Anak berusia hampir lima tahun itu memperhatikan sang Bunda yang sedang memasukkan beberapa lembar pakaian ke dalam koper besar yang ada di atas ranjang.
"Bunda mau pergi ya?"
"iya."
" Kemana?”
"Bunda mau main petak umpet.”“
Hafiz boleh ikut?”
“Ngak boleh, kalau ikut siapa yang giliran cari bunda.”
“Papa sama Kak Hanum saja.”
“Ngak bisa, kan Papa kerja kalau Kak Hanum kan sekolah.”
“Bunda sembunyi sama Dedek juga?”
“Iya Dedeknya juga ikut, kan masih dalam perut Bunda.”
“Kalau begitu Bundanya jangan sembunyi lama-lama.”
“Kenapa?”
“Kalau hafiz ngak bisa temukan Bunda bagaimana?”
“Artinya Bunda belum bisa kembali ke rumah sini lagi."
“Kok Bunda belum bisa kembali ke rumah sini lagi?"
“Karena memang seperti itu nantinya."
"Terus Hafiz sama kak Hanum bagaimana? Siapa yang nanti mengurus Hafiz dan kak Hanum?"
"Ada Nenek."
"Nenek itu ngak suka sama Hafiz dan juga kak Hanum, nenek itu cuman suka sama kak Fani dan adik Azzam saja."
Wanita itu memandang sendu dengan mata yang berkaca-kaca pada hafiz dan kemudian memeluk serta mencium pucuk kepala anak laki-laki itu.
"Seandainya bunda punya hak atas kalian, akan bunda ajak kalian pergi bersama."
"Kalau begitu ajak saja hafiz, biar Papa dan kak Hanum saja yang cari."
Sudut bibir wanita itu melengkung sambil bergetar menahan tangis, sekali lagi memeluk Hafiz dengan erat.
**@@**
“Bagaimana Bram, sudah cari tahu kemana istrimu pergi?” tanya Ratmi begitu melihat putranya pulang dari bekerja.
Bram hanya menggelengkan kepalanya, “Belum Bu.”
Terdengar dengusan kasar sang ibu, “Benar-benar keterlaluan istrimu itu, Hafiz sakit malah kabur dari rumah."
“Apa sih maunya dia, kalau marah jangan lepas tanggung jawab begini,” omel Ratmi lanjut, “Bikin repot ibu saja, yang harus bolak-balik mengurus dua rumah sekaligus."
Bram tak mempedulikan omelan ibunya, dia masih berkutat dengan telepon genggamnya.
Entah dengan siapa Bram berkirim pesan atau dengan siapa dia berbicara di telpon.
“Pah, Hanum lapar,” anak perempuan berusia delapan tahun itu mulai merengek.
“Sebentar, Papa sedang terima telepon dulu,” Bram berjalan menjauh dari Hanum yang terlihat dengan wajah meringis karena lapar.
“Nek, Hanum lapar,” rengek Hanum pada Ratmi.
“Ck, anak ini bikin repot juga,” gumam Ratmi sambil melirik sekilas cucunya.
“Pergi ke rumah sebelah saja, minta makan sama bik Mar sana,” perintah Ratmi.
“Malas, ada Fani,” tolak Hanum untuk pergi ke rumah neneknya yang bertepatan di sebelah rumah mereka.
“Memang kenapa kalau ada Fani?” tanya Ratmi heran.
“Dia itu ...” perkataan Hanum terhenti saat mengingat sesuatu, “Ngak jadi.”
Hanum dengan langkah malas melangkah pergi meninggalkan Ratmi.
“Aawh..!
Teriakkan dari dapur membuat Ratmi maupun Bram terkejut, mereka segera pergi ke dapur dan kemudian mereka melihat Hanum yang menangis sambil memegang tangannya yang sedikit melepuh merah.
“Hanum kamu kenapa?” Bram berjalan mendekati putrinya.
“Tangan Hanum Pah, sakit,” bulir air mata keluar dari mata gadis kecil itu saat memperlihatkan kulitnya yang memerah dan melepuh karena percikan minyak goreng panas yang ada di wajan yang terlihat berisi telur.
“Kamu ngapain sih? Buat apa kamu di dapur sini?” bentak Ratmi saat menghampiri cucunya kemudian mematikan kompor.
“Hanum lapar Nek, makanya tadi mau goreng telur buat makan,” cicit gadis kecil itu saat melihat wajah marah Ratmi.
Bram hanya mampu menggelengkan kepalanya, rumah ini baru beberapa hari di tinggal istrinya tapi sudah mulai ada kekacauan yang sudah timbul.
"Obati Hanum dulu Bu, saya akan pesan makanan," pinta Bram sambil berlalu pergi.
"Kamu itu cuman bisa merepotkan saja," omel Ratmi sambil menarik lengan Hanum agar mengikutinya.
"Bu," panggil Bram sebelum ibunya berlalu pergi.
"Apa?" sahut Ratmi.
"Carikan aku pembantu untuk mengurus rumah ini dan juga anak-anak," pinta Bram.
"Lalu apa gunanya istrimu nanti kalau dia kembali, dia pasti keenakan karena urusan rumah sudah di lakukan oleh pembantu," ibunya berlalu dengan masih mengomel, tapi Bram hanya diam, tak menanggapi.
"Seharusnya istrimu tahu diri dan merasa beruntung, karena wanita seperti dia masih ada yang mau menikahinya apalagi bisa mendapatkan pria seperti dirimu," Ratmi pergi dengan sedikit menyeret lengan kurus Hanum.
Kau sudah mengusirku dari rumah ini jadi Aku akan pergi dan aku tidak akan pernah kembali ke rumah ini, karena aku tidak sudi hidup bersama pria munafik dan pezina seperti dirimu.
Perkataan itu masih terus terngiang di telinga Bram membuatnya menarik nafas panjang memikirkan nasib rumah dan juga anak-anaknya yang mulai terlihat terlantar.
Aku tidak pernah mengusir mu, aku hanya memintamu pergi untuk berpikir selama beberapa hari agar kau bisa menenangkan pikiranmu yang bukan-bukan, batin Bram, Tapi ternyata kau pergi lebih lama dari yang aku kira.