4. Satu Permintaan Ragha

1282 Kata
Adara tidak ingat sudah berapa banyak waktu yang digunakan untuk menangis. Setelah pergi dari acara makan malam di rumah Mama tadi, Adara langsung mencari taksi untuk mengantar pulang. Begitu sampai di rumah, tidak ada hal lain yang ia lakukan. Bergegas masuk kamar, berendam sembari meluapkan segala rasa tidak menyenangkan itu. Kacau. Bukan hanya penampilannya, tapi juga perasaannya. Rasa sakit itu kian menggerogoti isi hati, membuatnya tak yakin, bisa melanjutkan hari-hari ke depan. Karena beban rasa sakit itu kian banyak, menumpuk, semakin berat. Adara menghela napas. Memperhatikan kondisi wajahnya yang tidak lebih baik dari sebelumnya. Sama kacaunya, atau bahkan lebih kacau. Mata bengkak, pipi lembab, hidung memerah, sampai pada pernapasan yang sesak. Karena nyatanya menghela napas berkali-kali pun tidak lagi berguna. Sesak itu terus mengganjal paru. Sepasang matanya membola begitu mendapati keberadaan Ragha, duduk diam di sisi ranjangnya. Masih mengenakan setelah kerja, hanya saja tidak lagi mengenakan jas dan dasinya. Sedang menatap penuh arti pada Adara yang baru saja keluar dari kamar mandi. Lelaki itu beranjak, menghampiri Adara yang masih mematung di depan pintu. Karena nampaknya sang istri tidak lagi memiliki tenaga untuk sekadar berjalan mendekatinya. Atau mungkin Adara belum siap untuk menatap sepasang mata tajam itu, dengan kondisi menyedihkan seperti saat ini. Hal pertama yang Ragha lakukan adalah mengusap mata bengkak Adara. Membiarkan jemarinya menyusuri hawa dingin, karena memang Adara baru saja mandi. Adara tentu menolak, mengalihkan wajahnya ke arah lain. Tidak ingin mendapati tatapan dari sang suami. Ragha mendesah kecewa, tapi tidak berhenti. Terus menyusuri wajah cantik istrinya yang terlihat menyedihkan. "Need me?" bisiknya pelan, sebelah tangannya menepuk d**a bidangnya. Memberi isyarat untuk Adara masuk ke pelukannya. Detik berikutnya, getaran di bahu mulai terasa, diikuti suara isakan yang sama menyakitkan. Ragha langsung menarik Adara ke pelukannya. Memberi waktu lebih untuk sang istri meluapkan beragam hal tidak menyenangkan itu. Ragha hanya bertugas memeluk sembari mengusap bahunya lembut, menyalurkan ketenangan dan rasa aman. "Maaf," ucap Adara begitu tangisannya mulai memelan. Tapi enggan memisahkan diri dari pelukan Ragha. "Kalau aja aku nggak bodoh saat itu, aku nggak akan masuk dalam kehidupan Mas. Mama ... nggak akan membenci aku seperti sekarang." Ragha memejamkan mata, menghela napas beberapa kali. Terganggu, jelas saja. Ragha tidak pernah menyukai pembicaraan semacam ini. "Maaf, karena kehadiran aku rencana yang udah Mama susun dengan begitu rapi harus gagal terlaksana. Kalau aja aku ...." Ucapan Adara terhenti begitu Ragha membuat jarak. Tatapannya tajam, menusuk. Cukup membuat rasa takut itu hadir, namun sayangnya Adara enggan menuruti siratan penolakan itu. "Aku bukan istri yang baik untuk Mas, 'kan?" Ragha masih mempertahankan tatapan yang sama. Kedua tangannya meremas bahu Adara, membuat si perempuan meringis sakit. "Aku nggak bisa jadi apa yang Mama harapkan. Aku nggak pantas dengan posisiku sekarang. Seharusnya memang aku nggak pernah datang dan menumpang seenaknya di sisi Mas. Seharusnya ak-aku ...." "Adara!" Mulutnya terkatup, rapat. Ragha memang jarang menggunakan nada tinggi dalam pembicaraan keduanya. Jika marah, Ragha hanya akan menyorotnya tajam setelahnya pergi tanpa berbicara. Dan satu hal lainnya, pengucapan nama 'Adara' itu adalah sebuah peringatan, ketidaksukaan Ragha atas pembicaraan yang Adara bawa. "Bisa kita hentikan pembicaraan ini?" tanyanya lirih, seolah menahan perasaan yang begitu menyiksa. "Ini udah malam, aku capek, dan aku tahu kamu juga butuh istirahat. Jadi berhenti di sini, sebelum pembicaraan kamu makin nggak jelas." Adara baru saja akan memprotes ketika Ragha kembali buka suara. "Aku akan keluar kalau kamu masih mau melanjutkan omong kosong ini." Wajah Ragha berubah datar, namun tatapannya sayu. Seolah dari tatapan itu, Ragha sedang memberitahukan perasaan yang sama menyiksa seperti yang Adara derita. Namun sayangnya, tidak bisa begitu saja terucap. "Aku keluar," ucapnya setelah menghabiskan beberapa waktu untuk menatap keseluruhan wajah Adara. Baru saja Ragha berbalik, Adara sudah meraih ujung kemejanya, seolah melarang Ragha untuk pergi. "Kenapa?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat. Adara terlihat ragu, menggigit bibir bawahnya dengan tatapan yang beralih ke sembarang tempat. Membuat Ragha tersenyum tipis. "Kalau kamu nggak ngomong juga aku akan keluar," pancing Ragha. Mencoba menarik keluar rasa gengsi Adara yang membumbung tinggi. Apa sesulit itu meminta sesuatu pada suami sendiri? Ya. Jawabannya, ya. Karena memang bagi Adara, sebagai seorang perempuan harus meminimalisir permintaan tolong dalam hal apapun. Apalagi jika memiliki suami seperti Ragha. Jangan sampai kepala itu membesar lantaran rasa bangga. Adara jelas tidak mau mengalah untuk hal satu ini. Juga satu hal lainnya, yang menjadi sumber keretakan hubungan mereka. Membuat hubungan dua tahun ini terasa hambar dan sia-sia. Adara tidak bisa seenaknya menyampaikan banyak hal sampai keluh kesahnya. Ia tidak bisa berbagi pada seseorang yang sebentar lagi akan menjadi orang lain di hidupnya. Orang yang selama ini menjadi sumber utama atas rasa sakit yang tidak berujung. Ragha tertawa pelan. Kembali membuat jarak yang lebih dekat di antara keduanya. Sebelah tangannya terulur, meraih dagu Adara lembut. Mengarahkan wajah itu agar menghadapnya. "Mas bisa temani aku tidur malam ini, begitukah?" Pipi Adara merona malu. Bagaimana bisa Ragha menangkapnya dengan begitu mudah? Ragha menyeringai mendapati wajah malu istrinya. Tidak habis pikir, kenapa Adara harus malu dengan permintaannya? Bukankah itu hal wajar? Keduanya adalah sepasang suami istri. Justru yang selama ini terjadi, keduanya berada di kamar berbeda, adalah hal teraneh dalam sebuah hubungan rumah tangga. Baiklah, baiklah. Memang sudah menjadi kodrat, laki-laki yang harus mengalah, harus memulai terlebih dahulu. Jika menunggu Adara, ya akan terlalu lama. Karena perempuan itu tentu kesulitan menurunkan gengsi. Ragha bergerak lebih dekat. Memaksa Adara untuk menatap matanya. Awalnya sulit, Adara jelas menolak. Tapi ada satu titik tertentu, tepat saat Adara menurut atau ... pasrah, lebih tepatnya. Membuat sepasang mata keduanya saling tatap, dalam arti yang tidak diketahui satu sama lain. Adara hanya mampu terpejam begitu Ragha menyematkan ciuman lembut di kening. Sebelah tangan mengusap pipinya lembut. Menyalurkan sensasi hangat yang menyapa dengan begitu sopan. "Boleh aku minta tolong satu hal sama kamu?" Pertanyaan pertama yang terlontar sesaat setelah Ragha menghentikan aksinya. Adara memperhatikan dalam diam. Mengagumi pahatan wajah sempurna suaminya. Masih belum percaya, jika lelaki yang sudah dikaguminya sejak saat itu, dalam waktu yang begitu lama, sekarang sudah menjadi suaminya. Menempati posisi nomor satu sebagai laki-laki yang paling ia cintai, juga paling ia benci. "Jangan pernah ragu untuk meminta tolong. Aku akan merasa keberadaanku jauh lebih berharga, jauh lebih kamu butuhkan saat kamu meminta tolong." Adara belum sempat memberi jawaban. Detik berikutnya, Ragha kembali mendekatkan wajahnya. Menyematkan satu hal biasa bagi sepasang suami istri, namun bisa Adara rasakan jika sudah sangat lama ia tidak merasakan hal semacam ini. Sampai ia lupa, kapan terakhir kali Ragha hadir di hidupnya dan memperlakukannya dengan begitu lembut. Seolah ia adalah barang berharga yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Adara tidak pernah mengharapkan banyak hal sejak mimpi indahnya dipatahkan. Menjadi kepingan-kepingan yang tidak berbentuk, tidak ada lagi gunanya. Ia hanya mencoba terus berdiri tegak di tengah terpaan badai yang kian mengerikan. Adara hanya berusaha terus menjadi pemenang sampai semua yang ia hadapi menemui titik akhirnya. Detik berikutnya, sepasang tangan Adara bergerak melingkari leher Ragha. Sekadar berpegangan saat Ragha membawanya ke dalam gendongan. Berjalan pelan ke arah ranjang tanpa menghentikan kegiatan itu. "Selamat malam, Dara," bisiknya lembut, disusul usapan sayang di kepala. Adara tidak bisa lagi menahan tangisannya. Memeluk Ragha erat, seolah mengadukan segala rasa tidak menyenangkan itu. Menyampaikan siratan rasa rindu, mengingat sudah terlampau lama Adara tidak mendengarkan bisikan selamat malam, yang sama. Keduanya sudah menjaga jarak terlalu jauh. Membuat rindu itu kian bertambah, menumpuk. Tanpa sadar sudah menggunung, mengisi hati masing-masing. Adara rindu setiap hal tentang Ragha. Tapi saat kerinduan itu membuncah, rasa takutnya selalu mengekor, membuatnya tidak bisa berlaku lebih. Bagaimanapun, Adara tidak boleh terbuai, dan berakhir memenangkan egonya. Adara harus tetap berdiri teguh, mengikuti isi hati. Sampai nanti, jika memang Tuhan sudah memberinya kesempatan untuk berlari dari semua ini, tidak akan ada hati yang terluka terlalu parah. Karena kebersamaan keduanya hanya sebatas kewajaran dalam ikatan pernikahan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN