Mulai Mengumbar Sayang

1160 Kata
"Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu dek? Apa ada yang sedang menggangu pikiran mu dek? Kelihatannya serius banget?" tanya kak Imam setelah aku meletakkan kotak rias ku di atas meja kaca yang ada di ruangan yang biasa di gunakan mama sebagai tempat menyambut serta berdiskusi dengan pengunjung butiknya. "Tau aja ini orang aku lagi mikirin sesuatu. Tapi gak mungkin lah kan aku harus ngomong jujur sama dia begitu aja? Ya sudah lah jawab sekenanya saja. Lagian juga kenapa sih bodoh sekali kamu Yu, ngapain juga mikirin suami orang? Mantan sahabat pula, ya sudah lah biarkan saja jadi mantan kan." Batin ku merutuki diri sendiri. "Eh gak kok kak, lagi mikirin hasil rias yang tadi aja apa sudah bagus atau gak?" Bohong sesekali gak apa-apa lah ya. "Silahkan duduk. Kakak mau minum apa biar ayu ambilkan?" lanjut ku padanya menawarkan minuman seraya mempersilahkan sang penyelamat dari pertemuan dengan mantan sahabat lama ku itu. "Tidak perlu repot-repot dek, kamu mau diam di sini atau mau pulang? kalau mau pulang biar kakak sekalian antar kamu pulang saja." tanya dia lagi dan menolak tawaran ku dengan lembut. "Em kakak mau balik? Kalau gitu balik duluan aja kak gak apa-apa, aku masih akan diam di sini. Mau tunggu kak Aichal sama kak Agil ada urusan yang harus di selesaikan sama mereka." Ucap ku mempersilahkan, eh nggak salah ngomong kan aku ya? Nggak kayak orang ngusir kan kata-katanya? "Baiklah kalau begitu kakak pamit dulu ya! Salam sama mama dan juga kakak kembar mu itu!" kini ia berpamitan. "Oh ya kak terimakasih untuk hari ini!" Aku pun tersenyum seraya menatap wajah manisnya itu. Jujur wajah ku terasa memanas dijamin sudah memerah seperti tomat pastinya. "Sama-sama sayang!" Dia juga membalas senyum dengan yang lebih manis. "Ya Allah bidadara kesasar ini mah namanya." Batin ku yang kini meleleh melihat pemandangan yang ada di depan mata. "Eh tapi seriusan tuh dari tadi dia manggil sayang mulu. Gak boleh baper dulu lah nanti malah nyesek sendiri." Lanjut ku lagi yang masih sibuk bergumam dalam hati. "Ya sudah kalau begitu kakak balik dulu ya dek, salam sama mama dan juga dua kakak kembar mu itu!" pamitnya lagi seraya meninggalkan ku di ruangan itu. Aku hanya bisa menatap punggung lebarnya yang berlalu pergi. "Hem." Entah dari mana asal suara deheman yang tiba-tiba itu mengejutkan ku yang jelas sang pemilik suara sangat ku kenal. Seketika itu juga aku langsung menoleh mencari sumber suara itu berada. Benar saja dengan santainya kak Agil tengah berdiri di anak tangga paling atas dengan kedua tangan yang tengah bertengger di pinggangnya. Dia melemparkan senyum penuh makna dari atas sana. Bisa-bisanya aku tak menyadari keberadaan kakak ku yang paling menyebalkan itu, pasti dia sudah mengawasi kami sedari tadi di sana. "Sejak kapan kakak di situ?" selidik ku dengan tatapan tajam. "Sejak kalian ada di ruangan ini." Jawab Kak Agil singkat seraya menuruni anak tangga. "Hah serius, kok kamu nggak tahu ya Kakak berdiri di situ sedari tadi!" ucap ku dengan wajah sedikit terkejut. "Maklum lah kalian kan lagi asyik ngobrol jadi wajar aja kalian nggak sadar kalau ada orang segede gajah di sini." Kak agil terus melangkah mendekati ku. "Ish, berarti sedari tadi kakak mendengarkan obrolan kami?" tanya aku lagi. "Yups kakak mendengarkan pembicaraan kalian dari awal sampai akhir. Wah wah sepertinya kakak banyak ketinggalan berita nih. Ada yang sudah enggak jomblo lagi nih, panggilannya sayang sayang pula." Sindirnya dengan wajah menyebalkannya itu. "Ih sok tahu kakak mah, orang manggil sayang belum tentu udah jadian keles. Sudah ah adek capek mau istirahat dulu." Ucap ku membantah pernyataan kak Agil seraya menghempaskan tubuhku di atas sofa panjang itu. Nyaman sekali rasanya membaringkan tubuh di atas bongkahan empuk ini. Jujur pinggang ku sudah sangat nyeri karena dibonceng motor model begituan. "Ya sudah kalau kamu mau tidur dulu. Kakak mau ke rumah makan yang di Udayana dulu kalau begitu." Pamitnya begitu saja dengan cepat aku mencegah langkahnya. "Eh kok malah mau pergi sih, kan mau nemenin selesaikan urusan jual beli tanah itu dulu kak! Gimana sih?" protes ku yang kini sudah dalam posisi duduk dengan menyandarkan tubuh ku di sandaran sofa berwarna cream itu. "Lah tadi kan kamu sendiri bilang mau tidur dulu. Masa iya kakak mau nungguin putri tidur ya lebih baik kakak urusin rumah makan lah." Ucap kak Agil dengan wajah cueknya. "Aish liat kan dia memang selalu menyebalkan seperti itu." Gerutu ku dalam hati. "Ya sudah ayo berangkat, kak Aichal gak jadi ikut?" tanya ku lagi seraya berdiri dan celingak-celinguk mencari sosok kakak lelaki yang satunya lagi. "Dia masih di Lombok Tengah. Ya sudah ayo berangkat!" ajak kak Agil seraya melangkah pergi aku pun bergegas mengikutinya dan menyamakan langkahnya. "Kamu seriusan dek gak pacaran sama si Imam itu?" tanya kak Agil lagi dengan wajah serius tentunya menuntut kepastian. "Belum kakak ku yang ganteng. Gak percaya sekali sih sama adek sendiri." Tegas ku. "MMM begitu ya, tapi kalau di lihat-lihat dia serius suka sama kamu, dan panggilan sayang itu kok gampang sekali ya keluar dari mulutnya? Kalau seperti itu kamu jangan cepat percaya dah sama dia bisa jadi dia punya riwayat penyakit playboy dek." Celetuk kak Agil setelah sesaat tadi ia tampak berpikir. "Sok tau kakak mah. Kita itu baru kenal kak jadi ya gak mungkin lah langsung cepat mau jadian. Biarin aja dia mau manggil sayang asal jangan manggilnya yang lain." Jawab ku santai seraya membuka pintu mobil kak Agil yang terparkir di samping toko. Aku sempat berpikir sejenak kalau ucapan kak Agil tadi benar, seperti kami terlalu menikmati suasana sampai aku dan dia gak sadar kalau ada yang memperhatikan kami. Dan saking terlalu terlenanya mobil kak Agil yang terparkir di samping butik dan jelas-jelas kak imam berhenti tepat di depannya saja aku tak menyadari itu. Ya salam malu-maluin aja. "Maksudnya panggilan yang lain?" Kak Agil melanjutkan pertanyaan dengan wajah bingungnya seraya memasang sabuk pengaman. "Ya panggilan anak alay jaman sekarang kak. Kek umi-abi, ayah-bunda, mama-papa." Jawab ku dengan senyum lebar. "Ish kamu kirain apaan. Sudah ah baca doa dulu kita mau berangkat!" pesannya kemudian yang kini menyalakan mesin mobilnya. "Mau berjamaah apa sendiri sendiri?" tanya ku lagi mencoba sedikit bercanda. "Baca dalam hati aja dek. Ya Allah ribet amat sih pakai berjamaah segala." Kami berdua pun tertawa. Ya begini lah kami sebagai saudara. Hihi. Singkat cerita kita pun berangkat dan menyelesaikan segara urusan jual-beli tanah yang akan aku jadikan kebun mawar nantinya. Alhamdulillah semua berjalan lancar, tinggal menunggu sertifikat nya saja nanti notaris yang telah berganti nama dengan nama ku sebagai pemilik barunya. Tentunya setelah transaksi p********n selesai yang akan aku lakukan besok hari Seninnya. "Kita langsung pulang kalau begitu dek!" tanya kak Agil yang kini sudah siap melajukan mobilnya. "Ya dong kan rumah dekat juga noh di belakang!" jawab ku, "aku mau istirahat kak dah lelah sangat." Lanjut ku lagi. Rumah kami memang berada tepat di belakang tanah kosong yang aku beli ini hanya berselang tembok pembatas saja dan kalau semua urusan selesai tentu tembok itu akan aku hancurkan dan membuat sambungan ke sana. "Okay tuan putri let's go."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN