Bagian satu
"Caca, bangun nak. Sudah jam lima,"
Caca menggeliat, merasakan ada yang mengguncang tubuhnya. Saat Caca membuka mata, pandangan Caca langsung terarah pada sesosok wanita di hadapannya yang memandang Caca dengan tersenyum.
"Mandi sana, terus sholat subuh, Ibu tunggu di ruang tamu." Ujarnya dengan penuh perhatian.
"Iya bu."
Wanita setengah baya yang berada di kamar Caca sudah keluar. Menyisakan Caca yang termenung memikirkan nanti di sekolahnya. Tak mau berlama-lama, Caca turun dari ranjang untuk menuju kamar mandi.
Setelah sholat, Caca menghampiri Citra di ruang tamu.
Caca tinggal di sebuah kontrakan reyot yang hanya terdiri satu lantai dan 2 kamar tidur. Sebenernya kontrakan ini sudah tak layak huni, waktunya merenovasi. Namun karena harga sewa yang murah mereka memutuskan untuk tetap tinggal pada kontrakan ini. Saat hujan tiba, genteng bocor sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka. Air masuk dari cela gentang, dan mereka hanya perlu menadahi air yang jatuh menggunakan bak atau juga timba air. Jangankan untuk renovasi, bisa makan tiga kali sehari saja mereka sudah bahagia.
Citra tak mampu jika menyewa kontrakan bagus dengan harga dua kali lipat lebih besar. Jika dipikir-pikir uangnya bisa dipakai untuk biaya sekolah Caca atau juga untuk makan sehari-hari.
Sejak ayah Caca pergi, Citra yang harus membanting tulang untuk menghidupi kebutuhannya serta kebutuhan Caca, untung saja Caca sangat mengerti keadaan ekonominya. Caca anak tunggal, tidak punya kakak yang dapat membantu ibunya mencari uang. Mau tidak mau ia lah yang harus membantu Citra untuk mencukupi kebutuhannya.
"Duduk sini nak," Citra menepuk sofa usang untuk mengajak Caca duduk disebelah nya.
Caca menghampiri Citra dan duduk di sebelahnya.
"Gimana sekolah kamu Ca?" Tanya Citra dengan tangan kanan yang membelai rambut kasar Caca.
"Baik Bu, temen-temen Caca baik semua sama Caca." Caca tersenyum, menutupi kebohongan nya, semua kata itu bohong. Teman Caca bisa dihitung dengan jari. Satu angkatan Caca selalu mengatakan jika dirinya hanya orang miskin yang kebetulan diterima di SMA favorit di kotanya. Berbekal kepintaran yang ia miliki, ia berhasil mendapatkan beasiswa penuh untuk bersekolah di sana.
Caca tersenyum getir, ia baru sadar kalau ibunya sudah semakin menua. Nampak dari kerutan di wajah Citra yang semakin terlihat jelas. Dan juga beberapa rambut putih yang mulai bermunculan.
"Maaf ya nak, hari ini kamu enggak sarapan lagi. Uang ibu cuma cukup buat modal jualan kue." Air mata Citra sudah tak dapat ia bendung lagi. Bukan sekali dua kali Caca tidak sarapan saat berangkat ke sekolah, tapi hampir setiap hari.
Tangan Caca terulur mengusap air mata Citra, hati Caca semakin teriris melihat Citra menangis karena memikirkan dirinya.
Caca sudah berulang kali memberitahu Citra jika dirinya sudah besar, ia tak mau terus-terusan menjadi beban ibunya.
"Gak apa-apa Bu, Caca bisa sarapan di sekolah. Ibu istirahat ya hari ini, gak usah ngider dulu. Biar kue nya semua Caca bawa ke sekolah." Ujarnya menenangkan.
Caca yang biasa nya hanya membawa 30 buah kue basah, pagi ini ia membawa 75 kue basah agar Citra tidak perlu lagi berjualan keliling.
Citra hendak memberikan uang dua puluh ribu untuk uang jajan Caca, ia menahan tangan Citra, "Uangnya di simpan aja bu, buat modal jualan besok pagi. Caca masih ada uang sisa jualan kemarin kok, kalau buat naik angkot sama sarapan aja masih sisa Bu." Caca tersenyum lebar, berniat menghibur Citra.
Citra tak terhibur sama sekali, air matanya semakin mengalir deras karena kepekaan Caca. Ia sebenarnya kasian, usia anaknya masih sangat kecil untuk menanggung beban seberat ini.
"Ibu jangan nangis terus dong. Masa kalah sama Caca, Caca aja gak pernah nangis. Masa ibu nangis terus sih?" Caca masih setia mengibur Citra.
"Ibu gak nangis kok nak. Ibu cuma bangga liat anak ibu satu-satunya yang sangat pintar seperti kamu." Cepat-cepat Citra menghapus air mata dengan punggung tangannya.
"Kalau gitu Caca berangkat dulu ya Bu, doain Caca bisa ngejual semua kue basah nya, biar nanti malam kita bisa makan enak. Assalamu'alaikum Bu."
Usai mencium punggung tangan Citra, Caca dengan tangan kanan dan kiri membawa kresek besar yang berisikan dagangannya.
Citra melihat jerih payah Caca dengan susah menahan air matanya lagi agar tidak meluncur.
Di usianya, harusnya anak itu pergi dengan teman-temannya, berbelanja sesuka hati menggunakan kartu kredit orang tua, ataupun memiliki ponsel bagus yang lagi trend.
Caca tidak pernah menuntut untuk dibelikan ponsel atau barang-barang keluaran terbaru seperti teman-temannya.
Jika Caca meminta salah satu benda bermerek, maka Citra dengan senang hati meng-iya kan permintaan Caca, walaupun mencari uang harus susah payah, Caca tak ingin semua itu, sudah cukup ia membuat ibunya susah.
Yang membuat Citra semakin bangga dengan Caca, anak itu tak pernah mengeluh ataupun mengeluarkan air matanya di depan Citra.
Citra rela jika harus menukar nyawanya demi kebahagiaan Caca.
Kemudian ia tersadar dari lamunannya, ia bangkit dari duduknya mencoba memasak sesuatu untuk makan Caca sepulang sekolah.
Di dapur hanya ada beras, tak ada lauk pauk atau sayuran di sana. Sudah cukup, ia sering memberi makan Caca dengan nasi yang hanya ditaburi garam, atau juga kerupuk. Dengan lahap, Caca selalu menghabiskannya sampai tak bersisa.
Citra keluar, ia berjalan menuju warung Mbak Sari, Citra hanya punya uang dua puluh ribu. SPP Caca sudah nunggak selama tiga bulan, Citra menyimpan kembali uang itu ke dalam saku rok usangnya.
"Mbak telor seperempat, sama tepung nya juga seperempat."
"Ngutang apa bayar nih?" Ucap nya sengit, Mbak Sari sudah terbiasa dengan Citra, jika Citra berbelanja di tempat nya, Citra selalu ngutang dan melunasinya akhir bulan.
"Ngutang dulu ya mbak, buat balik modal uang nya, untung nya buat bayar SPP Caca di sekolah dulu." Citra meringis mengingat tagihan yang semakin banyak.
"Tapi utang lu udah banyak disini, kapan mau ngelunasi?" Mbak Sari terlihat membuka buku tulis yang berisikan catatan utang-utang pembelinya.
"Akhir bulan mbak kayak biasanya."
"Bener ye? Awas lu kalau sampe gak bisa bayar," kata terakhir Mbak Sari berbarengan dengan ia menyerahkan telur dan tepung pesanan Citra.
"Iya mbak, ini saya bawa dulu ya?"
"Iye."
Jika di rumah nanti, ia akan memasak satu telur dengan tiga sendok tepung terigu, lalu ia bagi menjadi dua. Untuk ia dan Caca.
Citra tersenyum, membayangkan Caca yang akan lahap makan siang nanti dengan telur. Caca jarang sekali makan telur, paling sering ia makan tahu atau tempe. Itu pun sudah bagus.
Maafkan ibu ya nak.