan dan mendapati tuan besarnya sedang berdiri di ambang pintu dapur hanya dengan mengenakan boxer dan tubuhnya dibalut kimono dari bahan satin lembut dimana tali kimono tidak terpasang. Rasanya Aruna sangat ingin menyentuh perut sixpack milik majikannya. Suara dehaman Batara yang cukup keras membuat angan Aruna buyar seketika itu juga.
"Butuh sesuatu, Tuan? Akan saya siapkan sekarang," jawab Aruna kikuk karena kepergok sedang memandangi perut sixpack milik Batara.
"Kamu tidur berapa jam? Kenapa jam segini sudah berkutat di dapur?" tanya Batara sambil berjalan mendekat ke arah Aruna.
"Saya harus menyiapkan bekal sarapan untuk Tuan Muda Jingga. Tuan Muda akan ikut perlombaan senam gimnastik di sekolahnya, Tuan," jelas Aruna dengan tutur bahasa yang sopan dan lemah lembut. Batara selalu bisa dibuat terkesima setiap kali mendengar suara Aruna yang mendayu-dayu tetapi tidak terkesan dibuat-buat apalagi menggoda. Sayangnya Batara sudah terjerat oleh pesona pengasuh anaknya itu. Sehingga apa pun yang dilakukan oleh Aruna, yang ada dalam pikiran Batara adalah gadis itu sedang membuatnya tergoda.
"Bu Menik ke mana? Kenapa dia tidak kelihatan di manapun?"
"Hari ini Bu Menik pamit pulang ke rumahnya karena harus menghadiri acara pernikahan salah satu kerabatnya, Tuan."
"Jingga dibangunkan jam berapa?" tanya Batara lagi. Kini dia sudah berada sekitar lima langkah dari hadapan Aruna.
"Saya akan membangunkan Tuan Muda Jingga jam enam seperti biasanya."
"Ya, sudah. Kamu lanjutt saja. Saya ingini tetap di sini menemani kamu."
"Seorang tuan besar tidak baik berada di dalam dapur menemani asisten rumah tangganya sedang bekerja. Lebih baik Tuan Batara katakan apa yang Tuan butuhkan, nanti akan saya siapkan untuk Tuan."
"Kalau saya bilang membutuhkan kamu, memangnya kamu siap?" ujar Batara dengan senyum menggoda.
"Maksud, Tuan?" bingung Aruna.
“Kamu benar-benar menguji kesabaranku,” ujar Batara.
Dan Batara sudah tidak bisa menahan dirinya untuk tidak memeluk Aruna. Ia berjalan tergesa lalu menghambur untuk memeluk tubuh Aruna dari arah belakang. Ia tidak peduli misalnya Aruna akan marah dan tersinggung akibat perbuatannya ini. Perasaan Batara berkecamuk dan susah dijelaskan dengan kata-kata. Selain rasa bahagia karena bertemu lagi dengan Aruna yang sudah beberapa hari ini tidak dilihatnya, ia juga merasa dipedulikan oleh orang lain yang dianggapnya hanya sebagai pengasuh anak laki-lakinya.
"Apa yang Tuan Batara lakukan??" tanya Aruna panik dan cukup terkejut dengan pelukan tiba-tiba dari Batara. Kendati begitu ia tidak sanggup melakukan penolakan apa pun karena kini Aruna pun merasakan kenyamanan saat dipeluk seperti ini oleh Batara. Jantungnya mulai berdebar cepat, perasaannya campur aduk susah yang sulit digambarkan lewat kata-kata.
“Kamu sering bertanya apa yang saya butuhkan, bukan? Hal seperti inilah yang saya butuhkan, Aruna,” ujar Batara dari balik cupang telinga Aruna. Membuat Aruna merasa geli akibat embusan napas Batara.
"Tapi, Tuan… Ini tidak benar," jawab Aruna, berusaha melepaskan diri dari dekapan Batara.
Namun karena Batara tak memberikan celah sedikitpun pada Aruna untuk bisa melepaskan diri, akhirnya gadis itu hanya bisa pasrah lalu membiarkan majikannya itu mendekap erat tubuhnya seperti ini.
"Aruna?" panggil Batara dengan suara dalam yang terdengar berat.
Tanpa menjawab Aruna memutar tubunya perlahan. Lalu tiba-tiba Batara mendaratkan bibirnya di depan bibir Aruna. Ciuman panas yang diluncurkan Batara turun ke leher Aruna. Bibirnya mengeksplore di sana selama beberapa saat, kemudian kembali lagi untuk memagut bibir sensual Aruna.
Aruna sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk berpikir. Tanpa mampu berkata-kata lagi, Aruna hanya mengikuti alur bibir dan tangan Batara yang mulai bergerak untuk menyentuh p******a yang tersembunyi di balik blouse hitamnya. Ketika bagian sensitif di tubuhnya disentuh oleh lawan jenis, Aruna mengeluarkan desahan kecil di sela ciuman panas dan penuh gairah yang baru kali ini ia rasakan selama hidupnya. Desahan itu bukannya membuat Batara berhenti, justru membuat laki-laki itu semakin tidak terkendali untuk terus menyentuh setiap lekuk tubuh Aruna. Tangan panjangnya meraih pinggang ramping Aruna, mendudukkan gadis itu di atas kitchen set table. Tangan kanannya terulur hingga ke balik leher Aruna lalu mendekatkan wajahnya supaya bisa mengeksplor bibir tebal dan berisi Aruna yang selalu ingin dicicipinya itu.
Batara yang lain menelusup masuk menyentuh kulit perut rata Aruna, sangat terasa kalau kulit tubuh gadis itu dingin dan lembut. Membuat Batara jadi tidak tahu bagaimana cara mengakhiri kegilaan yang telah dimulainya ini. Kini dia malah menundukkan tubuhnya, meninggalkan bibir Aruna untuk menyentuh bagian tubuh lain. Namun suara dentang jam tua di tengah-tengah ruangan mansion mewah ini membuat Batara berdecak kesal dan mampu membuatnya menghentikan kegilaannya pagi ini.
"Sudah jam enam. Sudah waktunya kamu membangunkan Jingga," ujar Batara dengan napas terengah.
Aruna segera merapikan blouse dan memasukkan ujungnya ke dalam roknya. "Baik, Tuan," jawab Aruna kemudian melewati Batara yang masih belum beranjak ke manapun.
Aruna tidak tahu harus mengartikan apa rasa yang kini sedang menyusup masuk ke relung hatinya. Jantungnya berdebar tak keruan. Hal yang seharusnya ia lakukan tadi adalah menolak apa pun risikonya, akan tetapi yang terjadi ia justru menikmati setiap sentuhan majikannya. Dulu dia selalu bisa menolak sentuhan yang diberikan oleh lawan jenis yang ingin mendekatinya sekalipun hanya gandengan tangan. Yang terjadi saat ini jsutru berbanding terbalik. Ia tidak pernah bisa menolak setiap sentuhan yang diberikan Batara, dan kini semakin mendamba pada tuan besarnya itu. Ini tidak boleh diteruskan. Dan Aruna akan hancur sendirian bila tidak segera membuang jauh perasaan yang pada akhirnya akan membuat kehidupannya kacau balau tanpa ampun.
"Aruna?" panggil Batara saat Aruna sudah berada di pintu dapur.
"Ya, Tuan?" jawab Aruna sambil berbalik badan menghadap Batara.
"Siapa yang akan mendampingi Jingga perlombaan?" tanya Batara berjalan sambil menatap tak putus pada Aruna.
Dipandang seperti itu saja sudah mampu mampu membuat Aruna resah. Bayangkan saja bagaimana kondisi Aruna ketika Batara menyentuhnya secara gila-gilaan beberapa menit yang lalu.
"Nyonya Hafsah akan menghampiri sekolah Tuan Jingga dan menemani hingga akhir perlombaan. Tapi beliau tidak bisa menjemput, jadi Tuan Muda hanya berangkat diantar sopir."
"Wow! Dari pagi hingga sore hari hanya ada kita berdua di dalam rumah saya ini," ucap Batara sambil mengerlingkan sebelah matanya.
"Memangnya Tuan Batara tidak bekerja hari ini?"
"Saya yang punya perusahaan. Jadi saya bisa libur kapanpun saya mau. Lagipula pekerjaan kemarin begitu melelahkan sehingga saya butuh istirahat tambahan hari ini. Ngomong-ngomong kamu bisa memijat?"
"Siapa yang mau dipijat, Tuan?" tanya Aruna dengan ekspresi polosnya. Membuat Batara mesti bersusah payah menahan rasa gemasnya pada gadis lugu itu.
"Tentu saya. Siapa lagi? Sopir saya?" canda Batara.
Aruna tertawa kecil mendengar candaan remeh dari majikannya itu. "Bisa tapi tidak terlalu jago,” jelas Aruna malu-malu.
"Tidak apa-apa. Pijat santai saja. Tidak perlu pakai teknik memijat seperti tukang pijat yang sudah pro."
"Baik, Tuan."
"Oke, saya tunggu di kamar saja."
"Di kamar Tuan Batara?" tanya Aruna memastikan.
Batara tertawa renyah melihat wajah polos Aruna yang selalu membuatnya gemas. "Ya, mau pijat di mana? Di kamar kamu? Sempit gitu. Masih mending kamar tamu."
"Iya, jangan di kamar saya juga, Tuan… Tapi-"
"Sepertinya kamu ragu. Ada yang sedang kamu pikirkan saat ini? Atau kamu sedang membayangkan terjadi hal yang iya-iya selama memijat saya?" tanya Batara dengan tatapan menggoda sambil membuat tanda kutip dengan jari telunjuknya ketika menyebut kata-kata 'hal yang iya-iya’. "Kalau kamu mau melakukan 'hal yang iya-iya' dengan saya, ya, boleh-boleh saja. Asal kamunya sudah siap," sambung Batara dengan entengnya.
Aruna sadar dan mengerti 'hal yang iya-iya' bagaimana yang dimaksudkan oleh Batara. Pipinya menghangat bahkan siap meledak. Akhirnya Aruna hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban. Tiba-tiba saja bayangan saat Batara mencium dan menyentuhnya dengan penuh hasrat tadi menari-nari dalam memori ingatannya. Membuat Aruna segera menghalau sesuatu yang sedang dipikirkannya saat ini.
"Tuan Batara bisa saja bercandanya," ujar Aruna, berusaha santai menanggapi omongan Batara.
"Tapi saya tidak sedang bercanda. Saya memang benar-benar ingin melakukannya dengan kamu."
"Kalau begitu saya permisi mau membangunkan Tuan Jingga," ujar Aruna. Bahkan tanpa menunggu persetujuan Batara, Aruna benar-benar meninggalkan dapur.
~~~
^vee^