31. Jika Harus Berakhir

1836 Kata
Ragha yang sebelumnya sedang fokus dengan laptop di meja kerjanya, di dalam kamar, beralih tatap begitu mendengar helaan napas lelah dari Adara. Baru hadir setelah mengerjakan banyak pekerjaan rumah di bawah, dengan Mama sebagai pesuruhnya. Adara merasa jika ia sekarang sedang benar-benar berperan sebagai cinderella, seperti yang Mama katakan tempo hari. Tinggal bersama mama tiri dan dua kakak tirinya yang seenaknya menjadikannya pesuruh. Mengerjakan beragam pekerjaan rumah, mulai dari menyapu, mencuci pakian secara manual dengan tangan, menyikat sepatu, membersihkan piring kotor, memasak, sampai membersihkan kebun belakang. Bedanya, Adara tidak tinggal bersama mama tirinya, melainkan bersama mama mertua yang tidak kalah galak dari mama tiri. Jika cinderella akan menyelesaikan beragam pekerjaan memuakkan itu setelah pangeran menemukan sebelah sepatunya, dinikahi dengan penuh cinta dan hidup bahagia di istana, ia justru memulai perannya sebagai cinderella si tukang bersih-bersih setelah ia dinikahi pangeran dan dibawa ke istananya. Ragha sudah menyela Mama tadi, melarang Adara untuk melakukan apa yang Mama perintahkan. Karena jelas sekali, Ragha menikahi Adara bukan untuk menjadi pesuruh mamanya. Adara boleh saja mengerjakan pekerjaan rumah tangga, karena saat di rumah pun, Adara sesekali membantu Bibi memasak. Tapi bukan berarti Adara bisa diperintah seenaknya. Tapi, Adara justru menahan Ragha yang hampir saja melayangkan amarahnya. Mengatakan tidak apa-apa dan memang Adara ingin membantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Padahal Ragha tahu betul, Adara sudah kelelahan. Satu hal yang selalu Ragha benci dari diri Adara, terus bersikap baik-baik saja, memasang senyuman indah untuk menutupi wajahnya yang lelah, berpura-pura menjadi Adara yang menerima semuanya dengan lapang. Padahal hati itu tengah menjerit keras, memprotes tidak terima, lantaran luka hati yang bertambah setiap harinya. Karena hal itu, Ragha memilih undur diri. Enggan kembali termakan emosi karena meladeni sang mama yang tidak pernah mau kalah. Juga enggan membawa perdebatan yang lebih panjang dengan Adara yang enggan menuruti kalimatnya. Malah dengan suka rela meladeni Mama yang banyak bicara. “Capek ya?” tanyanya setelah berdiri di sisi ranjang, tempat Adara duduk. Meninggalkan pekerjaannya sejenak untuk menanyakan keadaan Adara. Sekadar mengusap keningnya yang berkeringat, juga menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah Adara. Adara hanya terkekeh pelan. “Lumayan. Tapi nggak apa-apa. Siapa tahu Mama jadi bisa menerima aku kalau aku nurut,” ucapnya ceria. Lagi-lagi bersikap seperti ini untuk menutupi kondisi yang sebenarnya. Ragha mengiyakan itu. Mengambil duduk di sebelah Adara dan menepuk-nepuk kepalanya pelan. Seolah memberi perhatian lebih pada istrinya yang sudah terlalu banyak mengalah. Sejak dulu, dua tahun lalu, saat Ragha menikahi Adara, Adara sudah terlalu banyak mengalah dan mengatakan tidak apa-apa. Entah saat harus melihat Ragha bersama Sana yang pergi bersama, tanpa Adara yang tururt serta, juga tanpa membutuhkan izin dari Adara. Entah untuk luka hatinya yang terus melebar setiap harinya. Juga entah untuk posisinya yang selalu dianggap sebagai sebuah kesalahan. Ragha ingin sesekali Adara menentang dan menyampaikan luka hatinya. Agar orang-orang yang selama ini mengabaikan keberadaannya, termasuk Mama di dalamnya bisa merasakan sedikit keberadaan Adara. Tapi sampai detik ini, Adara enggan melakukan banyak hal. Daripada berisik dan menimbulkan keributan, Adara lebih memilih diam dan menurut. Karena menurut Adara itu jauh lebih baik daripada meladeni Mama yang tidak akan mau kalah. “Aku nggak nanya kamu capek setelah bersih-bersih dan ngikutin perintah Mama tanpa protes. Aku bertanya untuk keberadaan kamu jadi istriku. Pasti capek ‘kan?” Adara yang sebelumnya bersandar nyaman dalam rangkulan Ragha kini menoleh. Menatap wajah suaminya yang menampilkan raut putus asa. Sama seperti yang dilihatnya saat hubungan keduanya belum membaik. Wajah yang seolah mampu untuk merelakan Adara pergi, tanpa harus menahan lagi. Wajah yang seolah ikhlas jika saat ini Adara meminta untuk melepaskan ikatan yang Ragha buat di antara mereka. “Kenapa Mas tiba-tiba bertanya begitu?” tanyanya heran. Ia juga tidak suka melihat wajah Ragha yang seperti ini. Adara sudah hampir menyerah saat itu. Ia bahkan seenaknya melayangkan permintaannya untuk melepaskan diri dari Ragha. Menjalani dua tahun yang dingin nan kaku, tanpa luapan rasa cinta yang seharusnya tersalurkan dalam pernikahan. Tapi Ragha justru kembali menariknya mendekat dan mendekapnya erat. Membuatnya kembali memberi kesempatan yang sama untuk Ragha, seperti yang pernah ia beri dulu, saat Ragha hadir dan meminta kesanggupannya untuk menikah. Tapi saat Adara sudah memutuskan keberadaannya untuk tetap di samping Ragha, Ragha justru kembali menampilkan keraguannya. Bukankah ini sangat menyebalkan? Adara tidak suka dipermainkan. “Bukan apa-apa. Aku cuma mau minta satu hal, kalau kamu udah capek dan mau menyerah, kamu boleh bilang sejujurnya. Jangan terus bersembunyi, jangan terus merasa kuat sendirian.” Adara menghela napas panjang. Mulai tidak menyukai pembicaraan semacam ini. “Mas udah mulai menyerah sama hubungan ini?” sentaknya sebal. Ia tidak bisa menerima jika lagi-lagi Ragha bersikap tanpa meminta pendapatnya. “Bukan, sama sekali bukan. Sejak awal aku yang meminta kamu untuk ada di sisiku. Aku yang memaksa kamu untuk ikut masuk ke duniaku, yang bahkan nggak pernah ada dalam angan kamu. Akan menjadi hal terbodoh kalau aku justru menyerah untuk apa yang aku usahakan, Dara. Aku cuma khawatir sama kamu. Kondisi hati kamu, fisik kamu, juga mental kamu. Apa yang selama ini kita lalui bukan hal yang mudah. Sama seperti aku, kamu juga pasti hampir menyerah, ‘kan?” Dara menghela napas panjang sebelum memulai kalimatnya. Ia membutuhkan oksigen yang lebih banyak agar lelausa mengisi parunya yang mulai sesak. Kalimat Ragha sarat akan putus asa. Dan ia belum siap untuk semuanya. “Di saat aku udah kasih Mas kesempatan yang kesekian kali, bahkan saat aku udah hampir menyerah saat itu, Mas meminta aku untuk kembali. Memang Mas masih berhak untuk menanyakan hal itu?” Ragha tidak mengatakan apa-apa. Mulai memahami jika Adara tidak suka mengenai apa yang mereka bicarakan. Jika memang Ragha ingin menyerah, seharusnya ia tidak pernah membawa Adara terlalu jauh. Seharusnya di saat Adara menginginkan untuk berhenti kala itu, Ragha membiarkannya berhenti. Bukan malah memintanya kembali dan membawanya dalam dekapannya yang erat. “Maaf, Dara. Aku cuma mengkhawatirkan kamu dan kondisi kamu,” ucapnya penuh penyesalan. Ia tahu Adara lelah. Bukan hanya fisiknya, tapi juga hatinya. Dan ia tidak ingin ada keributan lainnya yang membuat pikiran mereka kian ditarik-tarik, juga hati mereka yang harus kembali dirisaukan. “Kita, Mas. Bukan cuma aku. Mas juga perlu mengkhawatirkan diri sendiri. Karena dalam hal ini, bukan hanya aku yang terluka. Mas juga.” Ragha mungkin salah dalam mengikat Adara kala itu. Keberadaan Adara juga salah di mata sang mama karena kehadirannya tidak pernah diharapkan. Menghancurkan tatanan yang sudah dibentuk sedemikian rupa lantaran keegoisan. Namun, Ragha tidak pernah salah dalam memilih pendamping hidupnya. Ragha tidak pernah salah dalam memilih tempanya berlabuh, tempatnya pulang, tempatnya kembali dari segala hal memuakkan bernama kehidupan. Adara masuk dalam segala kriteria yang ia cari sebagai pendamping hidupnya. Walau terkadang campuran amarah dan keegoisan membuat keduanya sering bertengkar, Adara tetaplah sosok yang ia cari selama ini. Si pencuri hati yang sampai saat ini enggan mengembalikan hatinya. Membuat Ragha mempercayakan Adara untuk memiliki hatinya secara utuh. Tanpa perlu ia minta kembali. Perempuan lembut yang bisa menandinginya saat marah. Perempuan penyabar yang selalu memberi waktu lebih saat keduanya butuh menyendiri. Juga sosok yang selalu bisa menampik rasa khawatirnya dengan kalimat positif yang menenangkan. Dan satu hal lainnya, rasa rendah diri Adara yang begitu mengganggu dan selalu mampu ia tandingi dengan kata-katanya yang seadanya. “Kalau pada akhirnya aku merasa nggak lagi sanggup menjalani semuanya, apa Mas akan suka rela melepas aku pergi?” tanya Adara hati-hati. Adara bukan ingin pergi lebih cepat, walaupun mungkin pada akhirnya ia harus pergi juga. Ia hanya ingin tahu, di mana keberadaan dirinya dalam hati Ragha. Apa artinya ia dalam hidup Ragha. Ragha diam dalam beberapa saat. Menatap dalam pada mata bulat istrinya yang sedang menunggu jawabannya. Sebelah tangannya meraih tangan Adara dan menggenggamnya erat. Seolah itu adalah genggaman perpisahan yang akan mengantarkan mereka pada kehidupan masing-masing. “Aku nggak akan pernah bisa benar-benar melepaskan kamu, Dara. Kamu hidupku, kamu bahagiaku. Kamu tahu persis soal itu. Aku juga pernah menjanjikan untuk kebahagiaan kamu saat itu. Kalau aku mampu, aku mau menghapuskan semua rasa sakit di hidup kamu, supaya hanya senyuman kamu yang tersisa. Tapi nyatanya, hidup ini jauh lebih sulit untuk dijalani, nggak semudah kata-kata, janji-janji yang aku ucap.” Ragha menyelipkan sejumput rambut Adara ke belakang telinga. Menelisik wajah cantik istrinya yang nampak lelah. Dari sorotan matanya saja, Ragha sudah bisa menangkap seberat apa beban yang Adara tanggung, sebelum keduanya terikat dalam pernikahan, dan bertambah lebih berat saat keduanya terikat. “Aku paham, di setiap fase hidup yang kita jalani, kita akan menmui satu titik kelelahan tertinggi yang membuat kita benar-benar ingin menyerah. Saat dalam hubungan kita, kamu menemui titik itu, bilang sama aku. Aku akan merelakan kamu pergi. Asal kamu bahagia, asal kamu nggak lagi memikul beban, aku akan merelakan semuanya. Termasuk kebahagiaanku.” Adara bisa merasakannya. Ketulusan yang Ragha miliki untuknya. Cara Ragha menatapnya, cara Ragha mencintainya, dan keberadaannya yang tersimpan begitu rapi di dalam hati Ragha. Namun di sisi lainnya, Adara juga merasa kesal. Pada dirinya sendiri, pada perasaannya, juga pada Ragha, juga pada kerisauan yang tiba-tiba hadir dan membuat keduanya kembali dilingkupi rasa tidak menyenangkan. Dari sekian banyak rasa sakit, jatuh bangunnya kehidupan, luka yang mengering berubah menjadi warna kehitaman yang membekas, sampai luka itu kembali basah lantaran sayatan baru yang lain. Tangisan demi tangisan yang menetes deras sebagai pelampiasan rasa sakit yang tidak mampu diucapkan kata. Juga cintanya yang koyak, tercabik-cabik kejamnya waktu. Kenapa baru kali ini Ragha menyampaikan kesanggupannya untuk melepas Adara pergi? Kenapa Ragha tidak merelakannya sejak awal? Sejak Adara mendorongnya menjauh, menolak keberadaannya. Kenapa kerelaan itu justru hadir di saat Adara sudah benar-benar memilih Ragha sebagai tempatnya berpegangan? Tempatnya menopang, tempatnya meluapkan apa yang dijeritkan oleh hatinya. Jika saja Ragha merelakannya sejak dulu, mungkin Adara tidak akan pernah merasakan sayatan lainnya yang ia dapat dalam rumah tangga mereka. Atau justru ia akan merasakan sayatan demi sayatan yang lebih parah. Karena sudah tidak ada lagi Ragha di sisinya. Sudah tidak ada lagi si pelipur lara yang selalu menjadi alasannya untuk kembali mengukir senyum. Adara menyematkan senyuman tipis yang manis. Balas menggenggam tangan Ragha. Sama-sama meresapi rasa hangat yang Ragha salurkan melalui genggaman itu. “Aku akan bilang sama Mas kalau memang aku mau menyerah. Tapi sebelum itu, kita harus menggenggam lebih erat, berusaha lebih keras, bersabar lebih lama. Kalau memang apa yang kita usahakan tetap membuat kita harus berpisah, di saat itu aku juga akan melakukan apa yang Mas lakukan. Merelakan dengan tenang, melepas dengan lapang. Kita akan melanjutkan jalan kita masing-masing, untuk menemukan kebahagiaan masing-masing.” Walaupun ujung-ujungnya tidak akan bahagia. Karena secara sadar pun keduanya tahu, kebahagiaan itu ada saat mereka bersama. Ragha tidak yakin jika Adara menyampaikan perpisahan melalui kalimat panjangnya. Tapi mendengar penuturan panjang itu, Ragha merasa harus mulai mempersiapkan hatinya. Jika saja sewaktu-waktu Adara mengatakan rasa lelahnya dan ingin menyerah, ia harus benar-benar siap melepas genggaman yang sudah terjalin lama. Ia harus merelakan cintanya pergi, untuk kebahagiaan baru yang bisa Adara dapat di tempat lain. “Aku belum ada keinginan untuk pergi dari hidup, Mas. Jadi selama kita masih sama-sama, ayo usahakan semampu kita. Kalau nanti pada akhirnya kita benar-benar harus jalan masing-masing, aku nggak akan pernah menyesal pernah singgah sesaat di hidup Mas.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN