“Maaf La, aku belum pernah dekat dengan anak kecil, jadi gak tau apa kesukaan mereka?”
Dimitri tersenyum melihat Vino, putra dari Nola yang sedang asyik menekuri mainan robot yang ia bawakan tadi. Mengingat ini adalah pertemuan pertamanya dengan si kecil Vino, tentu saja Dimitri tak ingin datang hanya dengan tangan kosong. Jadi sepulang kantor tadi ia sengaja mampir ke toko kue terdekat untuk membeli brownies keju. Tak hanya itu, Dimitri juga menyempatkan diri membeli hadiah kecil berupa robot transformer yang menurut penjaga tokonya tadi sedang digandrungi anak-anak.
“It’s okay, nanti kalau punya anak sendiri pasti naluri kebapakannya akan muncul sendiri kok.” saut Nola yang baru muncul dari dapur dengan membawa nampan berisi coklat panas dan beberapa camilan.
“Hmm … semoga.”
“Kamu gak usah repot bawa-bawain hadiah buat Vino juga nggak apa-apa kali Dim, kamu nengokin Vino aja aku udah seneng.” Nola mendaratkan bokongnya di sofa tepat di sebelah Dimitri. Mengikuti pandangan pria itu yang sedang memandang penuh harap pada balita dua tahun itu.
“Kamu pengen banget punya anak ya Dim? lihat Vino sampe terkesima gitu kayaknya.” Nola terkekeh kecil melihat raut wajah Dimitri.
“Hmm … lucu banget lihat anak kamu La, gemesin gitu sih.”
“Iya, gemesin banget emang. Andai papanya juga perhatian seperti kamu.”
“Emang papanya gak tahu kalau Vino sakit?” Dimitri mengernyitkan kening keheranan.
“Tau sih, tapi dia masih ada kerjaan di China, gak bisa langsung pulang dadakan hari ini.” Nola menunduk sendu.
“Sibuk banget ya?”
“Banget, bahkan seolah-olah kami tak ada, dan tak butuh perhatian darinya.”
Nola mendongak beberapa saat menatap sepasang manik mata milik Dimitri. Lalu ia berpaling lagi, mengalihkan pandangan pada balita kesayangannya yang kini tampak mengantuk dalam gendongan pengasuhnya.
“Sorry..” desis Dimitri.
“Untuk?”
“Jadi bikin kamu inget sama dia, papanya Vino.” sambung Dimitri.
Nola menoleh dan memaksakan senyum pada pria di sebelahnya. “Gak apa-apa kok Dim, nyantai aja kali.”
“Maaf bu, ini den Vino mau dipindah ke kamarnya sendiri atau kamar bu Nola?” suara dari pengasuh Vino menjeda pembicaraan Dimitri dan Nola.
“Oh.. kamarnya Vino aja mbak.” Nola mengangguk, lantas sedetik kemudian menepuk paha Dimitri “Bentar ya Dim, aku siapin kamarnya dulu. Diminum gih cokelat panasnya.” Nola mengendikkan dagu kea rah meja kecil didepannya.
Dimitri mengangguk pelan. Ia menegakkan punggung ke sandaran sofa sambil menatap punggung Nola yang beranjak menjauh menuju kamar putranya. Entah kenapa ada desiran aneh dalam hatinya setiap kali melihat Nola. Apalagi melihatnya dalam keadaan santai seperti ini, nampak sekali perempuan itu makin dewasa dan masih memukau dengan aura yang berbeda.
"Anak..." gumam Dimitri pada diri sendiri, tiba-tiba saja ia mengingat Fawnia. "Bagaimana mungkin, berdua saja kami tak bisa menyatukan hati. Apa jadinya jika kami punya anak tanpa cinta. Apalagi kami jarang melakukan 'itu'."
Dimitri menggelengkan kepala mengusir bayangan akan Fawnia dan anak yang tak akan pernah hadir dalam pernikahannya. Karena bangunan kokoh bernama rumah tangga itu sudah roboh beberapa hari lalu bersamaan dengan ikrar talak yang ia ucapkan. Mengusir jenuh, Dimitri lebih memilih mengedarkan pandangan pada apartment mewah milik Nola. Tentu saja tak mengherankan, mengingat Nola adalah salah satu menantu dari pengusaha ternama di negeri ini. Ya meskipun sebentar lagi statusnya menjadi mantan menantu, karena sidang perceraiannya dengan sang suami akan segera digelar bulan depan. Tapi karena ada anak dalam pernikahan mereka, tentu saja keluarga Rayhan ingin cucu kesayangannya hidup serba berkecukupan.
Menunggu Nola selesai dengan urusannya, Dimitri berdiri mendekati meja kecil di depan ruang tamu. Diamatinya foto-foto kebersamaan Nola dengan putranya. Kebanyakan hanya foto berdua, Nola dan Vino, tanpa sosok Rayhan, mantan suaminya. Namun tumpukan foto-foto lama berukuran besar di belakang meja tak luput dari penglihatan Dimitri. Foto dalam pigura berukuran besar yang memperlihatkan pose mesra Nola dan Rayhan dalam balutan baju pengantin bernuansa Jawa.
"Maaf jadi nunggu lama Dim. Vino emang agak lama tidur lagi kalau barusan dipindah ke kamar, harus pegangin tangan aku dulu." Dimitri menoleh ketika melihat Nola yang tersenyum padanya.
"Gak apa-apa La, udah seharusnya Vino dapet banyak perhatian, apalagi pas sakit gini."
Berdehem sekali, kedua sahabat lama itu kembali duduk di ruang tengah sambil melihat talk show yang ditayangkan salah satu stasiun televisi.
"Kenapa gak diminum coklat hangatnya Dim?" tanya Nola sesaat setelah melihat cangkir berisi minuman cokelat itu tak tersentuh.
"Udah, dikit tadi. Gak tau nih La, sejak beberapa hari ini perut aku jadi mual setiap makan atau minum yang berbau coklat. Gak biasanya sih." Dimitri meringis sambil mengusap perut ratanya.
"Tumben sih? Dulu kan kamu suka banget sama coklat." Nola tersenyum sekilas.
"Gak tau juga La, lagi gak beres aja mungkin perutku. Lagi gak mau rasa yang manis-manis kayak coklat, malah ganti lagi suka rasa-rasa yang asem kecut gitu."
"Aneh deh kamu. Kayak cewek lagi ngidam aja." Nola menepuk pundak Dimitri dan tertawa lebar.
"Ngidam? emang aku hamil?" gumam Dimitri dalam hati.
"Aku bikinin teh mint mau ya?" tanya Nola lagi.
Dimitri mengangguk mantap. "Mau."
***
“Dimitri sering pulang malam gini?” tanya pria paruh baya yang tengah menunggu di ruang tamu rumah Dimitri.
“Nggak kok Pa, malam ini aja. Bang Dim tadi sore bilang lagi lembur.” bohong Fawnia demi menenangkan ayah mertuanya.
“Tapi ini sudah hampir jam sembilan nduk? mana ada kantor lembur di akhir pekan seperti ini.” lanjut beliau gusar.
“Bang Dimitri sedang banyak proyek Pa, dan kantornya sedang kekurangan staff di divisinya.”
“Benar begitu?”
“Nggih.” Fawnia tersenyum lebar, berharap mertuanya tak menyadari kebohongannya. “Gimana kalau Nia ikut duluan aja ke Citraland, biar mama gak terlalu lama sendirian?” Fawnia menawarkan diri.
Sudah lebih dari satu jam tadi, Sudirman- ayah Dimitri yang tak lain adalah mertua Fawnia, datang ke rumah mereka. Karena ponsel Dimitri yang tidak aktif saat dihubungi, beliau memutuskan untuk langsung mampir ke rumah putranya, hendak mengabarkan bahwa sang ibu sedang kurang sehat dan ingin putra serta menantunya untuk datang ke kediaman mereka di Citraland, salah satu perumahan elite di Surabaya.
“Terus suamimu?”
“Nanti biar Nia yang kasih kabar Bang Dim biar langsung ke Citraland.”
Sang mertua berdecak sekilas, “Dimitri itu dari dulu susah betul dihubungi orang tuanya sendiri.”
“Sibuk Pa.” bela Fawnia.
“Sibuk kok terus.” cibir pria berkacamata itu lagi. “Ya wes ayo ikut Papa duluan, nanti suamimu biar nyusul belakangan aja.” lanjut beliau lagi.
“Ya sudah, Nia ambil baju-baju ganti dulu ya Pa.” Fawnia tersenyum lebar begitu melihat mertuanya mengangguk pelan, ia lantas untuk beranjak menuju kamarnya.
Tak banyak baju ganti yang akan ia bawa ke rumah sang mertua, karena di sana pun masih ada beberapa baju yang sengaja ia tinggal untuk digunakan jika sewaktu-waktu menginap di sana. Sebagai menantu satu-satunya, Fawnia menjadi kesayangan dari Wulandari, ibu dari Dimitri. Perempuan lemah lembut itu begitu menyayangi Fawnia layaknya putri kandungnya sendiri. Jadi tak heran, begitu Fawnia mendengar kondisi ibu mertuanya yang sedang kurang sehat, ia mendadak merasa khawatir yang berlebih.
Fawnia sedikit mematung ketika hendak merapikan beberapa skincare di meja riasnya. Matanya tertegun, fokusnya tertuju pada satu titik dimana ia meletakkan asal empat atau lima benda pipih yang tadi sempat ia beli di apotek dekat salon. Test pack. Iya, ucapan Nanda tentang kemungkinan bahwa dirinya hamil mengusik benaknya hingga tanpa sadar ia melangkahkan kaki ke apotek untuk membeli beberapa alat uji kehamilan tersebut.
Selama ini ia termasuk wanita dengan siklus tamu bulanannya tidak teratur. Kadang dua bulan sekali bahkan tak jarang tiga bulan sekali. Karena itu ia tak bisa menentukan masa suburnya. Apalagi selama ini ia dan Dimitri tak pernah menggunakan pengaman saat melakukan hubungan suami istri.
Fawnia menarik nafas panjang ketika bayangan Dimitri yang mencumbunya dengan mesra sepintas lewat di pikirannya. Bagaimana mungkin hubungan tersebut bisa membuahkan bayi jika prosesnya saja tak dilakukan penuh cinta. Tentu kasihan sekali jika benar-benar akan ada bayi tak berdosa di antara mereka.
Kembali menatap meja rias, Fawnia bergegas memasukkan testpack tersebut kedalam tas kecil yang udah ia sampirkan di pundak kanannya. Nanti saja pikirkan tentang kemungkinan ia hamil atau tidak, toh itu tak lagi penting saat Dimitri sudah mencampakkannya. Sekarang yang terpenting hanya satu, kesehatan Wulandari. Ibu mertua kesayangan Fawnia.
"Sampun (*sudah) Pa, yuk berangkat." ajak Fawnia ketika ia sudah rapi.
"Sudah kabari suamimu nduk?" tanya sang ayah mertua.
"Sudah Pa."
Fawnia tak berbohong kali ini. Beberapa saat yang lalu ia sudah mengirimkan pesan pada Dimitri, mengabarkan tentang kepergiannya untuk menginap di rumah mertuanya. Juga tentang keadaan ibu Dimitri yang kurang sehat. Memang pesannya belum terbaca, karena ponsel Dimitri belum aktif. Tapi ia yakin Dimitri akan membacanya nanti.
"Ya sudah ayo berangkat. Sini biar Papa aja yang kunci pintu sama pagar." ayah mertua Fawnia mengulurkan tangan meminta kunci yang digenggam Fawnia.
Setelah menyerahkan kunci tersebut pada ayah mertuanya, fawnia berjalan mendahului dan menunggu di depan teras.
"Eh sebentar… sebentar Nia, kamu baik-baik saja kan dengan Dimitri? Gak lagi berantem atau apa kan?" celetuk Sudirman tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Fawnia terhenyak, namun segera tersenyum dan memasang mimik wajah biasa saja demi menutupi rasa terkejutnya. "Baik-baik aja Pa. Kenapa?"
"Kenapa tadi kamu keluar dari kamar tamu? Bukannya dari kamar kalian sendiri?"
***