Sudah empat hari ini Dimitri merasakan ada yang janggal dengan emosinya. Beberapa kali ia diterpa kesedihan dan rasa bersalah yang mendalam, namun tak lama kemudian ia mengalami hal yang sebaliknya. Dimitri hanya menarik satu kesimpulan, perpisahannya dengan Fawnia lah yang menjadi penyebab dari naik turunnya emosi yang dirasakan. Mungkin ini hanya sesaat karena ia harus beradaptasi lagi dengan situasi yang baru.
Meskipun ia masih tinggal satu atap dengan Fawnia, namun perempuan itu tak ubahnya seperti robot yang kaku dan pendiam. Padahal sebelumnya Fawnia lah yang sering mengoceh dan menyebutnya seperti robot hidup. Tapi kini semuanya berbalik dari keadaan sebelumnya.
Seperti semalam ketika Dimitri mendapati Fawnia pulang setelahnya dari salon. Lagi-lagi Fawnia melakukan aksi irit bicara selain hanya mengucapkan salam ketika memasuki rumah atau ketika meminta ijin untuk masuk ke kamarnya. Iya, Fawnia meminta ijin pada Dimitri untuk memasuki kamar yang sebenernya juga kamarnya.
"Hmm.. bang, aku ijin masuk kamar. Sepertinya ada pakaianku yang tertinggal." ucap Fawnia membuat Dimitri yang sedang menyesap kopi melongo melihatnya.
Dimitri mengambil nafas panjang. "Masuk aja Nia, itu kamarmu juga."
"Bukan lagi bang." jawab Fawnia masih menundukkan pandangan.
"Kalau kamu enggan menganggapku mantan suami, bisa kan menganggapku sebagai Abang. Seperti Fauzan dan Fauzi."
"Beda bang, mereka Abang kandungku. Sedangkan Abang..."
"Oke.. oke.. aku paham." Dimitri memejamkan mata dramatis. Satu tangannya bergerak-gerak memberi isyarat pada Fawnia untuk bebas masuk ke kamar dan mengambil barangnya yang tertinggal.
Tak sampai sepuluh menit, Fawnia sudah keluar lagi dari kamar mereka dengan membawa beberapa dress mini yang biasanya ia gunakan ketika hanya berdua dengan Dimitri. Dulu.. sebelum Dimitri menalak cerai dirinya.
Dimitri melirik sekilas pada Fawnia yang berjalan pelan mendekatinya. Satu tangannya ia sembunyikan di belakang punggung untuk menyembunyikan mini dress tersebut, sedangkan tangan kanannya terulur pada Dimitri yang masih duduk di sebelah meja makan.
"Aku rasa ini harus aku kembalikan ke Abang."
Dimitri mengernyitkan dahi saat melihat kotak kayu berukuran kecil dengan ukiran huruf D dan F diatasnya. Ia hafal betul itu adalah kotak cincin yang ia berikan pada Fawnia saat meminangnya dulu. Lelaki itu menyandarkan punggungnya ke belakang, tak habis pikir apa lagi yang akan dilakukan oleh mantan istrinya ini.
"Ta- tapi itu punya kamu Nia."
"Sekarang bukan lagi bang." putus Fawnia cepat.
"Ta-... Faw-.." kalimat Dimitri terputus karena Fawnia gegas meninggalkannya sendirian untuk masuk ke kamar tamu yang beberapa hari ini ditempatinya.
Merasa diabaikan oleh Fawnia selama beberapa hari ini ternyata bisa membuat seorang Dimitri gusar. Beberapa kali ia terjaga dari tidur malamnya hanya untuk memeriksa bahwa Fawnia bisa nyenyak tidur sendirian di kamar sebelah. Bagaimana tidak, selama dua tahun menikah, yang Dimitri tau satu kebiasaan Fawnia adalah selalu menggenggam tangannya ketika beranjak tidur. Tapi kini kan…
"Pak? Pak Dimitri melamun?" suara Wijat— office boy di kantor Dimitri menarik pria itu dari lamun panjangnya mengenai Fawnia.
Ck..
Dimitri menggelengkan kepalanya pelan. Kenapa harus Fawnia lagi yang memenuhi isi kepalanya?
"Iya, kenapa Jat?"
"Ini manisan yang bapak pesan tadi. Dua bungkus dengan sambal yang sudah dipisah."
Hampir saja Dimitri lupa kalau tadi ia memesan manisan salak dan mangga yang banyak ia lihat di deretan ruko dekat dengan kantornya. Entah kenapa sejak kemarin ia sangat ingin mencecap perpaduan rasa manis dan asam dari olahan buah tersebut. Hal yang hampir tak pernah ia lakukan sebelumnya.
Dimitri mengangguk. "Letakkan saja di meja situ, terima kasih banyak Wijat."
Setelah Wijat keluar dari ruangannya baru ia membuka kemasan sterofoam yang membungkus manisan tersebut. Tak sabar, jemari nya langsung mengambil sepotong salak dan memasukkannya dalam mulut. Tanpa menghiraukan adanya garpu kecil yang sudah tersedia di bagian penutupnya.
Biasanya tengah hari seperti ini, Dimitri akan menghabiskan waktu istirahat siangnya dengan Nola. Entah untuk bersantap siang di cafe dekat kantor atau di restoran Padang yang beberapa kali ini menjadi favorit mereka berdua. Tapi hari ini Dimitri terpaksa melewatkan jam makan siangnya seorang diri karena Nola izin tidak masuk kantor karena Vino- putranya, sedang demam sejak semalam. Membayangkan Nola yang keibuan sedang merawat buah hatinya, membuat sudut bibir Dimitri tertarik sedikit.
Ahh…. membayangkan hal tersebut membuat Dimitri merindukan sahabat dekatnya itu lagi. Padahal baru beberapa menit lalu mereka saling bertukar kabar lewat pesan singkat. Nola memberitahu perihal balita semata wayangnya yang sedang rewel karena diserang demam, sedangkan Dimitri menjanjikan kehadirannya nanti sore sepulang kerja untuk sekedar menjenguk mereka berdua di apartment Nola di bilangan Manyar Surabaya.
***
“Kamu beneran gak curiga sama sekali sama bang Dim?” tanya Nanda lagi-lagi mengusik konsentrasi Fawnia yang sedang fokus membuat konten video untuk diunggah di media social milik Dimaya salon miliknya.
“Kenapa harus curiga?”
“Heii, anda. Kamu gak sadar jaman-jaman sekarang banyak pelakor bertebaran demi merusak ketenangan rumah tangga kita.” lanjut Nanda masih menggebu-gebu.
“Maksudmu bang Dim ada main sama wanita lain gitu?” Fawnia mendelik tak suka. Meskipun Dimitri belum bisa jatuh cinta padanya, tapi ia tau Dimitri adalah lelaki baik-baik yang tidak mungkin melakukan hal serendah itu.
“Ya.. siapa tau kan Faw? Kamu gak pernah ke kantornya, gak tau siapa aja temennya, gak tau kegiatannya pulang malam itu karena lembur kantor atau lembur karena hal lain.” Nanda mencebik heran. Entah kenapa sahabatnya ini masih saja membela pria yang sudah menjadi mantan suaminya itu.
“Aku percaya bang Dim gak akan melakukan hal semunafik itu Nda, dia pria baik-baik yang menghormati wanita.”
“Ckk… bela aja teroosss.”
Fawnia hanya memutar bola matanya jengah dengan segala cibiran dari Nanda. Memang ia merasa sedikit lega setelah menceritakan semua yang menjadi ganjalan hatinya pada Nanda. Tapi lagaknya, Nanda lah yang tak terima dengan perlakuan Dimitri pada Fawnia yang dengan ringan hati menceraikan sang istri.
“Mungkin emang bukan jodohnya Nda, masalah hati kan gak bisa dipaksakan.”
“Terus maksudnya, anda yakin akan baik-baik saja gitu, menanggung sakit hati karena ditinggal pas lagi sayang-sayangnya? Heyyy… wake up dong Fawnia.” Nanda manyun makin menjadi-jadi.
“Waktu yang akan menyembuhkan semuanya Nda.”
“Astogeee Fawnia, kapan sih kamu mau lebih terbuka dengan keadaan? Garang dikit dong ah sama laki. Curiga dikit gitu… masa gak ada angin gak ada hujan, mendadak minta pisah.” Nanda mencubit gemas kedua pipi Fawnia.
“Nggak mendadak kalau kata bang Dim. Dia udah pikirkan ini jauh-jauh hari. Toh dari awal pernikahan kami juga sama-sama patuh karena terpaksa.”
“Terus sekarang kamu mau gimana? Sampai kapan mau tinggal satu rumah sama pria kaleng-kaleng kayak dia?”
“Hussh … dijaga mulutnya, bang Dim bukan pria kaleng-kaleng.”
“Iya deh iya, laki kardus aja kalau gitu.” balas Nanda masih dengan ekspresi sebal.
Fawnia mengambil nafas panjang, tak ingin ambil pusing dengan semua cibiran Nanda untuk mantan suaminya. Mematikan tabletnya karena sudah berhasil mengunggah beberapa video promosi tentang salonnya. Fawnia menopang dagu dengan kedua tangannya di atas meja kerja.
“Aku stay di rumah itu sampai siap untuk kembali pulang ke rumah bapak. Nanti bang Dim sendiri yang akan antar aku ke bapak.”
“Kapan?” desak Nanda.
“Entah, kata bang Dim dia akan mengurus berkas perceraian kami dulu di pengadilan agama. Lagi pula aku juga belum memberitahu ke keluarga tentang perpisahan kami ini. Terutama ke bang Fauzi dan Fauzan.”
Fawnia sedikit gelisah jika mengingat kedua kakak laki-laki yang selalu memanjakannya itu. Entah bagaimana respon mereka berdua jika tau rumah tangga adik kesayangannya hancur di tengah jalan. Fauzi adalah kakak pertamanya yang selisih delapan tahun dari Fawnia. Sedangkan Fauzan adalah adalah kakak kedua yang tujuh tahun di atas usia Fawnia, sepantaran dengan Dimitri. Bahkan Fauzan dan Dimitri adalah teman dekat ketika kuliah dulu.
“Ya udah kasih tau aja ke bang Fauzan dulu, siapa tau dia bisa wakilin aku ngasih bogem mentah buat Dimitri.”
“Nandaaa…” Fawnia melirik sinis pada sahabatnya yang sedang mengunyah kacang rebus di meja kerjanya.
“Kenapa? Khawatir kalau bang Dim-mu itu bakalan gak selamat kalau berhadapan dengan bang Fauzan?”
Fawnia menarik kursi disebelah Nanda. “Bantu cariin alasan dong, biar bang Fauzan ngerti sama keputusan kami ini.”
Fauzan adalah kakak Fawnia yang lebih tempramen jika dibandingkan dengan Fauzi si sulung yang dikenal penyabar. Fauzan bahkan tak kenal takut jika berhadapan dengan hal-hal yang menyangkut kebahagiaan adik bungsu kesayangannya.
“Keputusan kami?” cibir Nanda lagi. “Keputusan si Dimitri aja kali.”
“Tapi kan aku setuju.” potong Fawnia.
“Kamunya aja yang terlalu penurut marimarrrr!!!” sembur Nanda tak tahan lagi dengan tingkah Fawnia yang selalu menomorsatukan Dimitri.
“Dah ah, curhat sama kamu salah mulu Nda.” Fawnia berdiri hendak meninggalkan Nanda yang masih duduk santai di kursi putarnya.
“Ya kamunya juga sih yang apa-apa terlalu lembek sama laki, jadi gemes kan aku. Dasar semok.” Nanda menepuk pantát Fawnia yang melintas di depannya.
“Duuh, tangannya ya tolong…” Fawnia melotot pada Nanda yang malah terkekeh lebar melihat raut wajah tak terima dari Fawnia.
“Emang semok kan?” saut Nanda tanpa rasa berdosa “Eh tapi tunggu deh Faw, kalau dilihat-lihat emang kamu agak semok deh belakangan ini. Agak sintal berisi gitu di beberapa bagian, di sini.. sama di sini.” Nanda mengangkat telunjuknya ke arah dadá dan bagian belakang tubuh Fawnia.
“Matamu aja yang agak kabur Nda.” saut Fawnia tanpa menoleh. Ia berjalan pelan menuju balkon kecil di sebelah ruangannya, membiarkan angin sore masuk dan menyapa wajahnya yang sedikit murung tiap kali bayangan Dimitri melintas dalam benaknya.
“Beneran Faw, kamu sedikit beda. Wajahmu lebih glowing alami meski agak tirus, dadá kamu makin montok, b****g kamu makin semok. Jangan-jangan kamu…” Nanda memicingkan mata penuh curiga pada Fawnia.
“Jangan-jangan apa? Mulai sakit jiwa gitu?” sembur Fawnia merasa jengah.
“Bukan Faw Faw…”
“Terus?” Fawnia melirik sedikit pada Nanda yang berjalan mendekatinya.
“Kamu lagi isi ya?”
***