PS.5

1005 Kata
Senja akhirnya memilih keluar dari rumah dengan menenteng satu tas yang berisi pakaiannya dan pakaian Azel, ia juga menggndong Azel mengenakan gendongan depan, ia sudah tak sanggup lagi hidup dengan suami yang hanya memanfaatkan keadaan, yang tak pernah lagi memberikannya kebahagiaan, yang tak pernah lagi menerimanya apa adanya, entah mengapa beberapa tahun menikah akhirnya Senja menyesali keputusannya menikah dengan Hadi yang selama ini berjanji hanya dibibir saja. Senja menerima segala kekurangan Hadi. Menerima setengah dari gaji suaminya, mengaturnya dengan baik, meski terkadang tak cukup. Senja menitikkan air mata, ia tak bisa menahan air matanya, ia tak bisa menyembunyikan kesedihannya. “Ma, kenapa sih kita keluar dari rumah?” tanya Azel, sebenarnya pria kecil itu mengetahui perasaan ibunya, namun ia tak tahu harus mengatakan apa selain bertanya. “Kita ke rumah Oma sama Opa, ya,” kata Senja. “Tapi kenapa?” “Sayang, Mama nggak bisa jawab pertanyaan Azel, kalau Azel udah gede nanti, Azel pasti mengerti,” jawab Senja, membuat Azel mengangguk. “Sekarang Azel mau sama Mama, ‘kan?” Azel mengangguk. “Kalau Azel mau sama Mama, Azel jangan ngeluh, ya, Mama akan berusaha membuat Azel bahagia.” “Iya, Ma,” jawab Azel. Senja kembali melanjutkan langkah kakinya, meski tatapan mata tetangganya sangat mengganggunya, namun Senja tidak berani mengatakan apa pun. Ia terlalu sedih dan terlalu lelah untuk berbicara. Sepeninggalan Senja dan juga putranya, Hadi terlihat biasa saja, meski ia sangat terpukul atas perceraiannya, jika saja Senja tidak memancingnya, ia tidak akan mentalak istrinya. Namun, rasa kesal menguasai dirinya, membuat Hadi tak kuasa menahan omongannya dan bentakannya. Hadi menghela napas panjang, ia meminum bir kaleng yang ia beli diluar untuk menghilangkan stressnya ketika pulang ke rumah, namun ternyata ia lebih stress ketika sampai di rumah harus melihat tatapan marah istrinya. Entah semua ini nasib apa memang sudah menjadi takdir. Hadi dan Senja sepakat untuk berpisah dan menjalani hidup masing-masing. Di dalam perjalanan, Leo menghentikan motornya dan mengambil ponselnya dari saku jiketnya, ia melihat pesan singkat Hadi yang berhasil membuat matanya membulat seperti kelereng, Leo menghela napas, dan kembali melajukan motornya. Tak butuh waktu lama Leo sampai di rumah Hadi, rumah yang selama ini terdengar bising karena suara anak kecil. Leo pun masuk ke rumah yang sudah di huni Hadi dan Senja selama 7 tahun, rumah ini terlihat lebih terawat dan bersih, terlihat jelas jika di rumah ini ada perempuan yang begitu rajin. Leo melihat Hadi sedang menikmati bir kaleng yang sudah ia habiskan 5 kaleng, Leo menggeleng pelan melihat kefrustasian Hadi yang ditinggal oleh istrinya. Leo memukul pundak temannya. "Hei, ada apa? Sekarang, ceritakan ke gua, apa maksud lo mengatakan cerai barusan?" tanya Leo, tak perduli dengan kesedihan Hadi saat ini.             “Gua udah menalak Senja, dan dia menerimanya begitu saja. Ha ha, aku nggak pernah menyangka dia sudah menyiapkan hati sekuat itu,” jawab Hadi. “Kayaknya lo udah seneng sekarang, bukannya baru saja di kost tadi lo pengen cerein Senja? Lalu kenapa sekarang sandiwara kayak gini? Ini ‘kan yang lo mau?” tanya Leo, duduk dihadapan Hadi. “Gua emang berencana menceraikan Senja, namun gua nggak pernah nyangka bisa secepat ini, dan gua lega sekarang.” “Lo panggil gua kemari, buat apa? Buat dengerin ocehan dan kelegaan lo?” “Lo ‘kan temen gua, minum ini temeni gua,” kata Hadi, lalu memberikan sekaleng bir kepada Leo. “Ini masih pagi, Bro, gua nggak minum bir pagi-pagi.” “Lo emang jahat,” kata Hadi. “Lo mau seperti ini terus? Ini udah mau jam kerja, lo mandi dan ganti baju sono,” kata Leo. “Jadi sekarang … gua duda? Resmi?” “Wah. Lo emang udah gila, bahkan lo lebih gila dari gua, lo udah senasib ama gua, jadi lo pikirin aja gimana caranya lo memberikan tunjangan buat anak lo.” "Kok lo nggak kaget?” “Ngapain gua kaget, kalau ujung-ujungnya pun lo emang udah berencana cerai, ‘kan?” “Wah.” "Gua hanya mau bilang gini ke lo, harusnya lo bisa mencegah kepergian Senja, lo ‘kan laki, lo bisa kan meminta maaf duluan? Gensi apa egois lo? Sebagai wanita, memang selalu terlihat lemah, tapi sebenarnya dia lebih kuat dari yang lo kira," kata Leo. " Senja memang perempuan yang kuat bahkan gua kalah dari dia, namun suami mana yang terima pas pulang, istrinya terlihat marah, kesal, dan lain-lain,” jawab Hadi. "Lo mustinya lebih ngalah sama Senja, dia ‘kan bini lo, bini yang udah lo pertahanin selama 7 tahun ini, itu bukan waktu yang singkat loh, Di, lo musti kejar dan bawa Senja dan Azel kembali ke rumah ini," kata Leo, mencoba menguatkan Hadi yang sudah menjadi duda sepertinya. "Lo ini sebenarnya teman apa bukan sih? Gua manggil lo kemari buat ngasih gua kekuatan, bukan nyalahin gua," kata Hadi, menghempaskan tangan sahabatnya. "Gua hanya pengen yang terbaik buat lo, Di." "Tapi, gua bukan tipe pria yang mengembalikan kata-kata gua." "Dan, lo bakal pertahanin itu?" "Gua udah terlanjur menjatuhkan talak pada Senja, Leo, yang harus gua lakukan sekarang, gua harus bekerja keras demi menafkahi Azel, gua bakal menjalani hidup gua sendiri, mungkin sudah saatnya Tuhan memberikan gua kebebasan dengan cara berpisah, karena selama ini, gua udah banyak berkorban demi keluarga ini." "Lo gila apa dikit waras sih? Lo tadinya merengek, karena Senja dan Azel pergi, sekarang lo bertekad buat hidup sendirian. Lo pikir jadi duda gampang?" "Gua harus gimana lagi, Leo? Gua emang harus melanjutkan hidup gua, demi Azel. Di kehidupan selanjutnya gua ga mau sampai mengenal sosok Senja lagi." "Lo emang udah gila," umpat Leo. "Lo pikir, gua juga pengen seperti ini?" "Bukannya mempertahanin apa yang selama ini lo pertahanin, malah pengen ngelepas segalanya begitu saja. Dasar gila." “Gua lega, Bro, gua seneng banget akhirnya gua bebas, dan gua bisa hidup sendirian, gua nggak akan lagi terkungkung pada pernikahan, gua nggak akan lagi terbebani dengan Senja, pokoknya gua bebas dan gua seneng sekarang.” “Dimana-mana perceraian itu pasti bakal membawa sedih, lah lo kayaknya seneng-seneng aja, jadi kenapa lo minum pagi-pagi dan memanggil gua kemari? Udah deh. Kalau lo seneng ya seneng aja, dan bersikap seperti biasa. Nggak usah sok kelihatan frustasi,” sindir Leo. “Lo ini emang nggak mau lihat gua seneng.” “Selamat datang di grup pendudaan,” sindir Leo. “Apaan sih lo, udah deh, gua nggak ke kantor hari ini, gua mau tidur, dan ngerayain kebebasan gua sendiri,” kata Hadi. “Kalau lo mau kerja ya kerja saja sendiri.” Hadi membawa dua kaleng bir masuk ke kamarnya, membuat Leo menggeleng tak percaya. “Sok kuat. Lo bersikap kayak lo seneng, padahal gua tahu, lo itu sedihnya bukan maen,” gumam Leo, lalu mengambil tas ranselnya dan meninggalkan rumah Hadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN