"Sudah selesai?" sapa suara yang baru-baru ini tengah mengisi sedikit demi sedikit relung hati ku yang kosong.
Entah kenapa aku selalu merindukan suara itu setiap saat. Suara yang tiap malam menemani ku sekalipun aku jarang berbicara padanya bahkan kami sering kali sibuk dengan urusan masing-masing ketika berada di sambungan telpon. Suara yang menemani ku sampai aku akhirnya terlelap dalam mimpi, dan tidak pernah aku tahu dan aku tanyakan siapa yang mematikan telponnya. Entah telpon itu terputus karena ia yang menutupnya atau karena pulsa aku dan dia habis. Tapi yang jelas setiap malam selama aku mengenalnya kami selalu bergilir-giliran untuk saling menelpon satu sama lain, hanya saja aku akui lebih sering dia yang menghubungiku duluan.
"Eh sudah kak, sekarang mau ke kamar mempelai pria nya." Jawab ku seraya mengembangkan senyum ketika melihat wajah manisnya itu di pintu sana.
"Ya sudah ayo kakak temenin!" ucapnya lagi.
Aku menganggukkan kepala untuk memberikan jawaban padanya.
"Cie perhatian kecil yang sungguh membuat iri." Seloroh pengantin wanita yang sudah cantik dengan riasannya.
Aku tersenyum malu dengan wajah yang terasa panas. Pasti wajah ku sudah semerah tomat sekarang.
"Mbak bisa aja. Oh ya selamat ya atas pernikahannya yang tinggal menghitung jam. Semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah dan warahmah ya mba dan segera di karunia momongan." Doa ku tulus pada calon pengantin cantik itu.
"Aamiin, terimakasih mbak. Semoga mba cepet nyusul juga ya!" Doa nya pada ku yang hanya aku jawab dengan senyuman kecil yang di paksakan.
Aku pun bergegas memperbaiki peralatan ku agar bisa segera ke kamar pengantin pria nya. Tapi sungguh dalam hati kecil ku aku sangat tidak ingin ke sana. Aku tidak ingin bertemu mantan sahabat itu lagi, ya baru kali ini aku mendapatkan sahabat bisa juga menjadi mantan.
"Kalau begitu saya permisi dulu mbak!" pamit ku dan segera meninggalkan kamar yang tak nyaman itu, ya memang sungguh tak nyaman rasanya bersama orang yang pernah menjadi saingan mu dulu. Orang yang pernah merebut sahabat mu dan pergi meninggalkan mu begitu saja dengan berpamitan melalui sebuah surat di saat esoknya kamu akan mengahadapi ujian nasional. Lucu bukan aku jadi senyum sendiri membayangkan bagaimana alay nya aku saat itu dengan perasaan bucin ku yang hampir saja mengacaukan pendidikan ku.
"Kenapa senyum sendiri begitu? Ada sesuatu kah?" tanya kak Imam yang ternyata sadar dengan senyuman ku itu.
Ya ampun ni cowok ternyata memperhatikan ku sedari tadi. Ya salam, malu ku di ambon jadinya. "Gak ada apa-apa kak." Aku hanya bisa senyum ala iklan pepsodent menutupi wajah malu ku.
"Ya sudah ayo kita segera selesaikan pekerjaan ini, setelah itu temani kakak ke suatu tempat!" pintanya membuat ku langsung mendongakkan kepala menatap wajah manisnya itu.
Kami pun berjalan beberapa langkah dari kamar sebelumnya, karena kamar pengantin pria tak jauh dari pengantin wanitanya. Hanya berselang tiga kamar saja.
"Ya Allah, ini sungguh di luar dugaan ku. Bismillah kuat kan hati ku, semua sudah berlalu tiga tahun lamanya. Seharusnya aku sudah baik-baik saja kan?" Gumam ku dalam hati yang hanya bisa meyakinkan diri dan setelah aku sadar sebuah kekuatan muncul dari belakang ku.
Kak imam yang berdiri di samping kanan ku tiba-tiba menggenggam bahu kiri ku, dia merangkul ku seraya tersenyum.
"Tenang saja ada kakak di sini!" ucapnya dengan lembut.
"Subhanallah ini orang manis banget kayak gulali. Boleh di makan gak sih." Puji ku dalam hati. Senyumnya bisa membuat orang yang melihat langsung meleleh deh. Kak Imam yang mendorong handle pintunya.
"Permisi." Ucap ku dengannya berjamaah.
Pengantin Pria sudah siap dengan setelan tuksedo warna hitamnya. Hanya saja wajahnya masih biasa saja. Tugas ku hanya memberikan sedikit polesan di wajahnya saja bukan. Pasti sangat lah mudah dan akan aku pastikan semuanya selesai dengan cepat.
"Silahkan masuk, aku sudah menunggu mu!" ucapnya dengan tatapan tajamnya yang sekarang menatap ku intens.
Jelas aku terkejut, entah kenapa suara itu terdengar memiliki banyak makna di sepasang telinga ku ini.
"Mas tenang saja wanita saya tidak akan terlambat untuk menemui mas nya. Ayo sayang cepat di selesaikan riasan pengantin pria nya agar ia cepat bertemu dengan calon wanita halalnya!" celetuk suara lembut itu lagi.
Mata ku membelalak sempurna, mungkin bisa saja dua biji mata ini akan melompat keluar jika ia tak terikat dengan saraf dan sambungan yang lainnya di dalam sana.
"Gak salah dengar kan aku tadi? Kata-kata dahsyat macam apa yang keluar dari bibir lelaki gula ini?" decak ku dalam hati yang kini menatap ke arah wajah yang tengah tersenyum dengan pandangannya yang sedang beradu dengan mempelai pria itu.
Tak berselang lama aku pun langsung menoleh ke arah Abang lama ku itu yang ternyata juga terlihat jelas dari raut wajahnya kalau ia juga tengah dalam kondisi terkejutnya. Mungkin ia tak menyadari kalau kedatangan ku tak sendiri ke kamarnya.
"Ayo sayang kenapa masih berdiri di sini. Mari kita selesaikan pekerjaan ini!" lanjut kak Imam sekali lagi yang kini menarik tangan kiri ku yang tengah kosong. Aku pun hanya bisa mengikuti langkahnya.
Tatapan tajam itu masih terus mengawasi ku tanpa beralih sedikit pun, namun lelaki penyelamat ku itu terus berdiri di samping ku ya tepat di samping ku. Aku kini mulai mengerjakan tugas ku dengan sebisa mungkin menghindar agar tak bertemu pandang dengan bang Ical. Karena merias wajah pria tak seribet merias wajah wanita, pekerjaan ku pun selesai dengan cepat. Namun baru saja aku berpaling untuk meletakkan lipstick yang ada di tangan ku ke dalam kotak make up tiba-tiba dua tangan kini tengah berada tepat di hadapan ku.
Tangan siapa lagi kalau bukan tangan Abang yang tengah di tahan oleh tangan kak Imam.
"Jangan pernah berani menyentuhnya sedikit pun!" ancamnya dengan suara yang begitu tegas dan penuh penekanan.
Aku hanya bisa menatap wajah itu yang kini berhias dengan senyuman ke arah ku. Aku bisa bayangkan wajah kesalnya Abang sekarang tapi aku tak berani menoleh ke arahnya.
"Kenapa kami harus terjebak dalam situasi seperti ini?" gumam ku kembali dalam hati.
"Ayo dek kita pulang!" ajaknya yang kini telah menepis tangan itu.
Aku hanya mengangguk setelah membereskan kotak make up itu. Kak Imam pun meraih kotaknya dan membawa serta aku keluar dari kamar itu tanpa berkata-kata apa pun pada penghuni kamarnya.
Aku bersyukur hari ini bisa terlewatkan dengan sempurna. Pria yang baru aku kenal ini telah menjadi penolong ku hari ini. Aku hanya bisa menebar senyum dengan rasa gembira dalam hati.