“Oh, yang ini ‘kan, Mbak?” Nara beranjak dari kursinya, menunjukkan layar ponselnya yang sudah menampilkan satu profil.
Yuna mengangguk antusias. Senyumannya mengembang. “Wah gila, kemarin banget baru kelar proyek di dekat rumah gue.”
“Apaan, Mbak?” Reygan yang baru saja hadir membawa secangkir kopi turut serta bergabung dengan dua seniornya. Menelisik ke arah layar ponsel Nara. “Oh direktur Sagra Group,” ucapnya. Setelahnya berjalan ke arah kursinya.
“Lo tahu, Rey?”
Reygan menggeleng tak acuh. “Tahu dikit. Pak Ragha pernah jadi pembicara di seminar kampus. Keren sih, masih muda udah sukses begitu. Lah gue?”
Nara berdecak sebal, kembali ke kursinya. “Itu sih salah lo, Rey. Siapa suruh nunda skripsian?”
Ya, benar. Reygan bahkan tidak berniat menyangkal kalimat Nara, karena memang begitu adanya. Hanya saja, “gue punya alasan kali, Mbak.”
“Ehm, iyain. Biar cepat,” sahut Yuna membuat Reygan memutar bola matanya sebal, sementara Nara tertawa pelan.
“Eh, by the way, Mbak, kenapa Mbak nanyain direktur Sagra Group? Nggak mungkin Vieena ada kerja sama, ‘kan?”
Kalimat Nara langsung disambut desahan panjang. “Ya jelas bukanlah, Mbak. Kagak nyambung kaliii.” Itu bukan berasal dari Yuna, Reygan yang menyahut sembari memasang wajah menyebalkan. Kali ini Nara bukan hanya berdecak, tapi juga melempar kulit kacang yang isinya sudah sampai di perut.
“Woy santai kali. Pantesan Mbak Nara jomblo merana, kasar begini, siapa yang mau?”
“Sialan anak kecil!”
Bungkusan kacang yang hampir dimakan separuhnya itu hampir saja mengenai wajah meledek Reygan, jika saja Yuna tidak sigap menahan tangan Nara. “Apaan sih? Ribut kayak anak kemarin sore,” ujarnya garang. Melotot tajam pada Nara yang mendesah kecewa. Sedangkan Reygan, seperti biasa, memasang wajah meledek yang super menyebalkan.
“Lo juga Rey!” Nah, kali ini Nara yang memasang wajah meledek. “Nggak usah kelewatan, ingat Nara ini senior lo, nggak sopan!”
Oke. Sepertinya pertengkaran pagi ini akan segera berakhir karena Yuna sudah memasang tanduk.
“Pagi.”
Perhatian ketiganya beralih begitu mendapati Adara yang baru tiba. Yuna langsung melupakan kemarahannya. “Ehm, ini dia yang sok miskin,” ujarnya. Kedua tangannya sudah terlipat di depan d**a. Memberi tatapan menelisik, membuat Adara keheranan.
“Aku?” tanyanya sembari menunjuk dirinya sendiri. Nara dan Reygan juga turut kebingungan.
“Menurut lo siapa lagi? Ya lo lah, Dara.”
“Mbak Dara kenapa, Mbak?” Nara yang memang memiliki tingkat ingin tahu tinggi sudah kembali beranjak dari kursinya.
“Dara, kenapa nggak pernah cerita kalau suami lo itu Ragha Ganendra, yang punya Sagra Group?”
Adara sukses membulatkan matanya. Terkejut, tentu saja. Adara hampir saja menyangkal jika saja tidak mengingat pertemuan Yuna dengan Ragha di hari kemarin.
“Walah … jadi ini alasan Mbak Yuna nyuruh-nyuruh cari info,” ujar Nara. Selanjutnya tatapannya beralih pada Adara, memasang senyuman manis dengan sepasang mata berbinar. “Nggak nyangka ada chaebol-nim di tim kita. Sekali-kali boleh dong, Mbak kenalin sama suami gantengnya.”
Hah … oke. Adara mulai tidak menyukai pembicaraan ini. Hanya tersenyum tipis untuk sekadar formalitas dalam menanggapi percakapan. Adara langsung menduduki kursi kerjanya. Satu bentuk penolakan untuk melanjutkan pembicaraan. Namun nampaknya tiga rekannya adalah tipe manusia tidak peka, atau lebih tepatnya berwajah tebal.
“Yang baru bikin perumahan di jalan Akasia, ‘kan?” tanya Yuna memastikan. Sebelah tangannya masih sibuk menscroll layar ponselnya. “Gila sih, tanah di sana mahal banget per meternya, nah suami lo malah bikin perumahan, tipe 54 lagi.”
“Mbak Dara ngapain kerja sih? Udah jadi istri direktur, tinggal selonjoran aja sambil nunggu duit.”
Ya Tuhan. Adara benar-benar keberatan untuk pembicaraan semacam ini.
“Lihat nih, lulusan terbaik magister real estate. Bahkan suami lo nyelesein kuliah lebih cepat dari yang seharusnya.” Yuna masih sibuk membaca profil Ragha, sesekali berdecak kagum sampai geleng-geleng kepala.
“Ganteng banget lagi orangnya, wibawanya dapet banget. Kalau model Vieena macem begini, gue nggak perlu repot-repot touch up.” Komentar selanjutnya berasal dari mulut Nara. “Keringetan makin ganteng kayaknya,” lanjutnya membuat telinga Adara panas.
“Iya, Ra. Gue ada ketemu orangnya kemarin.”
“Seriusan, Mbak? Gimana sosok Ragha di lihat secara langsung?”
“Super memang. Kualitas tingkat tinggi.”
Oke … sepertinya dua perempuan itu mulai hanyut dalam pembicaraan sampai melupakan sosok istri si direktur yang nampak begitu jelas di sana.
“Ck, Mbak, lo berdua sadar nggak sih, lagi ngomongin Pak Ragha di depan istrinya?” Suara Reygan membuat dua perempuan itu sadar. Tertawa bersamaan begitu menyadari satu kesalahan.
Ya, Adara memang nampak tidak bereaksi berlebihan. Tapi siapa tahu ‘kan, perempuan itu sudah menahan amarah atau rasa cemburunya, karena sang suami menjadi bahan pembicaraan perempuan lain?
“Hehe … sori, Dara. Kelepasan,” ucap Yuna yang diangguki oleh Nara. Adara hanya tersenyum tipis.
Sudah terlampau biasa mendengarkan pujian serta kalimat-kalimat kekaguman untuk Ragha. Cemburu? Jelas. Bagaimanapun, Adara adalah istri sah Ragha, yang mencintai lelaki itu dengan sepenuh hati. Walaupun nampaknya hubungan keduanya tidak terlalu baik. Pernikahan mereka tidak berjalan sesuai dengan yang seharusnya.
Dan sebenarnya, Adara merasa tidak suka saat kalimat pujian itu terlontar untuk sang suami. Adara bukan membenci, hanya saja merasa tidak pantas. Ya, Adara merasa dirinya begitu rendah, bukan sosok yang seharusnya mendampingi Ragha. Lelaki itu, suaminya, memiliki kelebihan yang terlampau banyak. Wajar jika banyak orang di luar sana, bahkan rekan satu timnya yang mengagumi Ragha.
Terkadang Adara berpikir, apa alasan Ragha memilihnya? Sedangkan masih banyak perempuan di luar sana yang lebih layak mendampingi sosok sempurna suaminya.
Salah satunya, Shaqueena Arden, perempuan dengan segudang prestasi yang sebelumnya menduduki peran sebagai tunangan Ragha. Si putri pemilik hotel berbintang dengan kekayaan melimpah, pendidikan mumpuni, serta visual yang tidak bisa diragukan lagi.
Jika disandingkan, Adara hanyalah perempuan mungil yang tidak ada apa-apanya. Hanya memiliki keberuntungan karena Ragha memilihnya, menjadikan sebagai istri yang akan mengandung para penerus. Ya, itu berlaku jika saja Ragha mencintainya. Bukan menjadikannya sebagai sosok yang hanya terlihat saat Ragha membutuhkan pelampiasan.
Miris. Tapi memang itu yang Adara rasakan selama kehidupan pernikahannya bersama Ragha.
“Dara, lo melamun?”
Adara tersentak begitu Yuna menepuk bahunya beberapa kali.
“Maaf, Mbak.”
Yuna mengangguk paham. “Yuk, Frey udah sampai.”
Hanya mengangguk sebagai respon. Adara segera beranjak, mengikuti Yuna menuju studio foto yang terletak di ujung gedung. Menemui sang model yang saat ini sedang berbincang dengan Nara.
Adara langsung melakukan pekerjaannya sesuai permintaan Rieena pekan lalu. Jika ia yang akan memberikan pengarahan untuk pemotretan kali ini. Karena memang selama magang, Adara sudah banyak mempelajari pekerjaan sebagai fashion stylist, untuk mendampingi Rieena. Adara juga mendapat skor tinggi untuk seleranya.
Kali ini termasuk tantangan baru. Jika biasanya ia hanya mendampingi atau sekadar mengikuti instruksi Rieena, kali ini Rieena mempercayakan jalannya pemotretan ke tangannya. Menjadi satu tanggung jawab tersendiri yang membuatnya lebih tertantang.
Tidak ada perdebatan berarti selama pemotretan, hanya Frey yang sesekali mengeluh, namun masih bisa diatasi oleh tim Vieena dan tim dari sang model. Hanya saja, sampai di pose ketiga untuk look terakhir, Frey mulai marah-marah protes. Adara yang meminta Frey untuk melompat dengan sebelah kaki terangkat, wajah menghadap kamera sembari tersenyum, menampilkan wajah riang yang bahagia. Hal itu tidak diterima dengan baik oleh Frey. Model muda itu bahkan sesekali mengumpat dan mengatakan Adara tidak kompeten dalam pekerjaan. Sampai akhirnya pemotretan harus dihentikan lantaran mood buruk itu tengah menguasai sang model.
Adara memijat pelipisnya, menghela napas beberapa kali. Mencoba menetralkan hal buruk serta kalimat-kalimat tidak menyenangkan yang terlontar begitu saja dari mulut si model muda itu. Entahlah, Adara merasa sudah melakukan tugasnya dengan baik. Tapi malah tidak diterima dan justru telinganya harus kembali mendengar umpatan tidak menyenangkan itu.
“Lo udah baca profil gue, ‘kan? Kok bisa posenya jadi kebanyakan senyum gini? Kalau lo udah pelajari profil gue secara lengkap seharusnya lo nggak kasih arahan begini. Gimana sih? Katanya lo megang posisi fashion stylist di sini, masa begini aja nggak bisa. Lo bukan anak magang, ‘kan?”
Kalimat itu terus berdengung di telinga. Merambat naik memenuhi kepala dan berimbas pada rasa tidak percaya diri Adara yang kembali berbaris paling depan. Lagi dan lagi, hatinya merasa begitu sakit saat ada orang yang meragukan kemampuannya.
Dan pada kenyataannya, Adara merasa dirinya memanglah pantas menerima segala cercaan. Seharusnya Adara tidak terlalu memikirkan kalimat yang terlontar dari sang model, karena memang Adara menduduki posisi ini hanya sebagai pengganti. Aluna keluar dari pekerjaan sehingga kehadiran Adara untuk mengisi kekosongan. Bukan karena kemampuannya yang baik, bukan karena prestasinya, bukan karena dirinya layak berada di posisi ini.
Sama halnya dengan posisinya sebagai istri Ragha. Bukan karena lelaki itu mencintainya, tapi karena kesalahan itu terjadi pada keduanya dan Ragha harus bertanggung jawab. Jika saja saat itu keduanya tidak membuat kesalahan, tentu saja Adara tidak akan menduduki posisi sebagai istri Ragha.
Adara menangkup wajahnya begitu air matanya menetes deras. Tidak mampu lagi menahan semua rasa yang bergejolak dalam diri, yang kesemuanya membuatnya semakin kecil, tidak berarti.
“Dara, are you okey?”
Yuna menepuk bahu Adara yang bergetar. Adara diam untuk beberapa saat. Setelahnya mengusap air matanya, mencoba terlihat baik-baik saja. Bahkan menunjukkan senyuman manisnya. Walaupun Yuna bisa melihat jelas mata Adara yang memerah.
“Maaf, Mbak,” ucapnya pelan. Kembali merasa bodoh karena melakukan kesalahan fatal padahal Adara sudah membaca berkali-kali profil Freya Arunika. Perempuan itu sangat minim ekspresi, lebih pada kesan jutek dan menantang. Bukan tipe perempuan ceria yang akan banyak berekspresi ketika jatuh cinta.
Ya, ini kesalahan Adara. Seharusnya ia tidak salah mengarahkan untuk look terakhir. Seharusnya Adara lebih teliti dan detail dalam pengarahannya. Sehingga tidak menimbulkan masalah semacam ini.
“It’s ok, Dara. Manusiawi, semua orang pernah salah,” ucap Yuna lembut. Sebelah tangannya mengusap bahu Adara beberapa kali. “Tapi masalahnya di sini, kita satu tim. Kalau ada salah satu yang nggak fokus atau bikin kesalahan, ya semua bakal kena imbasnya. Jadi tolong, kalau ada masalah, lo bisa ceritain sama gue.”
Adara menggeleng beberapa kali. Mencoba tegar di tengah pergolakan hatinya yang membuatnya semakin merasa tidak layak. “Aku baik-baik aja.”
“Beneran? Masalah di rumah mungkin, beban banget buat lo?”
Adara kembali menggeleng. Tidak mungkin menceritakan apa yang Adara rasakan selama ini, dalam hubungan pernikahannya dan hubungannya yang tidak pernah baik dengan ibu mertua. Jika Adara sampai buka mulut, suatu saat nanti, Adara akan kembali disalahkan karena dianggap mengumbar aib keluarga.
“Oke kalau lo nggak mau berbagi sama gue. Tapi tolong, belajar lagi jangan mencampuradukkan permasalahan di rumah sama di kantor, ya?”
Adara mengiyakan itu.
“Gue bakalan ajuin cuti buat lo, tiga hari cukup, ‘kan?”
“Mbak, aku ….”
“Gue tahu lo lagi ada masalah, muka lo kusut beberapa hari ini, nggak semangat juga. Dan, ya lo tahu launching produk ini nggak cuma soal lo, soal Frey, atau tim fashion. Tapi soal seluruhnya, soal Vieena. Jangan paksain, lo butuh istirahat, lo butuh nenangin diri.”
Yuna menepuk bahu Adara beberapa kali sebelum pergi, memberi waktu untuk Adara meluapkan rasa tidak menyenangkan itu. Benar saja, air matanya langsung meluncur deras begitu punggung Yuna menghilang di balik pintu. Menangis sejadi-jadi sebagai bentuk pelampiasan rasa sakit yang terus menggerogoti isi hati.
Adara sudah berusaha semampunya. Menekan kuat perasaan tidak menyenangkan itu. Tapi sayangnya, perasaan buruk yang ia dapat di rumah selalu berhasil mengudara dan membuatnya nampak bodoh berkali-kali.
Adara ingin berteriak, menyalahkan keadaan, menyalahkan keberadaan Ragha di hidupnya. Namun semua itu bukanlah haknya. Karena satu-satunya yang bersalah di sini adalah dirinya sendiri. Ia yang terlalu bodoh, ia yang terlalu percaya, ia yang tidak sadar jika sudah terkubur terlalu dalam. Dan Adara membenci dirinya yang seperti ini.
***