Rumah keluarga Limantara.
Pagi ini Daisy-- sang nyonya rumah, tengah sibuk berkemas. Bukan mengemasi baju, melainkan beberapa barang keperluan rumah tangga. Seperti halnya keperluan kamar mandi mulai dari sabun, shampo dan lain halnya, juga aneka bahan makanan beserta minuman semacam kopi bubuk, gula, teh, dan sussu. Semua barang-barang itu sudah dimasukkan ke dalam boks besar. Daisy tidak melakukan semuanya sendiri, melainkan ada pelayan di rumah yang membantunya.
"Tidak ada lagi yang kurang, kan?" tanya wanita itu memastikan.
"Sepertinya tidak ada, Nyonya. Semua sudah saya masukkan ke dalam."
"Baiklah. Panggil sopir dan minta agar barang-barang ini dimasukkan ke dalam mobil. Satu jam lagi aku berangkat."
"Baik, Nyonya."
Sekarang masih pukul tujuh pagi, tapi Daisy sudah sibuk sendiri dengan rencananya yang akan berkunjung ke tempat Fabio.
Semenjak dua tahun yang lalu putranya itu memilih pindah dan tinggal di pinggiran kota, jujur Daisy merasa was-was juga ketakutan. Putra bontotnya itu selalu saja berulah. Membuatnya cemas sudah bukan hal yang mengejutkan. Padahal usia Fabio sudah kepala tiga, tapi tetap daja Daisy tak bisa melepas begitu saja putranya itu. Sempat protes pada suaminya, kenapa juga Fabio yang harus dikirim ke luar kota untuk menghandle anak cabang perusahaan Group Limantara. Namun, jawaban yang Johan berikan, tak mampu ia bantah juga.
"Biarkan saja anak itu mandiri. Dengan menghandle salah satu anak cabang Perusahaan, setidaknya Fabio akan memiliki beban dan tanggung jawab besar. Dari sana lah dia akan belajar bagaimana menjadi sosok pemimpin yang mampu dibanggakan tak hanya bagi keluarga tapi juga para karyawannya."
Daisy menyerah demi kebaikan serta masa depan Fabio tentunya. Namun, sebagai seorang ibu, rasa khawatir juga cemas tak mampu dienyahkan begitu saja. Sehingga kerap sekali Daisy menjumpai Fabio meski hanya sekedar mengantarkan barang-barang kebutuhan rumah yang sebenarnya Fabio sendiri bisa membelinya tanpa harus merepotkan dirinya. Hanya saja cara inilah yang dapat Daisy lakukan demi bisa sering-sering bertemu dengan putranya itu.
Jika mengandalkan Fabio sendiri yang mau pulang ... tak bisa diharapkan karena Fabio akan pulang ke rumah keluarga besar hanya ketika ingin saja. Sesuka hati Fabio inginnya bagaimana.
"Pagi, Pa!" sapa Daisy ketika di ruang makan bertemu dengan suaminya yang juga sedang ingin sarapan sebelum pergi bekerja.
Rumah sebesar ini terasa sangat sepi karena hanya ditinggali oleh Johan dan Daisy bersama para pelayan juga pekerja. Anak-anak berjumlah tiga orang yang juga sudah dewasa dan memiliki kehidupan sendiri-sendiri bersama keluarga mereka. Fabita yang memilih mengikuti suaminya tinggal di luar negeri dan hanya sesekali datang ke rumah ini. Begitupun dengan Fabian yang memilih untuk membeli rumah sendiri dan tidak mau tinggal di satu atap bersama kedua orang taunya setelah menikahi Aruna dan memiliki anak. Untung saja Aruna dan Fabian masih sering datang dengan membawa Atha.
Johan menatap istrinya dengan kerutan. "Pagi-pagi sudah rapi mau ke mana?" tanyanya kemudian.
Ah, kenapa Daisy bisa lupa belum memberitahu pada suaminya. Padahal dia harus berpamitan sebelum pergi menemui Fabio nanti.
"Aduh, Pa. Mama minta maaf. Lupa bilang ke Papa jika hari ini ada rencana mengunjungi Fabio."
"Ck, Fabio lagi." Decakan keluar dari sela bibir Johan.
Pasalnya sang istri tak henti-henti memanjakan putra terakhirnya itu. Bahkan hampir setiap dua minggu sekali Daisy akan berkunjung ke apartemen Fabio dengan berbagai macam alasan yang Johan sendiri terkadang sulit melarang.
"Papa ... Fabio itu anak kita juga. Papa jangan begitu."
"Dia sudah dewasa, Ma. Tiga puluh tahun. Biarkan saja dia mengurus hidupnya sendiri. Jika mama selalu saja merecoki ... kapan Fabio akan mandiri sama seperti Fabian."
"Papa jangan suka membanding-bandingkan Fabio dengan Fabian. Bagaimana pun juga mereka berdua adalah anak kandung kita. Dan kita sebagai orang tua harus menyadari bahwa perbedaan di antara saudara itu pastilah ada."
Johan tak menjawab apa yang dilontarkan oleh istrinya. Sejak dulu memang Johan akui bahwa dia lebih condong pada Fabian. Selain Fabian ini lebih pandai juga penurut dan mampu diandalkan dalam segala hal. Termasuk memegang kendali perusahaan keluarga di bawah naungan Group Limantara.
Sementara Fabio, sejak masih bersekolah, anak bungsunya itu lebih banyak berulah. Suka membantah dan sama sekali tak pernah mau menurut padanya. Jika Johan menginginkan A maka Fabio akan melakukan B. Begitu seterusnya sampai Johan pusing sendiri menghadapi setiap tingkah laku anak terakhirnya itu. Jadi wajar jika Johan seringkali protes akan semua sikap yang ditunjukkan oleh Fabio, meski tak ada maksud untuk membandingkan kedua putranya.
Johan selalu mengharap agar Fabio menjadi anak yang penurut seperti Fabian. Mudah diarahkan tidak slengekan dan semau sendiri.
Sebenarnya ketika Fabio pulang darin
luar negeri dan mau ikut bergabung bekerja di perusahaan, Johan sudah bangga pada anak terakhirnya itu. Oleh sebab itulah yang menjadi alasan Johan pada akhirnya memberikan tawaran memegang cabang perusahaan pada Fabio. Beruntung Fabio menerimanya.
Johan juga sudah dapat merasakan perubahan hidup Fabio yang jauh lebih tertata dan terarah. Terlihat dewasa. Namun, sayangnya semua itu tidak dibarengi dengan sikap menerima dari Daisy yang justru menghancurkan kepercayaan yang Johan bagi untuk Fabio.
Lagi-lagi Daisy harus memposisikan diri sebagai ibu kandung yang menyayangi putranya. Sehingga Fabio yang mulai mandiri harus direcoki dengan sikap Daisy yang memanjakan putranya itu. Jadilah selisih paham di antara Johan dengan Daisy kerap terjadi.
"Papa tahu. Apa salahnya jika Papa juga ingin Fabio menjadi orang sukes seperti kakaknya. Tiga puluh tahun itu usia yang sangat matang bagi seorang pria. Bahkan sudah sepantasnya Fabio itu menikah. Jika hidup dia masih dibayang-bayangi akan sikapmu yang memanjakan dia ... maka kasihan Fabio juga."
Entahlah kenapa Daisy langsung membungkam mulutnya. Nasehat yang suaminya berikan menohok hatinya sebagai seorang Ibu. Ya, Daisy kadang memang lupa jika putranya itu sudah waktunya menikah, memiliki istri dan anak. Jika dia terus ada untuk Fabio ... bagaimana nanti ketika Fabio sudah memiliki keluarga sendiri.
Johan, pria itu sebenarnya juga masih dalam tahap belajar mengerti dan memahami bagaimana caranya menjadi Ayah yang baik. Selama ini dia telah menjalani kehidupan yang sulit dengan menjadi orang egois. Baginya harta adalah segalanya. Mengejar materi adalah yang utama. Namun, semua prinsip hidupnya terpatahkan ketika Fabian menikahi Aruna.
Johan menghela napas. Fabio ini memang cobaan dalam kehidupan dan posisi dia sebagai kepala rumah tangga.
Pun halnya dengan Daisy yang masih mencoba menelaah kembali setiap ucapan yang dilontarkan oleh sang suami.
Fabio ... Fabio.