Bagian dua

1067 Kata
Caca bersenandung kecil sesekali ia tersenyum saat orang yang ia kenal menyapanya. Caca duduk di bangku panjang ujung jalan, Caca merogoh saku bajunya, ia menemukan uang sepuluh ribu. "Sepuluh ribu, naik angkot tiga ribu, pulangnya tiga ribu. Masih cukuplah kalau Caca cuma beli air mineral." Caca menghela nafas panjang, hari ini uangnya hanya cukup untuk naik angkot dan beli air mineral saja. Caca butuh pekerjaan sekarang. Caca mendengar suara sopir angkot yang mulai meneriaki daerah di mana sekolahnya berada. Caca berdiri merapikan rok nya. Ia melambaikan tangan ke arah angkot. Angkot nya sudah berhenti, Caca masuk dan duduk disebelah ibu-ibu yang mungkin umurnya sama dengan Citra. Angkot pagi ini cukup sepi, tak seramai biasanya. Caca jadi bisa meluruskan kakinya sejenak. Ibu disebelah Caca menepuk bahu Caca pelan, "Dek kue nya dijual dek?" Tanyanya, matanya terus memperhatikan kue basah dagangan Caca yang tampak menggiurkan. "Eh? Iya Bu. Ibu mau beli? Kebetulan masih anget kok. Tadi niatnya mau saya iderin ke sekolah." Caca bersemangat, berharap jika ibu itu tertarik pada kue basah yang ia bawa. "Berapaan dek?" "Dua ribu aja Bu. Ibu mau beli?" "Iya dek, sepuluh ya. Campur, soalnya mau ibu bawa kerja." Caca memasukkan sepuluh kue ke dalam kantong plastik kecil, ibu itu menyerahkan uang dua puluh ribu kepada Caca. "Makasih banyak ya Bu." Caca teramat senang, masih pagi kue nya sudah laku sepuluh. Berarti masih ada enam puluh lima lagi yang harus ia jual. Semangat Caca. Angkot yang ditumpangi Caca sudah berhenti tepat di depan sekolahnya. Caca membayar dan turun dari angkot. Kembali ia merapikan seragamnya yang nampak agak sedikit kusut. Sebagian besar murid yang bersekolah di sana, diantar oleh orang tua nya menggunakan mobil. Jika ditanya apakah Caca iri? Jelas Caca sangat iri. Caca bukan iri terhadap tumpangan mereka, tapi Caca iri karena tak bisa diantar orang tua nya seperti mereka. Caca punya satu teman dekat bernama Bulan, Bulan kaya, setiap pagi diantar sopir menggunakan mobil. Banyak yang mengira jika Caca berteman dengan Bulan hanya untuk kesenangan Caca saja, nyatanya semua tidak benar, mereka sudah bersahabat sejak duduk di bangku sekolah dasar. Bulan selalu menjadi tameng bagi Caca, Bulan selalu berani menghadapi sesuatu selagi ia benar. Caca kaget saat ada sebuah tangan yang merangkul bahunya. Saat menoleh ia mendapati Bulan yang menunjukkan wajah tak berdosa nya. "Hai Ca! Tumben Lo berangkat pagi?" Sapa Bulan yang berjalan di sampingnya. "Harusnya Caca yang nanya ke Bulan, kenapa Bulan pagi udah dateng?" "Hehe iya Ca, gue dari semalem di rumah sendirian. Gue kabangun pagi-pagi, akhirnya gue berangkat pagi deh. Oh iya gimana kabarnya Tante Citra? Udah lama gue kagak main ke rumah Lo." Bulan berbicara seperti tidak ada titik koma nya. "Ibu baik kok, dia juga pernah nanya tentang Bulan." "Ya udah, ntar sampein salam gue ke Tante Citra ya. Btw tumben bawa kue nya banyak banget?" Bulan penasaran, biasanya Caca hanya membawa satu kantong kresek kue basah, tapi kali ini ia membawa dua. "Iya, Caca kasian sama ibu kalau harus ngider terus. Ibu udah tua. Jadi biarin Caca aja yang ngejual kue nya," tatapan mata Caca berubah menjadi sendu saat membicarakan ibunya. "Pasti ibu Lo bangga banget ya Ca, punya anak hebat kayak Lo." Bulan ikut tersentuh mendengarkan pengakuan Caca, ia tak mengira jika sahabat sepolos Caca mempunyai hati sebaik malaikat. "Apa sih Bulan? Biasa aja kok." Caca tersipu malu karena pujian dari Bulan. Bulan mengedikkan kedua bahunya acuh, "Lo mau naroh semua kue nya ke kantin?" Tanyanya lagi. "Enggak Bulan, palingan cuma tiga puluh kue aja yang Caca titipin ke kantin. Sisanya ntar Caca iderin keliling sekolah pas istirahat. Bulan mau kan nemenin Caca?" Caca mengeluarkan jurus puppy eyes nya. Dengan cara itu, mampu membuat siapa saja luluh padanya. "Iya, udah mau masuk juga. Mendingan kita ke kelas." Ajak Bulan lalu, Caca mengangguk patuh seperti anak anjing. Bulan dan Caca berjalan beriringan, semua mata tentu tertuju pada sesosok wanita cantik di sebelah Caca. Mungkin hanya orang bodoh saja yang melirik cewek kurus seperti Caca. Jauh dari arah lab, seorang cewek berperawakan tinggi menghampiri mereka dengan tergesa-gesa. Bulan dan Caca berhenti, beralih menatap cewek cantik di hadapannya. "Renata?" Sapa Bulan, semua orang tau Renata, ketua tim eskul basket wanita yang mempunyai sifat ramah kepada siapa saja. Renata tak pernah membeda-bedakan orang, ia mau berteman kepada siapa saja. Renata menyamakan semua derajat siswa di SMA ini. "Hai Bulan." Ia membalas sapaan Bulan, pandangan nya teralih pada Caca "Hai, Caca ya? Gue Renata, anak kelas sepuluh bahasa." Renata mengulurkan tangannya untuk mengajak Caca berkenalan. "A-ada apa ya?" Caca canggung, tapi tangannya tetap menerima uluran tangan Renata. "Lo yang jualan kue basah di kantin kan? Gue denger dari anak-anak kalau kue jualan Lo enak? Gue mau beli dong." "Mau beli berapa?" Caca bertanya hati-hati, takut salah bicara dengan Renata. "Itu tinggal berapa?" Sambung Renata, nampaknya ia sangat tertarik pada jajanan yang dibawa Caca. "Masih banyak kok, Caca juga baru dateng. Ada sekitar 65 kue. Renata jadi beli?" Secercah harapan muncul di benak Caca. "Gue kebetulan kan punya cafe, jadi kue nya gue beli semua ya? Dua ribuan kan?" Caca terkejut sekaligus senang dalam bersamaan, Ia tak menduga jika sepagi ini kue nya sudah habis terjual. "Beneran? Jadi totalnya seratus tiga puluh lima ribu ya Renata." Renata mengangguk paham, ia mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dan selembar lagi uang lima puluh ribuan, Renata menyerahkan uang itu pada Caca. Renata mengambil alih kue yang berada di genggaman Caca, "Renata kembaliannya lim-" kalimat Caca belum selesai, namun sudah terpotong oleh perkataan Renata "Udah gak apa-apa, buat Lo aja. Gue ikhlas kok." Caca tak tau lagi harus mengucapkan apa lagi pada orang sebaik Renata. "Oh iya Ca, di cafe gue lagi kurang karyawati nih. Kira-kira Lo mau gak kalau kerja disana? Maaf, gue gak bermaksud untuk ngehina Lo atau gimana, tapi kalau gak mau juga gapapa kok." Bulan tersenyum pada Caca, berulang kali Caca cerita jika ia sedang membutuhkan pekerjaan. Tapi Bulan belum bisa membantunya. "Renata serius? Caca mau kok. Caca bakal kerja di tempat Renata." "Kerjanya dari jam tiga sampai jam delapan malam aja. Gak keberatan kan Lo? Kalau beneran mau kerja, cafe nya ada di Jln. Diponegoro no 5. Persis di depan hotel Singgasana, gue tunggu nanti sore disana." Seusai mengucap kata itu, Renata meninggalkan Caca yang termenung dengan pandangan kosong. Bulan melihat itu, ia berinisiatif untuk mengguncang pundak Caca lumayan keras. "Bulan...." Bulan tersenyum penuh arti, "Tuhan ngabulin semua doa Lo Ca."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN