Pagi yang cerah meronta untuk Rosie segera berangkat ke kampus. Ujian sengaja Rosie ambil karena hari ini ia cuti mengajar, besok Rosie harus dihadapkan dengan murid-murid yang akan mulai berlajar di Tk Patimura karena tahun ini memasuki ajaran baru.
Rosie tergesa mengemasi barang ke dalam tas, semalaman ia belajar dan lupa berbenah karena tertidur. Dari kamar Rosie berlari ke dapur dan memeluk di akhiri kecupan di pipi Sabrina. "Rosie berangkat dulu ya Oma," Satu potong pisang goreng keju Rosie sambar. "Udah telat!"
Belum Sabrina menjawab Rosie telah pergi dan ia melambaikan tangan tidak sempat menikmati sarapan. Bagi Rosie mengejar waktu sangat susah mengenai ia harus mencari taksi karena Rosie tidak pandai menyetir, sudah berkali-kali ia mencoba tetapi masih saja merasa takut dan memilih untuk tidak mengendarai mobil yang sudah diberikan ayahnya.
Kurang dari satu jam Rosie sudah berada di kampus. Sambil menunggu waktu dosen masuk ia sering menyempatkan diri di perpustakaan, sekedar menghabiskan waktu atau memang Rosie mencari materi yang harus ia kumpulkan sebagai catatan pribadi. Saat tengah serius memilih koleksi buku sastra di rak, Rosie terkejut dengan napas hangat yang lewat di sela-sela rambutnya tergerai. Ia langsung menoleh dan mendapati sosok pria lucu yang setiap hari menemani ke mana pun Rosie pergi.
"Hai sayang," Sapa Dewa Asof kepada cucu keponakannya.
Rosie tersenyum manis. "Opa Dewa."
"Hai sayang, tadi kamu di jalan langsung ke sini 'kan? Nggak mampir kemana-mana 'kan?" Tanya Dewa membelai rambut Rosie.
"Nggak kok, Opa Dewa kenapa harus nyusul ke sini?" Rosie memandangi arah sekitar. Ia tahu penghuni kampus melihatnya dengan terapan mata yang aneh, mungkin bagi mereka Rosie seorang yang harus mendapat pengawasan.
"Ya, soalnya tadi Oma kamu bilang kalau kamu udah berangkat pas Opa Dewa mampir ke sana," Akhirnya Dewa bisa lega karena akhir-akhir ini Rosie tidak lagi tersesat karena sering melamun saat berada di dalam taksi dan membuat sopir bingung. "Ya sudah, Opa Dewa pulang ya. Nanti kalau jam kuliah udah selesai bilang aja biar nanti Opa ke sini."
"Iya, nanti Rosie telpon Opa."
"Siap Rosie sayang, Opa pergi dulu. Bye!"
Terus saja Dewa menoleh di mana Rosie mematung memperhatikannya pergi. Sekarang Dewa bisa tersenyum karena kondisi Rosie telah memiliki perubahan drastis. Dulu yang sering menyendiri dan selalu tidak sadarkan diri kini bisa melakukan aktivitas normal, meski perlu beberapa tahun untuk itu.
Rosie kembali berlanjut pada buku yang selalu membuatnya betah berada di perpustakaan. Ia tidak peduli samar-samar terdengar seakan celana para mahasiswa di dalam perpustakaan, Rosie tidak tergoda dengan hal semacam itu karena ia lebih suka dengan kesibukannya.
[...]
Jam yang telah berhasil menguras tenaga bahkan pikirannya kini Rosie bisa bernapas tanpa beban di d**a karena telah menyelesaikan ujian. Di batas pintu gerbang Rosie berdiri dan menyingkir dari kerumunan orang menunggu Dewa menjemput, tapi dari arah kanan terlihat pemuda dengan kaos merah serta tubuh tegapnya itu datang menghampiri Rosie.
Jujur saja Rosie bersitegang begitu murid tampan yang sepertinya merupakan siswa terpandai itu datang. Apalagi saat tepat di depan Rosie berdiri.
"Kamu nungguin siapa?" Tanya anak muda berusia lebih mudah dari Rosie.
Tidak ada jawaban. Rosie hanya melingkarkan tangan di perut seolah menahan hawa yang menusuk persendian. Ia tidak berani menjawab apalagi menatap Tyas Wirawan.
"Mau aku anterin?"
"Nggak usah!" Tegas Rosie berusaha menghindar tapi Tyas mencegah dengan menjerat lengan Rosie, dan itu sontak membuat Rosie marah.
"Lepas! Kamu nggak ada hak buat sentuh aku!" Sedikit berteriak Rosie melepas tangan Tyas.
Tyas selalu bertanya-tanya mengapa Rosie selalu bersikap aneh. Tapi karena ia juga tidak ingin Rosie salah paham. "Ok, maaf. Aku nggak ada niat apapun Rosie, aku cuma pengen kenal sama kamu gitu aja." Ucap Tyas berdalih.
Karena Rosie hanya diam dan tertunduk sambil memeluk beberapa buku tebal untuk menutupi dadanya, Tyas pun hanya tersenyum miring sambil ia berjalan menjauh. Mungkin bukan ini saatnya ia mengenal sosok pendiam namun mengagumkan seperti Rosie.
Selang menit berlalu dalam rasa khawatir yang melanda akhirnya mobil Dewa terlihat. Rosie pun langsung mendatangi arah mobil Dewa yang terparkir di seberang jalan, ia menoleh ke arah kerumunan orang yang merupakan geng motor milik Tyas. Bagi Rosie Tyas sangat menyeramkan meski tidak ada satupun kejahatan yang dilakukan Tyas, justru pria itu baik dan sering menolong saat Rosie diganggu banyak orang atas sikapnya yang tidak ingin bergaul.
"Rosie ada apa?" Tanya Dewa dari dalam mobil saat Rosie membuka pintu mobil.
"E... Nggak kok," Rosie tergesa saat masuk ke mobil dan mengenakan sabuk pengaman. "Nggak kenapa-napa Opa, kita jalan sekarang aja!"
Dewa terus menoleh ke arah di mana Rosie merasa cemas. "Mereka siapa? Temen kamu?"
"B--ukan, mereka...,"
"Mereka gangguin kamu ya? Nggak sampai apa-apain kamu kan sayang?" Dewa merasa cemas karena Rosie terlihat pucat.
Saat Dewa akan membuka pintu mobil Rosie segera menghalangi Dewa. Ia menggeleng sambil menahan linangan air mata agar tidak terjatuh.
"Jangan Opa, mereka nggak jahat kok. Cuma ini perasaan Rosie aja." Tangis Rosie mengalir karena ia tidak tahu sampai kapan harus seperti ini menghadapi tantangan hidupnya yang telah berlalu.
Dewa hanya mengiyakan saat Rosie mulai gemetar. Yang ada dipikiran Dewa memang mereka berbuat macam-macam tapi mungkin Dewa harus bisa mempercayakan semuanya kepada Rosie sekarang, ia tidak ingin membuat perasaan lembut gadis yang sudah ia anggap seperti anaknya itu merasakan kembali pedihnya dihina.
Sesampainya di rumah Rosie berlari tanpa menghiraukan Dewa menegur. Sampai di ruangan pun Rosie tidak sadar jika Sabrina memanggilnya untuk makan siang, yang Rosie inginkan hanya langsung berada ke kamarnya.
Langsung pintu dan jendela Rosie tutup rapat-rapat lalu menguncinya, juga tingkap putih di dalam kamar meski saat itu matahari tetap terik tetapi Rosie merasa tubuhnya menggigil. Di tepi ranjang Rosie tidak sempat duduk dan ia terjatuh di atas lantai, memeluk tubuhnya sendiri dan ia menangis.
Rasanya begitu perih, di mana ia harus menanggung nista yang sama sekali tidak ia lakukan. Saat masa yang tengah ia nikmati bersama umurnya yang menginjak 14 tahun saat itu, semua terjadi begitu saja di depan semua orang.
"Aku benci!" Ucap Rosie melemah. Hanya sisa-sisa napas terasa sesak.
"A...ku benci kamu kak Bevan!" Rosie menekan-nekan rongga yang menyimpan jantung. Sungguh ia merasa terluka saat itu hingga kini.
[...]
New York, USA
Dua perasaan itu terpisah dengan jarak ribuan mil. Mengurung kerinduan mereka dalam penjara yang indah namun mematikan, siapa pun akan teracuni jika mendekat atau bahkan menjauh.
Bevan memainkan pisau lipat untuk mengetuk-ngetuk bahkan melubangi sisa pohon tumbang di hutan. Ia duduk sambil menikmati vodka dan alam liar yang memang menjadi tempat pribadi Bevan saat merasa jenuh, rumah pribadi yang sengaja ia buat tersembunyi dari hingar bingar kota dan keramaian.
Berkali-kali ponsel di dalam tas Bevan berdering. Ia tidak ingin menerima panggilan dari siapa pun termasuk Persia. Sadar jika ini keterlaluan tetapi perlu waktu untuk hari ini saja bagi Bevan ingin melepas penat akan semua aktivitas juga penantian Bevan.
Tapi karena Bevan menghitung berapa kali panggilan Persia terdengar akhirnya ia memutuskan untuk pulang. Dengan mengendarai si blue yang Bevan modifikasi sendiri itu ia gagal meluangkan waktu sendiri karena tidak membuat ibunya khawatir.
Sekitar 2 jam kemudian Bevan berada di rumah dengan penantian Robert dan Persia di ruang tamu. Di sana Bevan tersenyum saat Persia langsung berlari dan memeluknya, seperti biasa Persia akan mengecup kening berlanjut kedua pipi Bevan secara bergantian.
"Jagoan Mommy," Persia mengusap wajah Bevan yang terlihat lelah. "Jangan pergi seperti ini ya, jangan nak!"
Bevan mengangguk pelan. Mengusap air mata yang selalu menetes karena sebuah kerinduan mendalam terhadap Rosie, tapi sampai kapan Bevan harus memberikan kesempatan ini berlangsung tanpa setitik terang mengenai fitnah keji untuk keluarganya.
"Kau! Duduk!"
Suara Robert seperti akan siap memberi penghakiman. Bevan mengangguk untuk menandai jika ia baik-baik saja kepada Persia, dengan ditemani Persia yang tidak ingin lepas akhirnya Bevan menuruti apa yang Robert katakan.
"Dari mana saja kau?" Langsung saja Robert menarik tangan istrinya, ia maju satu jangkah lebih dekat dengan wajah Bevan.
Di ruangan luas inti keluarga Bevan hanya tertunduk tidak akan menyaingi tatapan Robert. Ia menatap lantai mengkilat yang memantulkan betapa dirinya sangat menyedihkan.
"Daddy bertanya Bevan, apa kau akan tetapi diam? Jawab!" Bentak Robert mengepalkan tangan.
Persia ketakutan akan sikap keras Robert yang berujung Bevan tidak akan angkat biacara. Lalu karena rasa khawatir itu terlalu mendera pikiran, Persia menghalangi Robert. Ia membelai d**a suaminya agar tetap sabar menghadapi anak-anaknya.
"Kau itu tidak tuli, kau juga bisa bicara Bevan! KATAKAN KAU DARI MANA HAH?!" Jika bukan Persia yang menghalangi Robert sudah mencengkeram wajah Bevan.
"California." Jawab Bevan tetap tidak menatap ke arah Robert.
"Apa? Kenapa kau ke sana? Karena lari? Katakan!" Cecar Robert geram dan masih berdiam diri karena Persia terus mencegahnya.
"Tidak!" Lagi. Bevan hanya menjawab satu kata dari beberapa pertanyaan Robert.
"Apanya yang tidak? Katakan dengan jelas! Kau..." Robert menahan napas saat tetiba dadanya terasa sesak.
Di sana. Rein dan Malvines tidak berani berbicara apapun. Mereka tertunduk sambil berharap jika Robert tidak kembali memiliki pertikaian yang membuat Bevan pergi selama 5 tahun ke Inggris.
"Sudah sayang, hentikan semua ini!" Persia memohon kepada suaminya.
Robert menggeleng karena masih tidak percaya ada polisi datang ke rumah memberikan surat penangkapan untuk Bevan dengan laporan penganiayaan. "Kenapa kau melakukan itu? Kau, untuk apa gelar doktor itu jika kelakuanmu seperti anjing liar? Kau tumbuh di keluarga Luxembourg bukan untuk berkelahi, Bevan!"
"C--ukup! Cukup!" Teriak Persia semakin terisak.
Masih saja Robert memahat wajahnya dengan kebencian. "Kau harus mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang sudah kau perbuat! Jika tidak, kau bisa angkat kaki dari sini!"
Rein dan Malvine saling bertatap muka. Mereka khawatir Bevan akan menuruti ucapan Robert seperti saat itu, di mana Robert telah mengusirnya karena fitnah yang mengakar melibatkan nama Bevan.
Tanpa kata apapun lagi Robert meninggalkan ruangan. Ia memendam lukanya karena terus terang saja Robert tidak ingin semua ini berujung dengan pukulan, bagaimana pun yang terjadi Bevan sudah menjadi hidupnya namun ia harus bersikap tegas kepada anak-anaknya.
Rasa sesal memang tertanam di hati Robert terutama Persia. Genggaman tangan Persia terlepas saat Bevan berjalan menuju kamar, tapi ia dicegah oleh jemari putrinya Rein.
"Biarkan Bevan sendiri Ibu, dia butuh banyak waktu untuk menata hatinya!" Rein merangkul kemudian memeluk Persia.
Sambil menangisi semua yg tidak menemukan ujung. Persia merasa tidak berguna, ia telah mencoba membujuk Rosie saat itu, tetapi Rosie tidak ingin kembali lagi ke Amerika.
Menetapkan iri bukan dipermasalahkan kali ini Malvines mengekor di belakang Bevan, pelan-pelan ia mencoba meraih pundak Bevan dan memang Bevan menoleh. Meski tanpa suara Malvines tahu ia diberi kesempatan untuk berbicara.
"Itu sifat Daddy kita, dia memiliki cara lain untuk menunjukkan kasih sayangnya. Tapi jangan sekali mengulang perbuatan yang akan membuat Mommy sedih dan jatuh sakit!" Ucap Malvines sungguh-sungguh.
"Kita pasti bisa menyelesaikan semua ini Bev, aku menyewa detektif untuk menyelidiki kasus ini. Aku tahu," Malvines mengangkat kedua bahunya. "Ini bukan patokan kita akan menemukannya."
Bevan hanya mengangguk pelan sambil memberikan semangat untuk adiknya. Ia menoleh tetapi Malvines menghalangi.
"Jangan menyerah Bev, aku memang membencimu! Tapi aku tidak menghilangkan rasa peduliku kepadamu," Malvines menepuk pundak Bevan. "Dan jangan sekali mengecewakan Mommy!"
Manik mata itu memancar, Bevan mengangkat satu bibirnya. "Aku akan membawanya untuk kalian!"
Bevan berlalu dengan rasa ragu yang baru saja ia ucapkan. Tapi tidak akan pernah membungkus niat Bevan untuk mencari pria Tiongkok itu, dan ia tetap akan menemui Rosie apapun dan bagaimanapun caranya.