5. RED FLAG

1680 Kata
Happy Reading ^_^ *** "Demi apa orang tua lo ngejodohin lo sama Devian Mahendra yan dulunya mau nuntut lo? Demi sihhhhh...." Kehebohan selalu tercipta kalau dua teman itu bertemu. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat mereka adalah teman kuliah yang senasib sepenanggungan. Dan lucunya, selayaknya semesta yang ingin terus mereka bersama, keduanya pun bekerja di tempat yang sama. Bedanya, Jessica sudah resign sedangkan temannya tersebut -Denise Kaleela Septianada- masih bertahan di rumah sakit. Kembali pada sahabat yang kini tengah bercerita -atau bahasa gaulnya disebut bergosip- Jessica dan Denise sama-sama menelungkup di atas kasur. Kedua tangan mereka tampak mengguncang bahu rekannya sebagai bentuk dari rasa gemas keduanya akan situasi ini. "Demi Tuhan, Den. Gue juga tadinya nggak mau percaya, tapi yaaa ternyata memang beneran dia. Lucu banget kan takdir ini?" "Emak bapak lo kok hebat banget sihh relasinya? Mau dong satu paket spesial kayak doi." kata Denise. "Tapi wajar sih, bapak lo dosen. Kenalannya pasti nggak kaleng-kaleng." "Eyyy jangan salah. Ini bukan karena emak bapak gue, tapi karena kebaikan gue di masa lalu yang sempet nolongin nenek dia pas di UGD. Ya bener sihh perantaranya melalui Mama karena diajak arisan sama temennya yang lain sampe akhirnya ketemu Mamanya si Devian, tapi tetep dong ini karena sikap baik hati gue udah mulai membuahkan hasil." kata Jessica berbangga diri. "Wait, wait," Denise mengangkat tangannya. "Kapan lo nolongin si Devian-Devian itu? Kok beritanya nggak pernah sampe ke gue?" "Itu looohh pas gue lagi banyak-banyaknya masalah dan gue demam trus ke UGD sendirian kayak anak ilang..." Jessica mengode agar Denise paham. Matanya yang membeliak cukup menjadi pertanda bahwa temannya itu sudah ingat dan dia bisa melanjutkan kalimatnya. "Pas itu banget Devian sama Mamanya dateng ke UGD. Neneknya udah butuh pertolongan banget karena udah ditolak di mana-mana. Di UGD kita juga sebenarnya udah mau ditolak, tapi karena gue kasian, ya udah deh gue kasih bed gue buat neneknya. Bahkan karena orang lab lama, gue bantuin juga tuh si nenek buat screening dan ambil darah. Yah, berkat spontanitas itulah si Devian Mahendra kayak berhutang budi ke gue. Makanya Mamanya kegirangan dan secara spontan minta izin buat ngenalin si Devian ke gue melalui Mama gue." "..." "Yahh kira-kira begitulah kisah singkatnya." Denise manggut-manggut sebagai pertanda bahwa dia sudah cukup mengerti. Atau lebih tepatnya sih tidak peduli. Karena, mau bagaimana pun kisah awalnya, yang paling menarik adalah cerita akhirnya yang mengandung banyak plot twist sekali. "Anjir, berasa lagi didongengin tahu. Kayak nggak nyata bangettt," Denise heboh sendiri. "Trus gimana respon dia? Dia baik? Welcome nggak nih sama lo?" Jessica mengangkat bahunya. "Sejauh ini dia cukup baik. Tapi hanya untuk sebatas teman aja. Nggak lebih." Denise menggoda Jessica dengan menoel-noel dagu perempuan itu. "Ah elah lagak lo kayak iya-iya aja. Diajak kawin hari ini juga pasti lo mau-mau aja." katanya yang seolah-olah mau mengingatkan Jessica kalau mereka pernah bergosip tentang sosok Devian Mahendra yang suamiable, pelukable, dan kissable. "Nikah ya bukan kawin. Gue nggak kayak lo ya yang urutannya di balik." jawab Jessica dengan mata mendelik. Meski berteman dengan Denise yang agak bobrok, tapi Jessica masih bisa menjaga diri. Sejauh ini skinship yang pernah dilakukan dengan mantan-mantannya adalah berciuman. Itu pun dia lakukan dengan mantannya yang kata sang mama seperti pulu-pulu. Semakin ke sini, Tuhan seperti ingin Jessica berkembang sehingga menghadirkan pria yang orientasinya tidak melulu ke arah hal-hal m***m. Yah, itu adalah hal yang baik, sampai Tuhan memberinya cobaan lain yang membuat mereka tidak bisa bersama terlepas sudah berapa persen mereka tumbuh dan menjadi lebih dewasa bersama. "Tapi, sejujurnya, kalo orangnya Devian ya gue akan pikir keras. Persis seperti kata-kata gue, dia memang baik tapi hanya untuk dijadikan teman. Suami? Kayaknya bakal bikin makan hati deh." Denise tertarik dengan topik baru yang dibuka oleh sahabatnya. Perempuan yang usianya sama dengannya -hanya berbeda beberapa bulan- tersebut tampak menopangkan kedua tangannya ke dagu. Dia menanti dengan mata yang berkedip-kedip lucu. "Dia memang baik, tapi dia orang paling red flag sejauh ini." "Alasannya?" "Lo tahu kan gimana spanengnya gue karena emak gue jodohin gue? Gue langsung berasa kayak nggak laku banget. Hopeless-lah." cerita Jessica. "Tapi lo tahu gimana respon dia?" Denise menggeleng. "Dia super santai." "Bagus dong, artinya dia welcome dong dengan perjodohan ini. Besar kemungkinan kalo lo bakal lolos." Jessica menggeleng dramatis. "Katakanlah dia welcome kepada gue, tapi itu bukan bentuk ketertarikan, tapi hanya sebatas kesopanan. Semacam penunaian tugas aja supaya nyenengin Mamanya yang udah usaha menjodohkan dia." Jessica berujar lambat-lambat untuk memastikan Denise bisa memahami seberapa red flag-nya seorang Devian Mahendra dengan baik. "Lo paham kan maksud gue sampe sini?" Denise mengangguk kaku. Sedikit-sedikit dia paham, tapi dia masih mencoba menyangkalnya. "Tapi... mungkin nggak sih kalo itu cuma semacam pengalihan kesan doang? Tapi aslinya dia nggak kayak gitu. Dia cuma ngetes lo doang kali." Jessica menjentikkan jarinya ke arah Denise. "Semua kemungkinan itu bisa aja terjadi. Bahkan, kemungkinan paling aneh kayak Devian itu sebenernya cinta mati ke gue karena kebaikan gue trus dia berusaha nyari gue setengah mati dan merancang perjodohan ini—or whatever!!" kedua tangan Jessica menyilang dengan tegas. "semua itu memang mungkin tapi gue nggak mau mengkhayalkannya. Kalo nggak sesuai kenyataan, sakitnya tuh di sini, tsayyyy." Jessica menunjuk dadanya. "Apalagi Devian sendiri yang bilang bahwa dia nggak pernah menganggap perjodohan ini sebagai perjodohan. Dia cuma nganggep ini sebagai ajang cari relasi." "Anjing!" Kalimat mutiara Denise akhirnya keluar juga. "Seriusan dia ngomong kayak gitu?" Jessica mengangguk. "Gila, gila, gila. Ada ya orang kayak gitu? Mungkin karena dia sadar kalo dia itu valuable banget sebagai laki-laki mapan yang masih single. Makanya dia sesombong itu pada orang yang dijodohkan ke dia." Denise menggerutu. Kesan baik Devian luntur tergantikan oleh rasa jengkel. "Dari gelagatnya, gue yakin itu bukan perjodohan pertamanya. Tapi karena dia ada di depan gue untuk case yang sama, itu artinya perjodohan dia sebelum-sebelum ini nggak ada yang berhasil. Dan ini make sense dengan kata-kata dia yang menyebut bahwa kalo pertemuan kencannya lancar, maka dia dan perempuan itu bisa berteman baik. Kalo nggak ya cukup kenal aja." Jessica menunjuk dirinya dengan sebal. "Dan case gue itu sama. Gue nggak akan mencapai posisi pacar atau istri, karena pada dasarnya dia nggak sedang mencari posisi itu. Dan Welcome To The PHP-PHP Club. Silakan dinikmati, tapi jangan pake hati. Kalo lo ngeyel, siap-siapa aja patah hati." Jessica setengah bangkit untuk mengekspresikan kalimat terakhirnya yang sudah seperti puisi empat karat kebanggan Ijat. Tapi sejujurnya dia sebal juga karena hal semacam ini kembali menimpa hidupnya. Sekalinya ada pria yang begitu valuable -tampan, mapan, baik, dan seiman- eh ternyata tetap tak bisa bersama karena si pria tidak berminat serius dengannya. Astaga, padahal jembatannya sudah cukup kuat di mana sudah ditopang oleh kedua keluarga. Tapi kenyataannya tetap tidak berhasil juga. Apes, apes. "Gay kali ya? Masa lo yang bahenol gini nggak menarik minat dia sama sekali?" Jessica mendengus pada pemilihan kalimat yang dipakai Denise untuk menjelaskan betapa berisinya Jessica di bagian-bagian yang bisa dibilang 'aset'nya perempuan. "Seharusnya sih nggak. Dia hampir menikah kok, tapi batal." "Dan batalnya karena?" "Calonnya meninggal." Denise terperangah. Dia tidak menyangka bahwa masih ada plot twist lain tentang perjodohan temannya ini. "Gue dikasih tahu sama Mama. Ya biasalah, gue penasaran dan ngorek-ngorek sedikit pas emak gue itu lagi nyeterika baju. Keceplosan deh sampe ke hal itu." "Jadi maksud lo, meninggalnya si calon itu bikin si Devian-Devian ini gagal move on gitu? Makanya dia menutup diri sampe sekarang?" "Maybe, yes. Or, maybe no. Nggak tahu juga sih," Jessica mengangkat bahunya. "Gue nggak mau berurusan dengan pria semacam itu. Gue sama pria yang udah selesai sama masa lalunya aja masih gagal, apalagi mau sama laki-laki yang belum move on? Dan belum move on-nya karena si perempuan meninggal lagi. Artinya, lo tahu kan sebesar apa cintanya dia? Alamat gue makan hati tiap hari." *** Mepet is my life... bisa dibilang itu adalah slogan hidup Jessica semenjak bekerja di perusahaan barunya. Kalau selama di rumah sakit dia punya kesempatan untuk bangun siang pas masuk siang atau pun saat masuk malam, maka di tempat kerja barunya jangan bermimpi. Jadwal kerjanya always pagi, tanpa ada dinas siang atau pun malam. Dan semua itu dihitung dari jam delapan pagi tettt sampai jam empat sore tettt. Baiklah, baiklah, jadwal itu bisa dibilang manusiawi. Tapi masalahnya Jessica masih kesulitan dalam hal memanajemen waktunya. Belum mandinya, belum ngalisnya, belum juga macet-macetannya! Intinya setiap pagi dia selalu tertekan. Sebenarnya gaji Jessica cukup. Hanya saja, alih-alih tinggal di kos-kosan yang lebih dekat, Jessica lebih memilih tinggal di rumah kedua orang tuanya yang dulunya disewakan. Jadi budget untuk tempat tinggal bisa dia alihkan untuk ditabung atau lebih seringnya untuk membeli barang-barang tidak berguna di salah satu marketplace. Resikonya? Ya jelas efisiensi waktunya. Jarak rumahnya sampai ke perusahaan membutuhkan waktu sekitar tiga puluh lima menit sampai empat puluh lima menitan. Itu kalau pakai motor, beda cerita kalau memakai mobil. Bisa satu jam lebih! Lumayan jauh memang, tapi kalau dibandingkan dengan kawan-kawannya yang sampai harus transit KRL beberapa kali, kondisi Jessica tetap lebih mending. Apalagi dia punya motor pribadi yang dibelinya saat COVID masih melanda dan para nakes mendapatkan gaji tambahan dari insentif tersebut. Hidup Jessica benar-benar tergolong nyaman, hanya saja dia kurang pintar mengaturnya saja. Makanya Jessica masih bertahan dengan kondisi ini meski tiap pagi harus ya Allah-ya Allah terus. Kembali pada sosok Jessica yang tampak mengejar waktu absensinya, Jessica pun berlari. Meski larinya tidak terlalu kencang, tapi cukup untuk membuat perempuan itu ceroboh seketika. Di tikungan yang mengarah ke tempat absen, Jessica tidak menjaga jarak sehingga dia bertabrakan dengan seseorang yang kembali setelah absen. Tidak sampai jatuh memang, tapi cukup membuat Jessica mengaduh. Dadanya keras sekali, pikirnya. Sambil mengusap keningnya, Jessica berjongkok untuk memungut kunci motornya yang terjatuh. Tadinya dia mau protes, sampai tubuh keduanya sejajar dan Jessica melihat siapa orang tersebut. Demi semesta beserta isinya, tolong jelaskan kenapa dia harus bertemu dengan pria yang beberapa hari ini begitu dihindarinya? Bahkan dia sudah sampai di titik sengaja tidak membaca chat pria itu, tapi kenapa sekarang dia terpampang nyata di depannya? Sebelumnya Jessica tidak pernah mempermasalahkan keberuntungannya. Dia juga tidak berharap akan super hoki. Tapi mbok ya jangan apes-apes kenapa sih?! TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN