Avin datang dengan pakaian yang terlihat kusut, sepertinya dia baru saja pulang bekerja.
Pria itu melihat ke arah Azzam yang meloncat-loncat untuk meraih kotak mainan yang di peluk Avin, yang datang dengan banyak barang di tangannya yang lain.
“Mau! Mau!” seru Azzam dengan wajah yang girang.
“Maaf nak, ini bukan untukmu,” Avin menggelengkan kepalanya dan tersenyum kecil sambil berjalan melewati Azzam menuju ke arah Hafiz.
“Aku mau! Aku mau!” Azzam berteriak sambil mengekori Avin.
“Ini untuk jagoan Om Avin, Hafiz,” Avin menyerahkan kotak mainan pada Hafiz dan meletakkan bungkusan lainnya di lantai.
“Terima kasih Om Avin,” Hafiz menerima kotak mainan itu dengan wajah yang berbinar senang di wajah tirusnya yang pucat, kemudian Avin melihat pada Hanum yang duduk di ujung ranjang tidur Hafiz, mengacak-acak rambut gadis kecil itu dan mencium pucuk kepala Hanum.
“Itu punyaku!” Azzam berusaha untuk meraih kotak mainan itu, tapi Avin mengendong anak itu dan membawanya menjauh.
“Aku mau itu!” Azzam menunjuk dan mencoba melepaskan diri dari gendongan Avin.
“Tolong,” Avin menyerahkan Azzam pada Puspa yang menerima anaknya yang terlihat meronta-ronta.
“Aku mau itu!” Azzam mulai terdengar merengek-rengek dan menunjuk pada kotak mainan yang di pegang Hafiz.
“Iya, sebentar kita minta sama kak Hafiz ya,” Puspa berdiri sambil mengendong Azzam dan Avin langsung menatap pada Puspa.
“Jangan di biasakan anak di ajarkan merebut atau mengambil barang yang bukan miliknya apalagi bukan haknya,” tegur Avin pelan tapi terdengar tegas, yang langsung membuat Puspa langsung menghentikan langkahnya.
“Nanti Azzam akan menangis,” Puspa memberikan alasannya sambil mencoba menenangkan Azzam yang mulai menangis sambil memukul-mukul di bahunya dengan marah.
“Kalau begitu berikan pengertian, sebagai orang tua kamu pasti paham bagaimana bisa membuat anakmu mengerti tentang mana yang boleh dan mana yang tidak,” Avin masih berdiri di hadapan Puspa.
“Tapi, biasanya ...” Puspa terlihat mulai kewalahan dengan sikap dan tangis Azzam dan menengok ke arah Bram dengan wajah memohon.
“Tolong berikan saja, nanti aku akan membelikan mainan yang lain untuk Hafiz,” Bram berdiri dan mencoba ikut menenangkan Hafiz.
“Memang kau ingat untuk mengganti setiap barang Hafiz yang di berikan pada Azzam?” Padma berdecak dan mencibir, “Aku rasa tidak.”
Membuat Bram terkejut tak bisa bicara untuk membantah, karena dia tahu apa yang di katakan Padma itu benar, “Aku akan membelikannya kali ini.”
“Mainan itu tidak seberapa harganya, daripada Azzam terus menangis, lebih baik berikan saja,” Ratmi ikut bicara dan berjalan mendekati ranjang Hafiz mencoba meraih kotak itu, tapi langsung di peluk Hafiz erat.
“Sini berikan pada adek Azzam, kasihan dia kalau terus menangis,” perintah Ratmi mengulurkan tangannya meminta, tapi Hafiz menggeleng dengan mata yang berkaca-kaca.
“Jangan coba-coba untuk mengambilnya, saya membelikan itu untuk Hafiz, bukan untuk yang lain,” peringat Avin melangkah mendekati Ratmi dan berdiri di hadapan wanita yang tingginya tak sampai sebahunya.
“Itu hanya sekedar mainan, apa sulitnya memberikan dari pada membuat Azzam menangis seperti itu, kasihan sekali melihatnya, ” Ratmi terlihat memaksa, “Dan kamu dengarkan kalau nanti Bram akan menggantinya.”
“Anda kasihan melihat Azzam menangis, tapi tidak kasihan melihat Hafiz yang sedang sakit, menangis?” Avin menaikkan sebelah alisnya dengan heran dengan tetap pandangan yang tajam.
“Hafiz itu harus mengalah pada Azzam, karena dia itu masih kecil,” Ratmi masih bersikeras dengan memberikan alasan, “Apalagi Azzam itu anak yatim.”
“Jangan hal itu di jadikan alasan, kurang mengalah apa Hafiz pada Azzam? Dengan membiarkan Bram dan Anda, sibuk menyenangkan hati mereka, sementara Hafiz hampir merenggang nyawa di rumah hanya berdua dengan Hanum?” Avin mulai terlihat emosi sambil mengacungkan telunjuknya pada Bram dan Puspa.
“Keterlaluan,” desis Padma mendekati Hafiz dan memeluk bocah itu yang terlihat menangis tergugu dengan mendekap mainan pemberian Avin, di ikuti oleh Hanum.
“Kalau kalian kesini hanya ingin menyakiti hati anak-anak, apalagi Hafiz yang sedang sakit, sebaiknya kalian pergi saja!” usir Padma memandang marah pada Ratmi, Puspa dan terutama pada Bram dengan penuh emosi.
Melihat bagaimana pandangan Padma yang terlihat marah dan emosi, membuat Bram menyadari kalau situasinya tidak akan baik.
Apalagi Bram memandang pada padma yang sedang memeluk Hafiz dan juga Hanum, kemudian dia membisikkan sesuatu pada Puspa yang di ikuti oleh anggukan kepala wanita itu yang masih mencoba membujuk Azzam yang menangis nyaring.
Bram segera mendekati ibunya, “Sebaiknya Ibu dan Puspa pulang dulu saja. “
“Tapi Bram, ..” bantah Ratmi.
“Tolong Bu,” pinta Bram, “Ini rumah sakit, jangan membuat keributan di sini.”
Ratmi mendengus kasar, kemudian dia menganggukkan kepalanya.
“Bawa pulang juga Hanum, tolong urus dia nanti di rumah,” Bram melihat pada Hanum.
“Ibu sudah sangat repot di rumah, jangan lagi ibu kamu suruh mengurusi Hanum,” Ratmi terlihat kesal sambil memandang Hanum.
“Hanum mau di dini saja, sama bunda dan adek Hafiz.” Hanum semakin memeluk erat Hafiz dan Padma.
****Otw****
Avin pulang setelah Puspa juga pulang di sertai dengan anak-anak-anaknya dan ibu Ratmi.
Tinggal Padma dan Bram, serta Hafiz juga Hanum dalam ruangan itu
“Kau pulang saja, tidak ada gunanya kau ada di sini,” perintah Padma pada Bram yang sedari tadi duduk diam di sofa di seberangnya.
“Aku akan menjaga mereka,” Bram menarik napas berat, dari tadi hanya itu yang keluar dari mulut Padma, mengusirnya pergi, “Kau bisa istirahat dan pulang ke rumah kita dengan Hanum.”
Padma tersenyum miring, “Itu juga yang kau katakan kemarin, tapi sampai pagi, batang hidungmu pun tidak kelihatan.”
“Aku ketiduran,” ujar Bram dengan mendesah panjang.
“Ketiduran? Atau setelah mengantar Puspa pulang kalian asyik tidur bersama?” Padma menyindir.
Bram memejamkan matanya dan terlihat wajah pria itu menegang, dia benar-benar tidak ingin berdebat panjang di situasi seperti ini, “Bisa kita tidak membahas ini sekarang, di sini ada anak-anak.”
Padma memandang pada Hafiz dan Hanum yang tidur berdampingan, “Mereka sudah tidur, tak akan mendengar apa yang kita bicarakan.”
Bram melihat pada Hafiz juga Hanum, kemudian pandangannya beralih pada Padma, “Tetap saja tidak pantas kita membicarakan hal ini, kalau sewaktu-waktu mereka bangun dan kemudian mendengar kau bicara seperti tadi.”
Padma terdiam sesaat, mungkin Bram ada benarnya dan kemudian dia pun mulai asyik dengan laptop yang ada di hadapannya serta mulai mengabaikan keberadaan Bram.
Bram memperhatikan Padma dan kemudian melihat ke perut istrinya yang mulai terlihat membuncit.
“Sudah jalan berapa bulan kandunganmu?” tanya Bram.
Padma tak menyahut dan masih tetap asyik dengan laptopnya.
“Apa kau rajin kontrol ke dokter kandungan?”
“Apa sudah terlihat jenis kelamin anak kita?” kembali Bram bertanya, tapi Padma tetap seolah tak mendengar.
Bram memperhatikan sikap Padma yang seolah tak mendengar semua pertanyaan yang dia ajukan, kemudian dia menarik napas panjang.
“Kapan sidang perceraian kita berikutnya?” Bram bisa melihat reaksi Padma yang begitu cepat saat dia melontarkan pertanyaan soal sidang perceraian.
“Dua minggu lagi,” sahut Padma dengan melirik sekilas pada Bram.
“Aku tidak ingin kita bercerai, kita masih bisa ..” ucapan Bram terhenti saat Padma berdiri dan menjauh untuk mengangkat panggilan telepon dari seseorang.
Padma keluar ruangan dan Bram dengan pelan ikut berdiri mengikuti langkah Padma, tapi langkahnya terhenti di pintu yang sedikit terbuka saat mendengar pembicaraan yang di lakukan oleh Padma.
“Bram masih ada di sini, Ana.”
....
“Dia sendirian, Puspa tidak ikut tinggal bersamanya di sini, wanita itu pulang dari tadi bersama ibu mertuaku dan anak-anaknya.”
...
“Tentu saja, kalau tadi tidak ada Avin yang membela, mungkin seperti biasa Bram akan membela kepentingan anak-anak wanita selingkuhannya itu.”
...
“Kau tenang saja dan jangan khawatir, aku tidak akan terpengaruh dengan semua perkataan dan bujukannya.”
...
“Jangan khawatir Ana, bagiku pengkhianatan dan perselingkuhan tidak akan Pernah ada kata kesempatan untuk kembali bersama, walaupun itu demi anak-anak.”
...
Bram bersedekap d**a dan menarik napas dalam-dalam, mendengarkan semua pembicaraan Padma pada temannya Ana, yang dia juga kenal sebagai istri dari rekan kerja bisnisnya dan sekaligus sahabatnya.
“Aku tidak peduli dan percaya walau pun Bram bilang seribu kali sekali pun kalau dia tidak berselingkuh dengan Puspa.”
...
“Karena Bram itu sama dan sejenis dengan ayahku, hanya akan terus mengulang kembali perbuatannya jika dia di beri maaf.”
...
“Dan kau tahu, aku tidak akan pernah menjadi seperti ibuku yang akan mengemis dan memohon untuk di cintai pria seperti Bram dan ayahku.”
“Dan perceraian adalah hal terbaik yang ada.”
....
Bram tercenung mendengar semua perkataan Padma, rasanya dia tidak mengenal kehidupan istrinya dengan baik kedua orang tua Padma, terutama ayah mertuanya yang pernah dia temui sekali saja di saat akad nikah berlangsung.