Beberapa minggu sebelumnya ..
Padma duduk di sudut ranjangnya, melihat pada jam di dinding, wanita itu hanya bisa menarik napas berat.
Hampir jam sebelas malam lewat, Padma baru mendengar suara mobil Bram datang, sengaja dia tidak menyambut kedatangan suaminya itu seperti biasanya.
Walaupun posisi Padma yang membelakangi pintu, dia tahu kalau pintu itu sudah terbuka dengan perlahan.
“Kupikir kau sudah tidur,” suara Bram terdengar pelan.
“Mas tahu aku tidak bisa tidur, kalau suamiku belum datang dari bekerja,” Padma menyahut tanpa melihat ke arah Bram.
“Rapat di kantor tadi ternyata berlangsung lama,” sahutan Bram di iringi dengan suara sepatu yang di buka.
“Rapat di kantor atau di hotel?” pertanyaan Padma tak langsung di jawab oleh Bram.
“Rapat di kantor tadi ..” ujar Bram.
“Di kantor atau di hotel?” sela Padma mengulang pertanyaannya.
Terdengar tarikan napas berat, “Hotel.”
“Apa itu hanya sekedar rapat?” Padma terus bertanya tanpa melihat pada Bram sama sekali.
“Benar-benar rapat,” sahut Bram penuh penekanan.
“Jangan berbohong, lalu yang ini apa?” Padma berbalik dan melempar ponsel miliknya ke samping Bram.
Dengan wajah terlihat lelah Bram segera mengambil ponsel Padma dan melihat apa yang ada di layar sana.
“Itu yang kau sebut rapat?” terdengar pertanyaan tajam dari Padma.
Bram melihat beberapa tangkapan layar tentang status Puspa, di mana momen terlihat Puspa sedang meniup lilin yang berada di atas kue yang di pegang oleh Bram dan mereka terlihat tertawa bahagia.
“Padma, ini tadi ..” ujar Bram berusaha terlihat tenang.
“Wow! Jadi itu yang kau sebut, rapat tentang perayaan penuh makna karena melewatkan ulang tahun dengan seseorang yang berarti sekali,” Padma mengutip dan membacakan ulang status di tangkapan layar tersebut.
“Terdengar hebat, kau bisa mengingat dan merayakan ulang tahun Puspa dengan senyum bahagia,” ujar Padma terdengar sinis dan geram, “Tapi kau tidak bisa mengingat dan merayakan ulang tahun Hanum, apalagi tersenyum bahagia untuk itu minggu yang lalu.”
“Itu ..” terdengar jeda dari suara Bram seperti sedang berpikir, “Aku lupa.”
“Tentu saja kau lupa, karena saat itu kau sedang asyik mengajak Puspa dan anak-anaknya pergi berlibur di Bandung” Padma terdengar mulai muak.
Bram mengingat minggu yang lalu, “Aku sedang tidak Berlibur, aku juga sedang ada rapat di sana bersama Puspa yang terpaksa mengajak anak-anaknya karena ibu sedang sakit, kau tahu itu.”
“Kau berbohong lagi, ibu tidak sakit saat itu dia asyik pergi pelesiran dengan teman-teman ke puncak,” terang Padma yang membuat Bram terkejut.
“Jangan bersikap berpura-pura, kau sebenarnya tahu tentang ibu waktu itu,” sindir padma.
“Aku benar-benar tidak tahu tentang ibu waktu itu,” bantah Bram, “Soal Hanum, kita bisa merayakannya besok kalau kau mau.”
“itu sudah basi,” Padma mengibaskan tangannya, “Kami sudah merayakannya dengan meriah tanpa kalian.”
Bram kemudian menarik napas berat, “Aku lelah Padma, bagaimana kalau kita membicarakan ini besok lagi.”
“Lelah? Lelah?” berulang kali Padma mengatakan lelah, “Tapi saat bersama Puspa dan anak-anaknya kau tidak lelah.”
“Tak perlu membawa-bawa Puspa, tadi itu ..”
“Sejak kapan kau dan Puspa mulai berselingkuh di belakangku?” sela Padma dengan pertanyaan yang membuat ekspresi wajah Bram terkejut.
“Berselingkuh?” Bram mengulang perkataan Padma.
“Apa sejak kalian berdua bekerja bersama-sama?” Padma terus bertanya tanpa mengindahkan keterkejutan Bram.
“Kau menduga juga berprasangka aku dan Puspa berselingkuh?” tanya Bram sambil menunjuk pada dirinya.
“Tidak menduga, tapi memang kalian berdua berselingkuh,” tegas Padma.
“Kami tidak berselingkuh,” Bram tak kalah tegas, “hubungan Aku dan Puspa tidak seperti yang kau sangka.”
“Kau pikir aku percaya dengan ucapanmu?” Padma menggelengkan kepalanya, “Laki-laki yang mulai berbohong dan suka mencari alasan pada pasangannya, dan mulai abai pada keluarganya sendiri itu adalah laki-laki yang berselingkuh.”
“Aku tidak berselingkuh,” bantah Bram.
Padma kembali melemparkan sesuatu pada Bram, beberapa foto terlihat di sana.
“Itu kau bersama Puspa, sewaktu di hotel di Batam,” Padma kembali melemparkan kembali beberapa lembar foto lagi, “Itu waktu di Singapura.”
Bram mengambil foto-foto itu dan melihatnya satu persatu, kemudian memandang tajam pada istrinya, “Kau memata-mataiku Padma?”
“Aku tidak melakukan itu, tapi seseorang yang kebetulan mengenal siapa kau, melihat tanpa sengaja,” terang Padma, “Hebat di sini Puspa menggunakan hijab, dan terlihat alim tapi begitu di tempat yang jauh di melepaskannya dan berzina dengan suami orang!”
Plak!
Padma terkejut dan langsung memegang pipinya yang terasa perih, matanya langsung menatap nyalang pada Bram.
Sementara Bram sendiri terkejut dengan apa yang dia lakukan, “Padma, aku ..”
“Kau sudah berselingkuh dengan Puspa,” suara Padma mulai bergetar menahan tangis, “Dan sekarang kau berani menamparku?”
“Aku tidak bermaksud melakukan itu tadi,” sesal Bram berusaha meraih Padma, tapi langsung di tepis dengan kasar, “Kau sudah membuat tuduhan yang tidak benar soal aku, apalagi Puspa.”
“Tapi itu benar! Kau dan Puspa sudah berzina di sana dan mungkin kau juga barusan melakukannya di hotel sambil merayakan ulang tahunnya!” Padma terlihat emosi.
“PADMA!” bentak Bram kembali mengangkat tangannya, tapi kemudian di urungkannya.
Kemudian Bram terduduk di tepi ranjang, “Pergilah dari hadapanku sekarang Padma, aku tidak ingin melakukan hal yang akan membuat kau atau aku menyesal nanti."
Padma hanya mengangguk dan berusaha untuk menyembunyikan kepedihan hatinya, "Baik, aku aku akan pergi dari rumah ini sesuai keinginanmu, Mas."
"Aku tidak memintamu untuk pergi dari rumah ini Padma, aku hanya memintamu untuk pergi dari hadapanku," sahut Bram.
"Aku akan pergi dan aku tidak akan pernah kembali ke rumah ini, karena aku tidak sudi hidup bersama pria munafik dan pezina seperti dirimu." lanjut Padma sambil berusaha menahan air mata yang akan jatuh.
"Tak ada perselingkuhan dan aku tidak berzina," desis Bram menahan diri untuk kembali marah karena tuduhan itu.
"Tapi aku tetap pergi," Padma terdengar bersikeras.
"Lalu bagaimana dengan anak-anak?" tanya Bram memandang lekat pada Padma.
"Kau urus lah mereka dengan baik, karena mereka berdua adalah tanggung jawabmu," suara Padma terdengar berat, "Berikan perhatian dan jangan abaikan mereka, hanya untuk menyenangkan hati selingkuhanmu."
Bram menarik napas berat, "Pergilah untuk menenangkan dirimu selama beberapa hari, dan cobalah untuk membersihkan pikiranmu dari hal-hal yang akan merusak semua yang kita miliki saat ini."
"Dan selama kau pergi aku tidak akan menghubungimu, sampai kau benar-benar mengakui kalau pikiranmu itu salah besar," lanjut Bram beranjak pergi meninggalkan kamar tidurnya bersama Padma.