6. KENA ULTI

1490 Kata
Happy Reading ^_^ *** "Kenalin, ini Pak Devian Mahendra. Selama Ibu Juwita cuti melahirkan, Pak Devian inilah yang bakal gantiin beliau." Mendengar itu, kepala Jessica semakin menunduk dalam. Kalau bisa, dia ingin sekali menghilang dari tempat ini. Astaga, sejak kencannya itu, Jessica sengaja merespon chat pria itu dengan cuek. Bahkan terakhir kali Jessica sengaja untuk tidak membuka chat pria itu. Pikirnya, itu bukan masalah karena dia tidak terlalu kenal Devian Mahendra. Apalagi tempat kerja mereka yang tergolong jauh sehingga kecil kemungkinan untuk berinteraksi kembali. Tapi siapa sangka ini akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Apes, apes. "Hai, salam kenal semuanya. Saya sebenarnya pegawai pusat, tapi karena divisi ini lagi kekurangan orang, jadi saya diutus untuk turun ke sini. Kayaknya umur kita nggak beda jauh, jadi santai aja ya." Kata-kata semacam ini yang keluar dari mulut atasan lumayan patut untuk dicurigai. Terakhir kali atasan berkata begitu, besoknya beragam lemburan langsung berjejer. Apalagi sekarang lab sedang dalam proses akreditasi, jadi perkataan manajer pengganti itu bisa dibilang omong kosong. "Oh iya, sebagai ucapan makasih atas penerimaannya yang baik, saya mau ngadain makan-makan. Kalian sukanya apa? Boleh request." Sosok Adrian yang selalu tampil necis itu sudah siap dengan ide briliannya. Apa pun itu pasti tidak jauh-jauh dari makanan fancy yang bisa dibilang mahal. Antara polos atau sengaja ingin memiskinkam si manajer baru. Tapi aksinya ini dihentikan oleh Mas Anton. Tangan Adrian pun ditarik paksa oleh Mas Anton dan dialah yang mengambil alih hal ini. "Seriusan ini, Pak?" Mas Anton memastikan. Jangan sampai semua itu hanya basa-basi semata tapi orang-orang sudah menganggapnya dengan serius. "Serius dong. Kalian sebut aja. Atau mau dine in aja di restoran?" Anton dan Adrian saling berpandangan. Dari mata mereka, dapat diketahui bahwa saat ini mereka sedang memperdebatkan sekaya apa Devian Mahendra sampai berani menawari dine in di restoran. "Pizza aja, Pak." "Sama kopi!" Selorohan polos Saras membuat beberapa orang langsung menatapnya dengan horor. Dia salah tingkah. "Kalo pizza doang rasanya seret, Mas. Kan perlu minum. Dan kopi kayaknya masuk..." kilahnya dengan cengiran malu. Lagipula, perkataannya benar kan? Kalau ada makanan ya harus ada minuman. Lagipula dia tidak menyebut kopinya harus merek apa. Dikasih kopi hitam super pahit juga mereka semua tetap akan bersyukur. Begitulah hakikatnya dikasih sesuatu oleh seseorang, apalagi bos mereka sendiri. "Pizza, kopi—noted. Ada lagi nggak? Jangan sungkan, seriusan. Tadinya saya udah inisiatif nanya ke seseorang tentang kalian sukanya apa biar kalian nggak perlu ngerasa nggak enak kayak gini. Tapi ternyata chat saya nggak dibalas. Jangankan dibalas, di read aja nggak. Jadi yaaa beginilah." Dalam posisi menunduk, Jessica tampak menelan ludahnya dengan susah payah. Dia agak tertekan karena belum apa-apa dan dia sudah diulti oleh Devian. Sungguh tak terbayang bagaimana nasibnya selama tiga bulan ke depan. "Jessica ada kepengenan apa?" Baru juga melirik sedikit dan dia sudah diskak lagi. Sialan, sialanannnnn!! "Apa aja saya makan kok, Pak." jawabnya dengan senyum yang dipaksakan. "Bapak kasih batu bata topping coklat pun bakal saya makan kalo Bapak yang suruh." imbuhnya. Tak lupa juga Jessica menatap mata Devian untuk kesopanan. Tapi sialannya saat itu Devian juga tengah menatap ke arahnya. Jangan lupakan seringaiannya yang menjengkelkan. Sialan. Kenapa Jessica merasa kalau Devian tengah menyiapkan rencana usil untuk dirinya? "Tenang aja, saya nggak akan nyuruh kamu makan batu kok. Palingan nyuruh kerja yang bener aja biar ke gep dewan direksi lagi." Nah kannn!!! Haduuuhhh gustii. Belum apa-apa dan Jessica sudah angkat tangan. Bahkan kalau bisa dia mau angkat kaki sekarang juga. *** Waktu makan siang dihabiskan tim tersebut dengan makan bersama-sama di lab. Traktiran manajer pengganti mereka sudah lebih dari cukup untuk mengenyangkan mereka semua tanpa perlu harus keluar ruangan. Bagaimana tidak, pesanan mereka mungkin hanya pizza dan kopi, tapi yang tersedia di lapangan berbeda jauh. Bukan lebih sedikit, melainkan lebih banyak. Ada pizza, kopi, donat, sampai cemilan pelengkap lain yang tidak ada dalam daftar pesanan. Dari sini para pegawai meng-approved tentang betapa mampunya Devian Mahendra dalam bidang ini. Simpelnya adalah dia kaya. Tapi masih menjadi misteri akan seperti apa pria itu kalau sudah dalam urusan bekerja. Apakah akan lebih mudah, atau justru lebih sulit daripada Ibu Juwita selaku manajer penunjang mereka sebelumnya. "Gue jadi ngeri-ngeri sedep abis ini bakal disuruh kerja mati-matian. Traktirannya nggak main-main cuy," kata Mas Anton sambil melirik kopi fancy yang ada di depannya. Logonya saja sudah mengintimidasi. Apalagi pihak yang membelikannya. "Sama. Gue ngeri juga," sahut Jessica dengan tatapan menerawang sambil memakan pizzanya. Pikirannya yang kacau membuat pizza-nya terasa lebih alot. Dia yakin ini hanya perasaannya saja karena sosok Adrian dan Saras pun makan dengan lahap. Bahkan dua anak manusia absurd itu pun sudah minta izin untuk meminta makanan tersebut untuk dibawa pulang. "Masih ada nggak? Gue mau dong buat di bawa pulang. Lumayan buat cemilan bareng ayang nanti malem." Nah kan! Baru juga dipikirkan dan si Saras sudah merealisasikannya. Selain Jessica, Saras memang yang lumayan gercep tentang makanan gratisan. Adrian juga. Hanya saja untuk yang kali ini Jessica tidak akan sebrutal itu. Tidak sampai dia tahu motif seorang Devian Mahendra datang ke sini dan membuat perasaannya campur aduk. Jelas ini bukan karena pria itu terobsesi dengannya sampai mengejar Jessica ke sini hanya karena pesannya tidak dibalas. Sungguh tidak mungkin kan? "Ambil, Mbak, ambiiillll. Bawa aja semuanya kalo perlu." Jessica menyodorkan satu loyang penuh pizza yang belum dibuka. "Gue cuma mau minta ya, bukan ngerampok. Kalo satu loyang penuh ya gue nggak enaklah." katanya berbasa-basi. "Lo ambil satu dulu deh, gue sisanya nggak apa-apa." imbuhnya yang membuat Jessica mendelik kesal. "Gila lo. Gue makan satu aja ngeri-ngeri sedep, eh ini lo malah mau bawa pulang." celetuk Anton. "Ya ngapa sih pake ngeri-ngeri sedep? Tinggal makan doang kok pake ngeri." jawab Saras cuek sambil memilah potongan yang layak untuk dimasukkan ke dalam wadahnya. "Kasih tahu, Jess. Gue pusing ngejelasin sama bocah yang sukanya sama gratisan." Anton tampak gemas pada Saras yang tampak begitu positive thinking pada kehadiran sang manajer pengganti. "Gini lho, Mbak Saras," Jessica mencoba menengahi. "Sampe detik ini kita tuh belum tahu watak manajer baru ini. Dan Mas Anton memandang buat ke depannya. Iya kalo orangnya baik, kalo nggak? Alamat semua ini bakal diungkit seumur hidup. Gitu maksud Mas Anton, sist." "Dia udah traktir kita lho, emangnya belum menunjukkan kalo dia baik? Jarang-jarang lho ada bos kayak gini. Bu Juwita aja nggak pernah." "Ya justru itu!" Anton menjentikkan jarinya. "Bu Juwita aja nggak pernah, ngapain dia sebaik itu? Coba apa yang pengen dia dapetin dengan berbuat baik ke kita. Pasti ada lah! Nggak mungkin nggak ada. Inget, dia orang pusat. Kumpulan dia itu orang direksi woyyyy." Anton tampak menggebu-gebu mengingatkannya. "Lo nih kebanyakan suudzon jadinya negative thinking teroossss. Padahal kalo di logika, masuk akal lho Pak Devian berbuat baik. Sebagai orang baru di sini, wajar dong dia bersikap baik. Kan tiga bulan ini dia kerja di sini, kalo hubungan dia dengan kita nggak baik ya alamat kerjaan dia nggak beres. Kalo gitu yang rugi siapa? Dialah. Kita mah tetep santuyyy kayak biasa." Jessica dan Anton berpandangan. Logika Saras memang masuk akal, tapi tetap saja rasanya masih begitu janggal. "Kalo modelan Jessica wajar dia panik," Celetukan itu sukses menarik perhatian Jessica. "Kok gue sih?" "Sejauh ini yang pernah ke gep dewan direksi pas nggak fokus kan lo, Neng. Sampe akhirnya lo running sampel sambil diawasin sama Pak Devian dengan ketat. Secara nggak sadar, nama lo udah di underline sama dia, jadi wajar kalo lo was-was." Perkataan Saras seolah-olah mengingatkan Jessica pada kesalahannya. Pertama, dia pernah tertangkap basah tidak fokus saat bekerja. Pada saat itu juga dia langsung diawasi oleh Devian sendiri. Lalu kedua, dan menurutnya inilah yang paling fatal, Jessica mengabaikan pesan pria itu setelah keduanya kencan hari itu. Sial, sial, sial. Padahal niatnya hanya tidak mau terjebak di kehidupan pria yang rumit eh ternyata malah semuanya makin rumit. "Kalo yang aman mah amannn ajaa, tsayyy. Mau makan pizza satu loyang juga nggak masalah." imbuh Saras yang seolah-olah tengah mengejek Jessica yang saat ini tengah tertekan. Sialan, batin Jessica. Ingatkan dia untuk berbicara empat mata dengan Devian Mahendra mengenai ini. Jangan sampai pria itu menggunakan perasaan pribadinya dalam pekerjaan. Dan satu lagi, jangan sampai perihal perjodohan mereka tersebar. Bisa gawat!! "Siapa yang ngerasa was-was?" Sosok Adrian hadir dengan wadah makanan bening yang ditemukannya di pantry. Jessica sebagai pemilik wadah pun menunjuk wadahnya dengan curiga. "Lo mau ngapain bawa-bawa wadah gue, hah?" Adrian menampilkan cengirannya. "Mau gue pinjem. Gue juga mau bawa pulang, sister. Tenang aja besok gue bawa lagi deh." "Anjir," Jessica menggerutu. Sudah tak terhitung berapa wadah bekalnya yang mendarat di tangan Adrian dengan dalih meminjam tapi tidak pernah kembali. "Woy, itu kaca ya. Jangan sampe nggak balik. Gue lempar lo pake batu bata, Dri." Adrian mengangkat kedua tangannya sebagai bentuk damai pada Jessica. "Tuh liat, Adrian aja santuyy. Bahkan dia juga mau bungkus. Udah, Jess, kalo mau bungkus juga nggak apa-apa. Kita udah bestie kok jadi lo nggak perlu malu kalo mau ngejilat ludah lo sendiri." kata Saras lagi. "Kok kalian jadi nyerang gue sihh?!!" TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN