Oris menggigit bibir bawahnya karena menahan malu di depan Rhea. Ranjiel, Lia dan Ovi terkekeh geli melihat tingkah Oris yang tak seperti biasanya hingga mengundang Ranjiel dan Ovi untuk menggoda Oris yang baru saja mendapatkan ciuman pertamanya dengan Rhea.
“Segitunya Lo merawanin bibir sahabat kecil lo,” goda Ovi.
Ranjiel tiba-tiba mendekatkan wajahnya pada Oris. “Ris, lo dapat bekas gue,” godanya.
Oris dengan cepat menoleh pada Ranjiel dan menatapnya tajam. Ranjiel yang mulai senang umpan kekonyolannya di ambil Oris berdiri dan bersembunyi di balik tubuh Ovi.
“Apa maksud lo?” tanya Oris.
“Bibir Rhea udah gue perawanin,” jawab Ranjiel santai.
Oris berdiri dari kursinya dan berjalan menghampiri Ranjiel. “Maksud lo?”
Wajah Oris mulai terlihat geram mendengar ucapan Ranjiel, dan membuat Ranjiel semakin senang menjahili Oris.
“Salah gue apa?” tanya Ranjiel.
Oris maju mendekat pada Ranjiel yang masih tersenyum lebar menatap pada dirinya. Rhea yang melihat itu seketika turun dari brankar dan menghampiri Oris walaupun tubuhnya masih terasa lemas.
“Lo apa-apaan sih Ris?” tanya Rhea dengan kedua tangannya memegang lengan Oris.
Oris mengalihkan pandangannya pada Rhea, lalu balik memegangi Rhea yang hampir terjatuh.
“Lo mau kemana sih Rhe?” tanya Oris yang terlihat panik.
“Lo mau ngapain si Ranjiel?” ketus Rhea.
Oris kembali menatap tajam pada Ranjiel. Sedangkan Ranjiel masih terus tersenyum di belakang tubuh Ovi. Lia yang mengerti keadaan disana berdiri dari kursinya dan berdiri di tengah antara Oris dan Ranjiel.
“Harusnya, lo bersyukur Oris. Karena Rhea udah diselametin sama Anjiel. Kalau bukan Anjiel yang selametin, gue gak tau lagi nasib Rhea kaya gimana sekarang,” jelas Lia.
Ranjiel seketika menoleh pada Lia. “Dedek Yaya kok bocor, kan Babang Anjiel pengen ngerjain Smile Meris.”
“Lo sih nyari perkara. Udah deh, nggak usah lebay. Inget masih utang ice cream ama Yaya.”
"Dedek Yaya kok gitu?"
"Pacar Yaya yang emesin, mau di timpuk pakek sempaknya Tuti?"
"Nggak mau, Sayang. Maunya di timpuk oppai boing-boing aja." Sahut Ranjiel sambil tersenyum lebar.
"Anjieeeelllll ... nggak usah m***m! Lo mau gua jambak?"
“Iya sayang, babang Anjiel diem.”
“Lo juga nyari perkara aja Jiel,” timpal Ovi.
Rhea dan Oris menatap bingung pada ketiga temannya itu. “Lo pada ngomong apaan sih?” tanya Rhea.
Ovi menggelengkan kepalanya ketika melihat kelakuan Ranjiel dan Lia, lalu beralih menatap Oris dan Rhea yang masih terdiam tak mengerti apa-apa.
“Lo diselametin sama Ranjiel. Tanpa sengaja, pas Ranjiel mau latihan dikolam dia liat headphone lo Rhe di lantai tapi dia ga nemuin lo di sana. Pas curut itu mau mulai latihan, dia lihat lo udah tenggelam dan ada di dasar kolam. Ya … Ranjiel langsung selametin lo,” jelas Ovi.
“Terus?” tanya Rhea.
“Ranjiel melakukan pertolongan pertama, CPR d**a lo dan ngasih napas buatan sama lo Rhe,” lanjut Ovi.
Oris dan Rhea saling menatap dengan mata membelalak mendengar apa yang baru saja Ovi jelaskan. Perlahan tangan Rhea menyentuh bibirnya.
“Gue bahkan iklasin Ranjiel lakuin itu demi selametin nyawa lo, Rhea. Gue gak bisa bayangin dan gak mau bayangin harus kehilangan lo gara-gara si Tuti,” timpal Lia.
“Lo serius Rhe, bibir lo masih perawan?” tanya Ovi.
“Diem lo, Insidious!” sahut Rhea.
“Jadi bener? Dan perawan bibir lo di ambil Ranjiel bukan Oris?” ulang Ovi.
Oris menggenggam tangan Rhea. “Anggap aja itu bukan ciuman pertama lo Rhe, itu hanya usaha Ranjiel buat selametin nyawa lo,” ujar Oris menenangkan Rhea.
“Dan lo anggap aja kecupan Oris tadi yang perawanin bibir lo,” sahut Ovi.
“Ovi!!!” pekik Oris dan Rhea bersamaan.
“Kalian bibir doang aja ribut amat sih, malu sama anak sd yang malahan udah bisa bikin anak. gue yakin shap bakal bilang gitu kalau dia disini." Ujar Lia seraya pergi keluar dari ruang UKS.
***
Jam sekolah telah usai. Diruang UKS, Oris sedang membantu Rhea membereskan barang bawaannya. Oris meraih tas Rhea dan membawakan jaket hoodie Rhea yang basah kuyup. Dokter Radit tersenyum melihat tingkah Oris dengan Rhea yang terlihat manis baginya.
“Nikmati masa remajamu dengan pilihan hatimu,” ujar Dokter Radit.
“Apaan sih Dokter Radit,” sanggah Rhea yang terlihat malu.
Dokter Radit menggelengkan seraya tersenyum dan mengibaskan tangannya.
“Sebaiknya kamu cepat pulang. Istirahat yang cukup. Sebisa mungkin, selama dua hari kedepan kamu ijin sakit ke sekolah. Biar nanti saya buatkan surat ijin sakitnya,” titah Dokter Radit.
Rhea mengangguk. “Terima kasih dok, kita pamit pulang.”
Mereka berdua keluar dari ruang UKS bersamaan. Oris masih tak mau membuka suara. Pria itu hanya sesekali melirik Rhea hanya untuk memastikan Rhea baik-baik saja. Rhea yang menyadari perubahan sikap Oris menghentikan langkahnya, menoleh lalu mendongakkan kepalanya menatap Oris.
“Lo kenapa sih Ris?” tanya Rhea dengan nada kesal.
Oris hanya melirik sesaat lalu membuang muka ke samping. Rhea yang melihat itu mendengus kesal lalu menarik dagu pria itu agar menatap matanya.
“Apa gara-gara Ranjiel?” tanya Rhea. Oris masih terdiam.
“Oris!” panggil Rhea.
Perlahan Oris mau menatap mata Rhea. “Gue gak anggap itu first kiss gue. Itu cuma karena Ranjiel harus nyelamatin nyawa gue.” Ujar Rhea.
Oris masih terus menatap mata Rhea dengan mulut merengut seperti anak kecil. Gadis itu tersenyum manis, lalu menatap Oris dengan menggoda.
“Ini First Kiss gue,” ujar Rhea yang kemudian mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Oris singkat.
Oris masih terkejut hingga Rhea sudah melepaskan bibirnya dari bibir Oris. Gadis itu kembali melangkahkan kakinya, sedangkan Oris masih diam terpaku di belakang Rhea.
Namun, tiba-tiba dari arah belakang sebelah tangan Rhea ditarik lembut oleh Oris dan tepat saat Rhea berbalik Oris meraih kepala gadis itu dan menciumnya. Rhea tersenyum tipis lalu memejamkan matanya menikmati permainan bibir Oris. Harum napas Oris yang paling Rhea sukai kini terhirup sangat dekat. Perlahan, Oris melepas ciumannya dari bibir tipir Rhea. Iris mereka saling menatap satu sama lain, lalu Oris mengecup bibir Rhea singkat.
“First kiss gue, sekarang udah digondol orang,” ujar Rhea sambil tersenyum manis.
Akhirnya Oris kembali tersenyum setelah Rhea berhasil meyakinkan sahabat kecilnya itu. Pria itu mengacak lembut pangkal kepala Rhea dengan tatapan matanya yang tak dialihkan dari wajah Rhea.
“Ayo pulang, gue anter lo ke asrama,” ujar Oris.
Rhea mengangguk mengiyakan. “Ris! Jangan bilang sama bunda iya soal ini. Bisa-bisa bunda nyuruh gue pindah sekolah ke Bandung lagi,” pinta Rhea.
“Iya, gue gak akan bilang sama bunda. Mulai detik ini, gue gak bakalan biarin siapapun juga gangguin lo lagi. Dan lo, jangan pernah dengerin apa yang Tuti omongin. Buat gue, Lo sangat berarti Rhea. Dan itu mutlak, gak bisa di ganggu gugat sama siapapun. Termasuk anak-anak GAS.”
***