32. Dua Pilihan

2067 Kata
Adara sudah merasa ada yang tidak baik-baik saja saat Ragha menjemputnya di kantor siang ini. Ragha juga menemui Vigo untuk menyampaikan izin atas nama Adara, dengan alasan yang tidak Adara ketahui. Selama perjalanan pun, Ragha tidak banyak bicara. Hanya terus fokus mengemudi sembari menggenggam sebelah tangan Adara erat. Raut cemas, gugup, bingung, juga sedih. Adara bisa menangkap gelagat Ragha yang seolah menyembunyikan sesuatu darinya, dan sebentar lagi sesuatu yang tersembunyi itu harus segera Adara ketahui. Kebingungan itu kian terasa jelas begitu mobil Ragha berhenti di sebuah parkiran rumah sakit. Adara tidak sempat menanyakan banyak hal karena Ragha seolah melarangnya untuk bertanya. Ragha hanya mengusap pipinya pelan sembari menatapnya dalam. Yang tentu saja tidak Adara ketahui makna di baliknya. Tapi begitu langkahnya sampai di salah satu ruangan di rumah sakit, juga pelukan erat Ibun yang menyambut dengan air mata menetes deras, Adara tahu, jika sesuatu yang tidak baik-baik saja itu ditujukan untuknya. Adara melihat ada Rhea yang juga sedang menangis. Mama yang hanya diam seperti biasa, namun tidak lagi menyorotnya tajam. Dhia yang menatapnya dengan sorot kepedihan yang nampak jelas. Juga Sana yang berdiri di sebelah Mama sembari mengusap bahunya. Adara linglung, tidak mampu membaca raut-raut wajah yang nampak di pandang mata. Ragha juga sejak tadi hanya berdiri diam di sampingnya. Sesekali mengusap kepalanya lembut. Seolah-olah memang Adara yang membutuhkan banyak dukungan saat ini. “Ibun, ada apa?” tanya Adara pelan, nyaris berbisik. Kedua tangannya melingkar, untuk membalas pelukan Ibun. Juga menepuk bahunya lembut guna menenangkan. Ibun yang masih menangis, melepaskan pelukannya. Tatapannya yang sendu menatap mata Adara yang nampak bingung, namun sudah menyimpan kristal-kristal halus di sana. Siap meluncur dalam sekali kedipan mata. “Kamu harus kuat, kamu nggak sendirian. Masih ada Ibun, ada Rhea, ada suami kamu di sini.” Bukannya menjawab, Ibun malah menyampaikan kalimat itu. Membuat Adara kian mengerti jika memang ia adalah satu-satunya yang sedang menerima kepedihan itu. Air matanya menetes. Adara mengangguk beberapa kali. Seolah menyanggupi apa yang Ibun katakan padanya. Berusaha terus berdiri tegak saat lagi-lagi badai itu hadir dan hampir membuatnya jatuh. Adara tidak membutuhkan banyak penjelasan lagi dalam situasi seperti ini. Ia sudah tahu, apa yang sedang terjadi. Setelahnya, tidak ada yang Adara lakukan selain kembali memeluk Ibun dan meluapkan kepedihannya. Menangis sepuasnya dengan harapan kepedihan itu akan segera pergi jauh-jauh darinya. Adara mengingat dengan sangat jelas jika ia sudah membenci ayahnya sejak usianya muda. Karena sejak saat itu, ia selalu melihat ayahnya yang menyakiti ibunya tanpa perasaan. Melukai hati baik sang ibu hanya karena hal-hal yang seharusnya tidak menjadi alasan untuk menyakiti. Ia kehilangan figur seorang ayah dalam hidupnya karena ayahnya yang hanya bisa bersikap buruk. Tidak pernah sekalipun menyematkan kenangan indah, yang mungkin akan terkenang saat Adara dewasa. Kepergian Ibu membuatnya tumbuh menjadi perempuan yang lebih tangguh. Adara menghabiskan banyak waktunya untuk mencari uang, untuk memenuhi kebutuhannya, untuk sekolahnya, untuk hidupnya. Ia tidak pernah memasukan Ayah dalam kehidupannya lagi setelah itu. Bertahun-tahun berjalan, Adara meyakini jika hatinya sudah mati. Keberadaan ayahnya sudah lama hilang dari hidupnya, dari pikirannya. Adara juga mengira, jika suatu hari nanti ia akan menerima kabar kepergian ayahnya, tidak ada hal lain yang akan ia lakukan selain menghela napas lega. Karena pada akhirnya, seseorang yang paling ia benci pergi juga. Itu berarti hidupnya akan baik-baik saja. Namun ternyata tidak demikian. Suatu hari itu tiba hari ini. Bukannya menghela napas lega atas kabar yang baru ia dapat, Adara justru menangis deras untuk meluapkan rasa tidak menyenangkan yang hinggap di hatinya. Sesak yang tidak terkira, membuat napasnya kian tidak teratur. Daripada merasa lega, Adara justru dilingkupi rasa bersalah. Yang membuatnya kian terhimpit dalam kenyataan menyakitkan yang membuatnya tidak berdaya. Tuhan belum mau mengusaikan semua ini. Justru menambah bebannya, menambah kepedihannya. Seakan-akan Adara masih sanggup untuk menerima semuanya. Seakan hatinya masih cukup kuat setelah dihancurkan hingga koyak. Adara tidak mampu mengucapkan banyak hal saat ini. Kata-katanya hilang entah ke mana. Ia hanya mampu diam, mencerna apa yang dilihatnya, sembari terus menguatkan hatinya agar bisa bertahan. Setidaknya sebentar saja. Hanya sebentar. Adara kira, selama ini ia membenci ayahnya dengan segala apa yang ia lihat. Tapi kenyataannya tidak begitu. Bukan Ayah yang ia benci, melainkan sikap buruknya. Jika ia membenci ayahnya, ia tidak akan merasa sedih saat Ayah pergi meninggalkannya. Tapi yang saat ini terjadi, ia justru menangis deras. Merasaka kepedihan yang membuatnya tidak lagi berdaya. Membuatnya merasakan dunia runtuh di bawah kakinya. *** Adara menghela napas panjang guna menghilangkan sesak yang menghimpit parunya. Meletakkan gelas berisi air putih ke atas meja makan di rumah Ibun. Setelah ayahnya dimakamkan tadi, Adara memang langsung pulang ke rumah Ibun bersama Ragha. Juga Mama, Dhia, dan Sana. Belum ada keinginan untuk kembali ke rumah Ragha atau Mama. Karena dalam kondisi hatinya yang terluka parah seperti saat ini, ia membutuhkan dukungan dari orang-orang yang menyayanginya. Dan Adara meyakini keberadaan Ibun dan Rhea mampu mengobati luka hatinya yang menganga lebar. Ragha hadir setelahnya. Menatap Adara yang masih diam, enggan menoleh ke arahnya. Memang sejak di rumah sakit tadi, sampai acara pemakaman Ayah selesai, Adara belum sekalipun mengeluarkan suaranya. Masih terus diam, dengan tatapan sayu yang nampak menyedihkan. “Mama udah pulang. Beliau minta maaf karena nggak bisa nemenin kamu lebih lama,” ucap Ragha. Sekadar memberi informasi jika Mama sudah tidak lagi di sini. Melirik Adara yang hanya mengangguk tanpa suara. Adara kembali menghela napas. Memutar tubuhnya dan hendak berjalan pergi meninggalkan Ragha. Namun Ragha buru-buru menahan sebelah tangan Adara. “Dara,” panggil Ragha. Adara bisa mendengar nada permohonan dari suaranya. Namun Adara yang terlalu lelah hanya melepaskan cekalan tangan Ragha di pergelangan tangannya. Menatapnya sejenak, setelahnya kembali berjalan tanpa kata. Meninggalkan Ragha yang hanya bisa menatap punggung ringkih Adara dengan tatapan nanar. Tanpa diberitahu lebih lanjut, ia tahu, Adara diam karena marah padanya. Entah alasan apapun yang akan ia sampaikan pada Adara, mengenai kondisi ayahnya selama ini, ia tetap bersalah. Karena tidak bisa mengatakan semuanya secara jujur pada Adara. Justru memilih untuk menyembunyikan kondisi Ayah dan bersikap seolah tidak ada apa-apa. Ragha memaklumi kemarahan Adara saat ini. Adara memang berhak untuk marah. Dan Ragha layak untuk menerima kemarahan. “Belum mau ngomong sama lo?” Rhea hadir setelahnya. Melirik Adara yang sudah menaiki tangga untuk menuju kamarnya di lantai dua. Setelahnya menoleh ke arah Ragha yang hanya menggeleng, nampak putus asa. Membuat Rhea turut menghela napas panjang. Entah bagaimana ia jadi turut merasa sesak dalam kondisi seperti ini. “Gue mau banget marah sebenarnya. Tapi gue juga nggak bisa nyalahin lo soal ini. Karena gimana pun, ini permintaan Ayah Dara.” Ragha mengangguk-angguk. Tersenyum miris. Entah langkah seperti apa yang akan ia ambil setelah ini. Adara jelas kecewa karena ia sudah menyembunyikan fakta ini sejak lama, rapat-rapat, sampai Adara tidak pernah berpikir jika lelaki yang paling dipercaya justru menyembunyikan hal besar di belakangnya. Ragha juga memikirkan jangka waktu yang Mama beri untuknya. Untuk melepas Adara setelah ayahnya menyerah. Dalam artian, menyerah untuk terus hidup. Ia belum menyiapkan apa-apa untuk menyambut hari ini tiba. Termasuk alasannya untuk menentang permintaan Mama. Jika saja Adara tetap berada di sisinya, menggenggam tangannya, juga mempercayakan segalanya padanya, Ragha tidak akan berpikir terlalu dalam. Namun yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Memang apa yang Ragha harapkan setelah ini? Adara tidak akan suka rela mempercayainya setelah apa yang terjadi. Adara jelas kembali membangun benteng pertahanannya, dengan tembok tinggi tepat di tengah-tengah. Membuat Ragha tidak bisa leluasa melihat apa yang Adara mau. “Setelah ini apa?” tanya Rhea. Ia tidak bisa terus diam melihat Adara yang kembali dihempaskan oleh kenyataan. Ragha menggeleng. “Gue juga nggak tahu, Rhe,” jawabnya lirih. Miris. Benar-benar miris. Rhea tidak pernah menyangka akan dihadapkan pada kisah cinta pelik antara dua manusia yang sama-sama dikenalnya. Menjadi saksi perjalanan mereka yang bahkan sampai detik ini belum bisa mengecap yang namanya bahagia. “Mama lo nggak suka Dara, ‘kan?” tanya Rhea. Tidak lagi berpura-pura tidak mengerti dengan apa yang jelas nampak di hadapannya. Ia mengetahui secara jelas, menatap dengan lekat. Dan ia tidak bisa membiarkan Adara kembali merasakan sakit yang sama, sakit yang ditorehkan oleh orang-orang yang sama pula. “Kalaupun lo berniat menyangkal, gue nggak akan pernah percaya. Adara emang pembohong, sama kayak lo. Tapi tanpa kalian bilang pun, gue punya mata untuk bisa lihat semuanya dengan jelas.” “Gue nggak pernah berniat menyangkal, apalagi membela Mama gue yang jelas salah. Sori karena nggak pernah bilang soal ini sama lo. Kalau gue jujur, mungkin Dara bakalan lebih kuat karena ada lo di samping dia.” Rhea berdecih sebal. “Udah basi, Gha. Lo mau minta maaf pun nggak akan mengubah apapun. Mama lo bakalan tetap nggak suka sama Dara. Gue cuma nggak bisa lihat teman yang sejak dulu gue bela-bela, terus kelihatan baik-baik aja padahal dia lagi nggak baik-baik aja. Gue pernah marah banget sama lo, Gha, waktu lo ke sini bawa Dara dalam keadaan menyedihkan. Tapi gue kasih lo kesempatan karena teman gue yang bego itu, bisa-bisanya masih suka sama lo padahal dia udah disakiti. Kalau gue yang jadi Dara, mungkin gue udah pergi jauh-jauh dari hidup lo sejak dulu.” Ragha tidak berniat mengucapkan kalimat untuk merespon. Ia hanya ingin mendengarkan kalimat-kalimat Rhea yang berisi luapan kebenciannya pada Ragha. “Gue kira lo bisa bikin Dara bahagia, tapi nyatanya? Kalau gue nggak ingat teman gue cinta mati sama lo, udah gue tonjok lo, Gha.” Setelahnya hanya ada keheningan yang menyelimuti. Rhea nampaknya sudah menyampaikan kalimat-kalimatnya secara penuh. Membuatnya kembali diam. Sementara Ragha sedang merenungi semua hal yang mengganggu. Termasuk permintaan Mama yang membuatnya terus kepikiran. “Mama kasih gue batas waktu sampai ayahnya Dara meninggal.” Pada akhirnya Ragha menyampaikannya pada Rhea. Jika Ibun sudah bisa menangkap hal itu tanpa Ragha bicara, Rhea justru dibuat terkejut lantaran kalimat itu. Tatapannya menajam, menyorot penuh tanya. Memaksa Ragha untuk menyampaikan kalimatnya secara utuh. Agar Rhea bisa mengerti apa yang Ragha maksud mengenai batas waktu. “Beliau minta gue lepasin Dara saat ayahnya pergi. Selama ini, Mama memang menyimpan kebencian untuk keberadaan Adara. Mama juga nggak pernah menerima kehadirannnya sejak pertama kali Dara datang. Mama selalu bersikap seenaknya, bikin Dara sakit hati supaya Dara nggak betah terus jadi istri gue. Tapi apa yang beliau usahakan nggak pernah membuahkan hasil. Adara tetap keras kepala, Adara nggak pernah mau menyerah. Maka dari itu, Mama minta gue untuk melepas Adara tepat setelah ayahnya meninggal. Karena menurut beliau, udah nggak ada alasan lagi yang menguatkan gue untuk tetap sama Adara.” “Jadi setelah ini lo bakalan lepasin Adara?” Ragha menggeleng, tidak yakin. Hatinya jelas menentang, karena sungguh, ia masih mencintai Adara. Tapi ia tidak yakin dengan Adara. Apalagi Ragha sudah mengatakannya sebelumnya. Jika Adara lelah dengan hubungan ini, Adara boleh mengajukannya pada Ragha dan Ragha akan melepas Adara pergi. “Keputusannya ada sama Adara. Kalau memang dia capek dan mau berhenti di sini, gue bakalan lepasin dia, seperti apa yang dia mau. Tapi kalau dia tetap mau berjuang, gue akan tetap pertahankan hubungan ini.” “Lo tahu nggak sih? Lo lepasin Adara karena Adara yang minta atau lo pertahanin Adara, itu sama-sama bikin dia sakit. Lo emang udah salah jalan sejak awal, Gha. Lo bego sampai bawa-bawa teman gue ke hidup lo yang nggak jelas itu. Gue nyesel karena jadi satu-satunya manusia yang dukung perasaan dia di SMA dulu. Kalau tahu bakalan begini, gue nggak akan pernah biarin Adara suka sama lo.” Ragha memejamkan matanya erat. Kalimat Rhea benar-benar menamparnya kuat. Membuat kesadarannya kembali dan membuatnya mengakui dengan jelas, jika memang apa yang terjadi dalam hidupnya, hidup Adara, semua rasa sakit ini, masalah yang tidak kunjung usai, semua itu karenanya. Ia yang sudah salah langkah dan menyeret Adara untuk turut serta. Jika saja ia bisa menahan langkahnya saat itu, membiarkan Adara terus berjalan tanpa pernah ia tahan, mungkin Adara akan menjalani kehidupan yang jauh lebih baik. Dengan kasih sayang tulus dari Ibun dan Rhea. Dan mungkin akan bertemu laki-laki yang mampu membuat Adara bahagia. Bukan lelaki sepertinya yang hanya mampu menimbulkan luka. “Gha, gue nggak akan ikut campur karena ini urusan lo dan Dara. Tapi gue minta, ambil yang risikonya paling kecil. Entah itu lo tetap mempertahankan Adara, entah lo memilih untuk melepas Adara. Gue nggak mau teman gue terluka lagi.” Rhea pergi setelah kalimatnya. Kembali membiarkan Ragha untuk berpikir dengan segala hal yang berseliweran di kepala. Karena pada akhirnya, ia sendiri yang harus memutusakan. Entah tetap memeprtahankan Adara di sisinya atau justru melepaskan Adara pergi. Mengakhiri kisah dua tahun ini, tanpa kebahagiaan, seperti yang pernah Ragha janjikan dulu. ***

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN