Bab 12. Semobil Sama Suami, Kayak Mau Dijual

1046 Kata
Melihat suami yang terlihat jijik, membuat Amira sengaja melempar tisu ke pangkuan suaminya. Ilyas mendengkus kesal dan membuang dengan jemari. "Jorok!" Amira tersenyum melihat reaksi dari suaminya. Kemudian mengambil tisu dan membelakangi Ilyas untuk menyelesaikan kegiatannya. Ilyas sendiri memandangi punggung Amira yang kerap bergerak karena sesenggukan belum berhenti. "Sore kita ke sana, nanti aku jemput," ujar Ilyas membuat Amira berbalik. "Bagaimana kalau ketemuan saja? Saya akan kirimkan alamatnya." Mata Ilyas jadi menyipit. "Seolah aku selingkuhan kamu, tidak ingin dikenalkan sama rekan kerja." "Mana ada Pak. Semua karyawan kantor tahu kali, Bapak kan anaknya pak Malik." "Pak Malik?" Amira terburu meralat ucapannya, "papa mertua." Namun, mata Ilyas semakin menyipit. "Lantas kenapa masih panggil aku bapak juga? Aku bukan ayah kamu, Amira." Kali tersebut, Ilyas benar mengutarakan keinginan dipanggil selain bapak. Amira mematung dengan ekspresi mencari sebutan paling cocok untuk suaminya. "Sayang--" "Mas," sebutnya memotong ucapan Ilyas. Ilyas langsung menghela napas. "Aku bukan tukang es di depan jalan." Amira tersenyum manis. "Panggilan juga harus bertahap, sekolah saja baru daftar tidak mungkin langsung wisuda." Ilyas diam, mata dia menatap sang istri dengan lekat. Amira yang sedang bermain ponsel untuk minta maaf pada Lusi, apalagi bibir Amira berkomat-kamit tanpa suara benar-benar menggoda bagi Ilyas. "Amira, aku ingin itu." Kepalanya menoleh. "Ingin apa?" Tatapan Ilyas begitu tergoda. Hingga meraih kepala Amira untuk mencium bibirnya. Mata Amira mengerjap, mencoba mencerna kelakuan suaminya. Namun, lidah yang mengajak gulat membuat Amira membalas. Ponsel miliknya dibiarkan jatuh di atas sofa. Ilyas merasa tak cukup hanya dengan ciuman jika dengan Amira. Dia ingin lebih, apalagi tiadanya penolakan sedikit pun dari sang istri. Jemari Ilyas sudah sibuk membuka kancing baju Amira. Hingga pergulatan lidah mereka berdua langsung terhenti, ketika pintu apartemen diketuk. Amira memandang heran, siapa yang datang malam begini. Helaan napas Ilyas meresap ke udara. "Sialan, ganggu saja." Meski begitu, Ilyas bangkit dari duduk dan berjalan pergi untuk membuka pintu. Amira sendiri membenarkan kancing bajunya yang terlepas satu. Ilyas memesan makanan dari luar lagi, karena tidak ada bakat terpendam di antara dia dengan Amira soal dapur. Mata Ilyas langsung menyorot tajam pada pengantar makanan. "Ini makananya, jangan lupa beri rating dan komentar ya," ujar pria tersebut sembari tersenyum lebar. Namun, Ilyas yang kesal menutup pintu sembari berkomentar, "rating satu dan komentar pengganggu." Pengantar makanan itu sempat menampilkan wajah heran sebelum pintu benar-benar tertutup. Ilyas duduk lagi di sisinya sembari meletakkan makanan di atas meja dengan raut kesal. "Beli makan di luar lagi Pak, eh Mas. Uangnya kan sayang kalau makan tiga kali sehari," komennya dengan tangan ingin mengambil makanan. Namun, Ilyas langsung memegangi tangannya. "Masih mending beli di luar, ketimbang bayar ganti rugi." Amira langsung cemberut begitu disindir lagi. Ilyas mengeluarkan menu yang untuk dirinya, yakni makanan tanpa ada rasa pedas lagi. Mata Amira melirik ke arah menu milik suaminya yang sedikit pedas. "Mas, tukar," pintanya. "Makan." Amira mengabaikan makanan miliknya dan menempel pada suaminya untuk melihat cabai yang membuat kaldu di sana memerah. Ilyas memandang Amira dengan tajam. "Tuli? Aku suruh kamu makan." "Cicip sedikit ya Mas, satu sendok juga tidak masalah." Ilyas masih menatap tajam. "Tidak sayang sama lambung kamu?" "Kan sedikit saja Mas Ilyas. Aku kasih jatah deh ya?" Pandangan Ilyas seketika menjadi tertarik. "Jatah yang itu kan? Di atas ranjang." Amira mengangguk dengan pandangan tertarik pada makanan. "Iya." Ilyas tersadar dari pemikiran buruk itu. Hingga menutup menunya di hadapan Amira yang sudah ngiler. Melihatnya Amira memandang kesal. "Mas ih! Tega sekali." "Tega begini juga demi kebaikan kamu. Kalau lambung kamu parah, operasi juga belum tentu bikin kamu hidup." Amira langsung lesu mendengar ucapan dari Ilyas yang sangat menyadarkan dirinya. Kemudian terpaksa membuka makanan miliknya sendiri dan mulai melahap. *** "Kalau perlu sujud, aku bakal sujud Mba, sumpah." Amira saat ini berdiri di hadapan Lusi dengan wajah memelas. Pasalnya Lusi juga kena getahnya, dimarahi oleh pemilik kursus karena dirinya. Lusi tersenyum. "Masa bodoh dengan dapurnya, Ra. Selama tidak ada korban jiwa." Lantas pandangan Lusi tertuju pada tubuhnya. "Kamu sendiri tidak ada luka kan?" "Hati aku yang terluka Mba, tidak enak sama Mba." Lusi meraih tangannya dan ditepuk pelan. "Tidak enak apa sih? Malah aku cemas saat dengar beritanya. Justru aku lega kamu baik-baik saja." Amira yang menundukkan kepala membuat Lusi menepuk lengannya. "Lebih baik minta diajari sama ibu atau orang yang kamu percaya, Ra. Dengan begitu lebih fokus mengajari kamu." Mendengarnya, Amira langsung mendapat ide dan menargetkan Lusi. Namun, seniornya ini langsung membentuk silang dengan kedua tangan. "Please, aku sibuk sendiri mengurus suami sama anak." Sewaktu pulang kerja. Amira keluar dari lift dengan hati-hati. Memilih datang ke tempat kursus sendirian, kemudian beralasan lupa pada suaminya yang menjemput dan mengirim alamat. Namun, begitu keluar dari area absensi. Amira menemukan sosok Ilyas sedang duduk di sofa lobi dengan mata tertuju padanya. Amira tersenyum canggung, dan terpaksa jalan mendekati suaminya. "Kenapa sampai menunggu di dalam?" tanya Amira dengan nada sedikit protes. Ilyas bangkit dari duduk dan mendahului langkah kakinya. "Nanti ada yang kabur, banyak alasan pula." Amira langsung diam karena merasa tersindir. Kemudian berjalan mengikuti suaminya, namun rupanya Ilyas tak kunjung berhenti bicara. "Satu mobil sama suami, kayak serasa mau diculik terus dijual." Amira memberanikan diri untuk memukul lengan suaminya. "Biasanya juga pendiam, kenapa banyak omong?" Ilyas melirik sekilas, kemudian jalan lagi dengan ekspresi datar. Amira menghela napas, berusaha untuk bersikap sabar. Padahal pada semua orang Ilyas lebih banyak diam, kenapa begitu di hadapannya pandai sekali itu mulut menyindir. Begitu di parkiran, Ilyas yang melihat Rion dari kejauhan berjalan memasuki gerbang kantor setelah meninggalkan mobil di depan jalan. Ilyas terburu memasukkan Amira secara paksa ke dalam mobil. "Aduh! Kakiku belum masuk semua," keluhan pun terdengar dari Amira. "Berisik." Mata Amira memandang kesal ke arah Ilyas yang jalan memutar dengan cepat, kemudian masuk ke mobil. Bahkan Amira belum sempat pakai sabuk pengaman, Ilyas sudah tancap gas membuatnya kaget. Ilyas melirik spion, melihat Rion dicegat oleh satpam saat ingin masuk ke kantor. Ilyas langsung tersenyum sinis, dia telah merasa menang. "Kepalanya aman Mas? Tidak kejedot di mana pun kan selama perjalanan?" tanya Amira saking herannya. "Aman." "Habisnya Mas kayak orang gitu, otaknya sedikit gesrek." Ilyas langsung mendelik tajam begitu dikatai gila oleh istri. Amira sendiri memilih menghindari tatapan suaminya dan membuka kaca mobil. Membiarkan udara menerpa wajahnya. "Kamu tahu gunanya fitur blokir?" tanya Ilyas tiba-tiba. "Ya aku tahu, aku kan bukan manusia purba." "Gunakan itu pada nomor Rion."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN