Brooklyn, New York. USA
Dia. Satu ingatan yang tidak akan pudar meski waktu telah memilih kejam saat mata hijaunya memandang halaman luas yang menjadi tempat di mana ia dan adik-adiknya dulu menikmati makanan yang tumpah di alas yang mereka duduki. Kilatan dari memori itu akan terus dinikmati dalam cinta yang sebenarnya ia sendiri tidak tahu mengapa. Bayang lincah dan energik gadis berambut blonde dengan tinggi yang sebatas dadanya, tidak kurang tapi akan lebih jika tubuh indah itu memakai sepatu hak tinggi.
Mata itu terus mengintai. Rumput hijau diselimuti embun pagi hanya menjadi awal mata indah itu menatap. Rahang tegas dari pria berusia 26 tahun itu mengerat begitu teringat keceriaan masa kecilnya dulu bersama dua adik cantiknya, yang selalu ia sebut sebagai my Diamond.
"Sayang,"
Bevan menoleh. Ia mengamati siapa yang berjalan cepat sambil membawa baki dipenuhi menu sarapan.
"Hai," sapa wanita paruh baya dengan wajah anggun yang mampu membuat Bevan tersenyum. "Ayo sini, kita makan bersama!"
Perlu waktu beberapa detik bahkan menit untuk pemilik nama sah Bevan Whiteley Luxembourg itu bisa memahami apa yang tengah ibunya ucapkan. Karena otak yang memiliki sedikit perbedaan dan Bevan harus mencerna secara teliti apa yang tengah orang lain katakan, apalagi jarak 20 meter itu Bevan tidak dapat melihat mulut wanita bernama Claudia Pricilia Luxembourg dengan panggilan sayang Persia itu berbicara.
Keringat yang bergulir dari pelipis Bevan biarkan menimpa pipi dan rambut coklatnya basah saat ia menikmati air minum yang ia tuangkan ke kepala saat berolahraga. Wajah tampan dengan mata hijau disertai dagu yang memiliki belahan itu termenung memperhatikan Persia berjalan, senyum cantik itu bisa Bevan pahami dari mana ketulusan itu berasal.
"Ouch, jagoan Mommy. Udah selesai olahraganya? Gimana sama latihan hari ini? Sukses?" tanya Persia mengikis keringat yang membanjiri wajah tampan putranya.
Tidak pernah ada ucapan yang terlontar dari bibir Bevan kecuali sebuah acara saat ia meliput berita. Atau saat Bevan dihadapkan beberapa orang penting di LX Corporation.
"Kita makan yuk? Mommy udah masak makanan kesukaan kamu loh," Persia memperjelas bibirnya bercakap. "Nanti kalau nggak di makan bisa dingin."
Bevan mengangguk. Ia menuruti tangan Persia yang membawanya ke tepi halaman, di sana terdapat hiasan patung dan bunga yang selalu menjadi tempat bermain gadis yang Bevan rindukan.
"Sini, kamu mau apa? Salad, gandum, atau..." Persia gagal saat berucap tapi Bevan justru berhenti di depan patung wanita dengan sayap dan kain menutupi sebagian tubuhnya.
Pelan Persia berjalan mendekati Bevan. Di belakang punggung lebar dipenuhi tatto itu Persia hanya bisa mematung dengan linangan air mata. Dengan sangat hati-hati Persia membelai kulit keras Bevan kemudian ia melingkarkan tangannya untuk memeluk Bevan dari belakang.
"Dia pasti sudah baik-baik saja sayang!" Akhirnya air mata Persia terjatuh tanpa ia berkedip.
Kosong. Tidak ada yang bisa meramaikan suasana hati Bevan selain keceriaan ibunya yang selalu ia lihat. Tapi tidak sepenuhnya Bevan bisa melupakan sosok jelita seperti Rosie. Adiknya.
"Kau tahu, dia sekarang berusia 24 tahun. Mommy jadi ingin ke sana, tapi kau tau kan Daddy nggak akan memberikan ijin untuk Mommy." Keluh Persia memiringkan wajah menikmati matahari dan punggung legam Bevan.
Satu tangkai bunga daisy yang melingkar di patung Bevan ambil. Ia menatap warna putih yang cantik saat bayangan Rosie terus merayap dipikiran. Bagaimana kabar gadisnya? Batin Bevan ingin tahu dalam tanya yang sulit menemukan jawaban.
"Hei, ayolah... Kalian ini membuatku cemburu saja!"
Suara menggema terdengar di halaman seluas puluhan hektar mengurung pendengaran Persia juga Bevan. Robert Luxembourg merupakan bos juga pewaris utama kekayaan Luxembourg itu tanpa basa-basi menenggak jus apel di atas meja.
"Hei," Persia berkacak pinggang. "Itu sengaja dibuat untuk jagoan Mommy!"
Robert berhenti meminum sisa separuh dari jus yang sudah masuk ke dalam mulutnya. "Oh ya? Lalu, mana untuk Daddy? Aduh, kenapa Mommy selalu mengutamakan selingkuhan itu?"
Bevan mengamati bibir Robert mengatakan sesuatu. Ia mencerna sekilas lalu tersenyum miring dengan memahami ucapan ayahnya.
Sengaja Persia mengejek Robert dengan memeluk Bevan juga bersusah payah mengecup pipi Bevan karena kendala tinggi badan Bevan dengannya. Ditambah lagi Persia melarang Robert untuk mengambil satu kue saja yang berada di piring, tapi kemudian Robert berhasil mencurinya saat Persia lengah.
"Ayo sayang, sini! Kita sarapan dulu ya? Kamu mau makan apa?" Tanya Persia yang terus mengubah bahasa, karena ia lebih leluasa saat mengganti logatnya dengan Bevan yang memahami bahasa Indonesia.
Bevan hanya menyeruput teh yang sengaja dibuat khusus untuk Robert. Kemudian melihat hal itu Robert pun tertawa sambil memukuli pahanya.
"Lihatlah sayangku, jagoanmu itu sudah besar. Dia tidak memerlukan makanan bayi lagi. Apalagi bekal yang harus kau siapkan setiap pagi." Robert tersenyum sinis. "Ada-ada saja jagoanku dikasih bekal dan s**u saat akan berangkat kerja."
Merasa tidak terima dengan ucapan Robert, Persia pun melempar bantal sofa ke arah Robert.
"Jangan memintaku untuk marah Daddy." ucap Persia sambil memberikan penjelasan tentang cara bercanda Robert dengan tangan kepada Bevan.
"Hei boy, jangan lupa dengan tugasmu hari ini. Nanti Daddy akan meminta Shandy mendampingi mu." Jelas Robert menghabiskan sisa kue di tangan.
Anggukan kapala Bevan sudah cukup menjawab apa yang Robert katakan. Mereka kembali menikmati menu sarapan dengan kesetiaan Persia mengambil satu menu di piring untuk suaminya dan Bevan, anak tiri yang begitu Persia sayangi dan banggakan. Meski Bevan sedikit sulit menangkap apa yang tengah dibicarakan oleh orang lain, tapi tidak dapat memungkiri jika Persia sangat peduli. Bahkan 25 tahun sudah Persia telah menyempurnakan kekurangan Bevan, setelah kepergian Rosie.
[...]
Setiap ruangan ke ruangan lain terutama menuju kamar Rosie selalu mengutamakan tatapan Bevan ke sana. Ia termenung melihat hiasan angin yang ia buat dari kerang saat mereka berlibur sepuluh tahun lalu. Ketika angin menerpa hingga bunyi khas dari gesekan benda lucu itu terdengar. Senyum Bevan merekah teringat jika Rosie sangat mencintai hiasan itu, lalu Rosie akan mengajak Bevan bernyanyi dan menari tidak jelas saat hiasan itu berbunyi.
Matahari menimpa benda mati memiliki sisi menghidupkan kenangan itu mengkilat. Bevan berbalik arah dengan sisi wajah yang terus memeluk tatapan ke sana, pada bunyi merdu hiasan di lorong menuju kamar Rosie.
Jam di arloji telah menunjukkan Bevan harus memenuhi janji kepada Robert untuk menghadiri rapat hari ini. Jadi Bevan berjalan cepat saat menuju tempat yang terdapat mobil berwarna biru produksi Italia, di sana Bevan telah melihat Persia berdiri di dekat mobil kesayangan Bevan.
"Hai sayang," sambut Persia untuk mengecup kening Robert dan Bevan. "Hati-hati di jalan ya nak! I love you sayangnya Mommy."
Bevan tersenyum saat telah mengerti ucapan Persia untuknya. "I love you, Mommy."
Suara bass itu terdengar di saat tertentu saja. Saat Bevan mengucapkan cinta untuk ibunya serta ucapan maaf yang pernah ia berikan untuk Rosie sepuluh tahun lalu.
"Ayo Boy, kita sudah telat!" ucap Robert mengecup pipi Persia lalu menepuk pundak Bevan.
Bevan segera menyembunyikan tubuh menjulangnya di dalam mobil sport hadiah dari Robert.
Roda empat telah membelah jalanan besar kota New York dengan semangat lain pada diri Bevan meski ia masih memiliki banyak sanksi dalam hidupnya. Keinginan untuk datang menemui Rosie pun selalu Bevan urungkan karena ia tahu bagaimana sikap keras Robert yang akan menggantungnya, atau bisa saja Bevan tidak akan bisa menemukan Rosie.
"Daddy punya rencana," Robert menepuk bahu Bevan sambil ia mengitari tatapannya ke jalanan. "Jadi, Daddy memiliki niat untuk menjodohkanmu dengan anak teman Daddy! Kau setuju?"
Sekilas Bevan mendengar dan ia bisa menangkap bibir Robert berbicara. Ini mengenai perjodohan. Tapi Bevan sama sekali tidak tertarik, mungkin mendengar kata wanita bisa saja makhluk itu sangat menggoda. Tapi tidak! Bevan tengah menunggu gadisnya kembali. Cepat atau lambat.
"Dia lulusan desain dari Australia, anaknya baik. Daddy sudah pernah bertemu dengannya." Terang Robert menatap wajah datar putranya.
"Hari ini rencananya kita dan teman Daddy akan bertemu, kau bisa mengenal lebih dulu gadis itu!"
"Hanya berkenalan saja," Bevan menoleh sekilas ke arah Robert. "Tidak sampai menikah itu tidak masalah!"
Tawa Robert menggema di dalam ruang mobil kedap suara. Ia memukuli pahanya sebagai wujud Robert bahagia karena mendengar suara Bevan merupakan kejutan.
"Sepertinya aku harus memberikan topik hangat seperti yang sering kau lakukan pada pekerjaan mu itu, ngomong-ngomong kenapa kau tidak bekerja saja di LX nak? Daddy yakin kau mampu." Robert sangat berharap dengan kecerdasan Bevan akan membuat LX bisa tetap berdiri kokoh.
Tidak. Dalam hidupnya Bevan tidak akan pernah melepas pekerjaan sebagai jurnalis sebelum apa yang tengah ia cari bisa didapatkan. Tentang seseorang yang sudah menghancurkan masa depan dan harga diri Rosie sebagai seorang wanita.
"Karena Daddy hanya yakin kepadamu Boy," Robert begitu percaya dengan sosok anak pertamanya. "Rein, Malvines, masih diragukan untuk memegang LX."
Tentu Bevan menangkap baik ucapan ayahnya. Tapi ia tidak ingin memasang wajah setuju karena LX bukan tujuan utamanya saat ini. Apa yang Bevan rencanakan belum sepenuhnya bisa mengembalikan semuanya meski ia telah damai dengan Robert, tapi Bevan ingin mendapatkan kehidupan Rosie kembali, dan bisa menyeret pelaku yang sudah menyebarkan foto telanjang Rosie saat itu.
[...]
"Hai bro!"
Panggilan teman yang selalu membuat Bevan melempar sarung tangan tinjunya itu tertawa puas karena bisa membuyarkan lamunan Bevan.
"Bagaimana dengan ayah mu? Sudah baikan huh?!" Tanya Raymond Douglas teman Bevan.
Hanya anggukan singkat serta Bevan mengaitkan kain membungkus buku jarinya berlangsung. Bevan bangkit saat ia rasa istirahatnya pada sesi latihan hari ini selesai. Bevan harus tetap berlatih dengan giat untuk turnamen Minggu ini, dnegan begitu Bevan bisa berlatih dengan coach ternama dari Thailand yang terkenal ilmu bela diri berjenis Muangthai.
Keringat mengucur dari pelipis hingga dagu terbelah Bevan, ia menatap jeli target di depannya yang sudah memasang aba-aba latihan hari ini segera dimulai.
Dengan ketelitian dan memahami pergerakan lawannya Bevan telah banyak memenangkan pertandingan ilegal. Ya, tentu Bevan hanya bisa mengikuti ajang petinju tanpa harus banyak diketahui banyak orang terutama Robert. Bevan hanya memberitahu tentang dirinya yang asli kepada Shandy Jackson, wanita paruh baya yang dulu sering mengajaknya bermain, wanita kepercayaan Robert Luxembourg.
Setelah selesai mengadukan kemampuan dalam latihan hari ini Bevan segera beristirahat kembali dengan menikmati minuman sari buah buatan ibunya. Rasa segar itu mampu membuat Bevan selalu semangat setiap harinya, meski dalam kelurahan Bevan masih sangat menyesalkan. Mengapa ia harus memikul beban ini sekaligus Bevan harus kehilangan cinta itu, sebuah perasaan dosa karena sudah mencintai adiknya.
"Bagaimana kabar si Diamond mu itu?" Tanya Raymond melempar handuk kering untuk Bevan.
Kain kasar itu mengikis sisa peluh dari apa yang Bevan harus hadapi saat ini. Ia hanya menatap dengan ketelitian ke arah bibir Raymond saat berbicara.
"Kenapa kau tidak datangi saja tempatnya sekarang? Kau bisa memberikannya penjelasan," Raymond mengangguk yakin. "Aku rasa Rosie mengerti, dia anak yang baik dan manis."
Bevan menarik napas panjang. Embusan dari mulutnya menunjukkan ia terlalu lelah tapi semangat Bevan tetap akan hidup.
"Ini semua bukan kesalahanmu Bev, kau harus yakinkan itu. Jika kau menunggu orang itu datang dan menyerahkan diri kepadamu aku rasa Rosie sudah terlalu membencimu." Jelas Raymond memberikan keyakinan lagi.
"Dia sudah membenciku sejak lama." Jawab Bevan tertunduk sambil memandangi keringat yang menetes di lantai.
"Aku rasa tidak! Rosie tidak memiliki hati pendendam, dia gadis yang sangat baik." Tentu Raymond akan membantah dengan apa yang ia ketahui tentang Rosie.
"Aku tidak ingin berharap lebih untuk saat ini, tapi yang jelas aku sangat merindukannya." Kali ini Bevan merasa telah berdosa karena cintanya.
"Ya, memang terlalu rumit. Salah kau akan berurusan dengan ayahmu atau bahkan kau akan dihukum karena sudah melanggar hukum Amerika atas hubungan sedarah." Raymond menepuk bahu Bevan untuk memberikan semangat bertubi-tubi.
Kilatan mata hijau itu memandang ke arah Raymond yang berjalan keluar sambil melambaikan tangan kepada pelatih. Bevan merenungkan semua yang ada dalam pikirannya mengenai ini. Bagaimana bisa ia jatuh cinta dengan adiknya sendiri? Ia berselisih paham dengan otak dan perasaannya meski Bevan berulang kali meyakini jika ini tidak akan terjadi. Tapi kenyataan tetaplah berpihak atas ketidaktahuan Bevan mengenai statusnya dengan Rosie.
Sama sekali rahasia jika Bevan dan Rosie bukan merupakan saudara kandung tidak pernah diketahui siapa pun, termasuk Bevan yang begitu berambisi ingin menemui Rosie di Jakarta. Mempertemukan kembali rasa dan kerinduan akan cintanya.