Bab 11. Pak, Saya Membakar Dapur Orang

1063 Kata
Amira segera menyimpan ponselnya dan memakan camilan yang Malik berikan padanya. Memang selama ini Amira tidak bisa jaga diri, selalu telat makan dan lebih mengutamakan kerjaan. Makanya karir Amira bisa sampai di titik sekarang. "Haus," gumam Amira meninggalkan kubik kerjanya. Saat Amira berjalan pergi. Ponselnya menyala dan ternyata Rion yang menelpon, namun karena disilent jadi Amira tidak tahu sama sekali. *** Ilyas menyenderkan punggung pada sofa. Mata sempat terpejam, lantas bibir mengulas senyum saat melihat jas tergantung. Dia jadi penasaran, bagaimana rupa Amira saat memakainya waktu itu. "Apa aku bawa jasnya pulang, dan menyuruhnya pakai ya," gumam Ilyas sudah berdiri dan bersiap meraih jasnya. "Ah jangan, nanti dia besar kepala karena aku ingin melihatnya." Ilyas pun memilih duduk lagi di sofa dengan pandangan tetap tertuju pada jas lama miliknya. Hingga pintu ruangan diketuk dan perlahan dibuka. Terlihat dokter Arfin mendekat sembari membawakan makanan dan minuman. "Saya sudah merasa jadi babu, sungguh." Mulut Arfin mengeluh, namun tubuh langsung duduk di sisi Ilyas. Bahkan tangan mencomot makanan di dalam kresek. Meski Arfin terlihat tidak sopan, Ilyas sama sekali tidak menegur. "Masih bagus kamu jadi tukang antar makanan, ketimbang jaga di poli anak terus, dikejar sama ibu-ibu," celetuk Ilyas. Arfin menoleh dan menghela napas. "Andai saja Dokter Ilyas mau senyum sedikit, bukan saya yang jadi sasaran para ibu-ibu." Mendengar kata senyum, membuat Ilyas teringat dengan ucapan Amira. Kemudian, dia mendadak jadi penasaran dengan maksud sang istri. "Kamu tahu Statue Of God?" Kepala Arfin langsung mengangguk. "Itu anime yang menarik menurut saya." "Anime?" "Ya itu patung yang ada di anime." Ilyas mendadak berharap sesuatu yang bagus keluar dari mulut Arfin. Anime kan identik dengan rupa seorang pria tampan dan wanita cantik. "Jadi, seperti apa Statue Of God itu?" Arfin langsung menyahut tanpa ragu, "patung yang menyeramkan ketika senyum, itu menurut saya." "Begitu ya." Ilyas meremas sedotan yang baru saja diambil hingga tertekuk sempurna. Arfin memandang Ilyas dengan rasa heran. Sementara sorot mata dia seperti ingin melahap orang hidup-hidup. Sementara Amira begitu pulang kerja, menyempatkan diri berganti baju di apartemen. Kemudian langsung menuju tempat kursus untuk memasak. "Ini Amira, dia anggota baru yang paling muda di kursus ini." Amira dikenalkan pada seluruh anggota dan bibirnya terus saja tersenyum ramah. Rupanya mereka sangat baik, tidak seperti dugaan Amira sebelumnya. Pantas saja Lusi sampai betah di sini selama belajar memasak. Amira juga diajak keliling, dikenalkan alat masak hingga bahan bakunya. Amira mengangguk terus, meski otaknya sedang awut-awutan saat ini. "Nah ini meja belajar kamu memasak, Amira." "Terima kasih, Bu." "Oh iya, hari ini kita sedang membuat kue. Kamu bisa ikuti tahapannya ya Amira." Amira langsung tersenyum canggung. Aduh kue pula. Kalau bantat masih mending, semisal mentah kan memalukan. Namun, Amira langsung mengikuti arahan dari pemandu memasak ini. Bahan apa saja yang harus diambil dan berapa jumlah yang dibutuhkan. Amira benar-benar keteter, lebih mudah memahami data yang berantakan di laporan bulanan ketimbang masak. "Amira, kamu masih belum selesai buat adonan?" Amira langsung mengangkat kepalanya dan ekspresi wajahnya sangat panik saat ini. "Sebentar lagi siap, Bu." "Baiklah." Ketika memasukkan adonan ke dalam microwave, mulailah masalahnya terjadi. Semua anggota sudah mulai membuat adonan untuk hiasan kuenya dan mengeluarkan kue lebih dulu. Amira justru tidak mengeluarkannya, justru ikut sibuk mengamati anggota lain membuat crem kue. "Bau apa ini?" Semua anggota kursus langsung mencari dan mata tertuju ke arah Amira. Barulah mereka jadi panik dan langsung menariknya untuk menjauh. Microwave bukan hanya mengeluarkan asap, tapi juga percikan api. Untung sambungan listrik dicabut segera dan api dimatikan dengan APAR. Namun, tentunya tidak menutup kemungkinan tetap terjadinya kerusakan di sekitar microwave. Serta dinding yang menghitam karena ulah Amira. "Pokoknya aku tidak mau tahu, kamu harus tanggung jawab. Selama dapur ini belum diperbaiki, semua anggota tidak mau kursus." "Aku hanya menerima uang receh, tapi kehilangan banyak karena ulah kamu, Amira." Dan ya, sore itu Amira menerima makian bukan hanya dari pemilik kursus memasak saja. Tapi, dari beberapa anggota juga dan menyalahkan Lusi karena asal memasukkan orang. *** "Dari mana saja? Kenapa baru pulang?" Amira memasuki apartemen dengan raut semrawut. Uang dari mana coba dirinya bayar ganti rugi, gajinya tidak begitu besar. Ilyas memandang heran ke arah Amira yang seperti berpisah dari roh. "Telinganya tuli ya?" "Iya saya tuli." Amira langsung duduk di sebelah Ilyas yang makin dibuat heran. Mendadak Ilyas jadi berpikiran buruk, bisa saja dalam perjalanan sang istri hampir diculik orang atau dicopet. "Saya habis bakar dapur orang, Pak," ujar Amira tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi. Ilyas makin tak mengerti. "Keisengan kamu itu bisa bikin orang terbakar." Amira memandang suaminya dengan raut memelas. "Saya ikut kursus memasak, tapi merusak microwave dan membakar barang di sekitarnya." Ilyas menghela napas, setelah mendengar cerita sang istri. "Kamu sih, gaya sekali ingin belajar masak. Bagaimana kalau ada korban jiwa?" "Tidak ada korban jiwa," sahutnya ingin menangis. Ilyas menggelengkan kepala. "Makanya tidak usah belajar kalau tidak becus." Amira yang sudah sedih karena dimaki banyak orang, begitu pulang disindir juga sama suami. Mendadak hatinya teriris dan mulai menangis, bahkan suaranya cukup keras sampai membuat Ilyas tertegun. "Eh, kenapa nangis?" Ilyas ingin menyentuh kepala Amira, namun ragu dan akhirnya tidak jadi. Ilyas memilih beranjak pergi ke kamar, setelah kembali melempar tisu ke pangkuan Amira. "Cengeng sekali sih. Padahal cuma bakar dapur orang, tidak ada korban jiwa pula. Kenapa menangis?" Ilyas terlihat tidak mengerti. Namun, tangis Amira semakin kencang. "Saya disuruh ganti rugi, tapi tidak punya uang!" Ilyas langsung menepuk dahi karena Amira menangis hanya dengan alasan sederhana itu. Ilyas memandang ke arah Amira yang masih tak kunjung berhenti, seolah sedang terluka. "Kan tinggal minta sama aku, besok kita datangi dan bayar. Sudah jangan menangis." Amira memandang ke arah Ilyas. "Saya sakit hati." "Hm?" "Saya dimaki di sana, pulang dimaki juga sama suami," keluhnya sembari sesenggukan. Ilyas nampak heran, kemudian berani mengusap kepalanya. "Mana ada memaki? Aku cemas kamu tidak di rumah, padahal tas dan sepatu sewaktu ke kantor sudah di rumah." Amira mengusap air matanya. "Bapak cemas sama saya?" "Dasar bodoh, suami mana yang tidak cemas. Takut istrinya diculik, kamu tahu." Padahal Ilyas ingin memarahi dan menyindir Amira soal patung yang menyeramkan saat senyum itu. Namun, melihat istri yang mengadu sambil menangis. Ilyas jadi tidak tega. Namun, Ilyas langsung diam dengan tangan masih mengusap kepala Amira. Dia memikirkan cara Amira memasak sampai microwave terbakar. Pandangan Ilyas tersita pada Amira lagi, saat mendengar Amira sedang menguras ingus. Ilyas menghela napas dan mendorong Amira untuk menjauh. "Menjijikan sekali, jadi wanita yang elegan dikit."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN