“Lo emang nggak pernah bersyukur jadi orang, lo nganggap hati itu kayak mainan, dan lo lupa cowok kayak kita ini nggak maen, Bro, jadi sadar sebelum lo nyesel.”
“Udah deh, Leo, lo ini kayak bukan temen.”
"Kalau lo nggak ngerubah sifat lo itu, lo akan kehilangan segalanya, lo mustinya ngambil contoh dari gua, gua cerai karena gua kayak lo, berantem dan nggak berujung, sekarang ini yang ada hanya penyesalan, Bro, nggak bisa balik gua sama Cia. Bahkan Cia mendapatkan lelaki yang lebih baik dari gua, bukankah itu menyakitkan? Sebelum lo kayak nasib gua, mending jaga baik-baik binik lo."
"Lo aja yang lebay karena lo nggak populer," kekeh Hadi, membuat Leo menendangnya.
"Apaan sih lo, singkirin kaos kaki lo yang busuk itu dari kaki gua," pintah Hadi.
"Lo musti pulang, gua nggak terima pria yang sudah menikah di kostsan gua, seharusnya sekarang lo bantuin Senja ngurusin Azel, supaya Senja ngurusin bekal lo. Gimana Senja mau ngurusin lo, lo nggak pernah bantuin dia di rumah, nggak pernah jagain Azel, yang lo tahu maen game dan nggak pernah ngasih waktu ke keluarga lo."
“Lo ini emang kayak bukan teman gua, lo cocoknya temenan sama Senja, bukan temenan ama gua,” kata Hadi.
“Gua berkata seperti ini karena berdasarkan pengalaman, Bro, gua nggak mau lo bernasib sama dengan gua yang udah nggak punya tujuan hidup ini. Gua sama Cia emang nggak ada anak, tapi lo yang ada anak harusnya lebih menjaga itu.”
“Dan, lo tahu sendiri urusan rumah itu urusan istri bukan urusan kita para lelaki.”
“Siapa yang bilang? Lo yang bilang? Itu karena lo nggak punya hati,” kata Leo. “Harusnya lo cubit diri sendiri, gimana lo kalau nantinya ada di posisi Senja? Coba deh lo sehari aja bantuin Senja di rumah, lo nyuci, lo ngepel, lo jemur, lo beresin rumah, lo ngurusin Azel, setelah lo ngelakuin itu, lo pasti sadar bahwa tugas rumah itu bukan hanya tugas istri, dan lo juga bakal nyadar gimana lelahnya Senja di rumah seharian.” Leo meneguk air digelas hampir tandas.
“Udah deh, nggak usah bahas itu, gua tidur di sini bukan karena gua pengen berdebat ama lo,” kata Hadi. “Sepertinya gua mau cerai saja.”
Leo membulatkan matanya penuh. “Cerai? Lo ini apa-apaan, sih, kayak bocah aja tahu nggak, kenapa nggak pernah sih lo mikirin atau lo rekam tuh kenangan lo dulu sama Senja, jangan langsung main cerai aja. Penyesalan nggak ada obatnya, Bro.”
“Gua emang udah mikirin ini, dan gua emang udah lama pengen ngelakuin ini, namun gua terus memberi kesempatan pada Senja agar mau sadar atas kesalahannya.”
Leo menghela napas panjang, ia tak tahu harus mengatakan apa lagi untuk membuat sahabatnya sadar bahwa yang ia katakan itu salah.
“Lo emang ngasih saran terbaik buat gua, bahkan saran lo itu persis sama saran Naya ke gua, namun gua harus bener-bener mikirin pernikahan gua lagi. Apa gua lanjut atau tidak.”
“Naya? Kenapa bawa-bawa Naya?”
“Gua semalam ketemu dia di taman kompleks rumah, gua ketemu dan gue ngobrol banyak, dan dia juga udah tahu masalah gua sama Senja.”
“Jadi, lo bangga Naya tahu kalau lo ada masalah sama Senja? Jadi, ceritanya lo mau balikan sama Naya?”
“Gua sama Naya nggak pernah jadian, Bro.”
“Nggak pernah jadian, tapi sikap lo ke dia itu kayak orang pacaran. Ini nih sikap lo yang nggak bener, lo selalu mengatakan hal seenak jidat lo, nyesel baru tahu rasa lo.”
“Gua nggak mau denger lo marah atau kata-kata lo tentang gua yang harus mikirin semuanya, gua emang benar-benar nggak bisa mempertahankan pernikahan gua lagi. Gua harus menata hati gua kembali, dan gua harus move on dari rasa belenggu ini.” Hadi menghela napas panjang.
“Terserah lo, lo yang memiliki hati, dan lo sendiri yang bisa memutuskan untuk apa lo bertahan, yang terpenting saran gua jangan pernah ngambil keputusan yang gegabah bahkan yang bisa membuat lo itu menyesal nantinya, lo musti ingat Azel masih kecil dan membutuhkan lo sebagai ayahnya.”
“Gua cerai sama Senja bukan berarti gua lepas tanggung jawab pada Azel, jadi nggak mungkin gua melupakan anak gua.”
“Lo pulang sekarang, sebelum gua nonjok lo, jadi lebih baik lo pulang, gua nggak mau lagi ngasih saran yang nggak akan pernah lo lakuin, lo itu mudah ngomong kayak gitu, karena belum ngerasain gimana kayak gua.”
***
Senja menangis semalaman tanpa tidur dan tanpa membereskan mainan Azel yang berhamburan ke sana kemari, Senja tidak menyangka bahwa pengkhianatan suaminya begitu kejam, meskipun ia sudah tak cantik lagi, apa pernikahan yang di dasari atas nama cinta harus di nilai dengan sebuah penampilan? Bahkan dulu penampilannya tak seperti ini, dulu ia idola kampus, ia primadona, dan ia memiliki segalanya. Namun, ia memilih menikah dengan Hadi dan meninggalkan semuanya, dan bahkan tak bisa lagi ia kembalikan semuanya setelah menyesali diri.
Kemarahan Senja memuncak ketika mengetahui suaminya semalam tidak pulang dan entah tidur di mana, tapi pikirannya Hadi tidur di penginapan bersama Naya. Itu terlihat sangat jelas di foto yang di kirim Heni untuknya.
Senja harus mengakhiri semuanya sebelum rasa sakit kembali menguasai dirinya, dan luka lamanya kembali menganga seperti dulu lagi.
Seaaat kemudian pintu rumah terbuka, membuat Senja menatap suaminya dengan tajam dan mengintimidasi, Hadi sangat tahu tatapan itu, tatapan yang penuh dengan amarah. Hadi mencoba mengabaikan tatapan istrinya dan hendak melangkah masuk ke kamar.
“Kamu dari mana, Mas?” tanya Senja, mencoba menahan amarahnya.
“Aku dari kost Leo, dan aku nginap di sana,” jawab Hadi.
“Siapa yang kau temui semalam?”
“Yang aku temui? Aku nggak menemui siapa pun, jangan membuatku merinding, Ja, kamu terlihat nggak banget ketika menginterogasiku seperti itu,” kata Hadi dengan entengnya.
“Jadi, kamu nggak menemui siapa pun? Lalu siapa yang kau antar didepan penginapan ujung gang sana?” tanya Senja.
Hadi membulatkan matanya ketika mendengar pertanyaan Senja, istrinya.
“Kamu tahu darimana aku di penginapan?” tanya Hadi, bukannya menjelaskan malah menanyakan semuanya kembali.
“Kamu nggak mau menjelaskan? Apa yang kau lakukan di penginapan? Dan, kau mengantar siapa?”
“Aku di taman semalam, dan aku nggak sengaja bertemu Kanaya, jadi aku mengantarnya pulang ke penginapan, setelah itu aku ke kost Leo, dan menginap di sana. Jangan terus menanyakan aku darimana, seharusnya aku yang tanya kenapa rumah ini masih seperti ini, Kia? Apa kamu sudah bosan menjadi istri?”
“Ternyata begini balasanmu pada pengabdianku selama ini, aku sudah berusaha menjadi istri yang baik, menjadi Ibu yang baik, menjadi yang terbaik, namun ternyata ini balasanmu, kamu menemui mantan kekasihmu dan cinta pertamamu, bahkan kalian bermesraan didepan penginapan, kamu ini memang—“
“Senja, itu hanya pelukan seorang teman yang baru bertemu setelah sekian lama, dan aku nggak pernah memiliki hubungan apa pun dengan Naya, aku dan Naya hanya teman, dulu kami dekat, namun kami nggak pernah jadian, jadi jangan pernah menginterogasiku seperti itu.”
“Kamu jahat, Mas,” lirih Senja.
"Kamu memang nggak pernah sadar dengan kesalahanmu, Ja, lebih baik kita bercerai saja, aku akan menceraikanmu dan memberimu kebebasan seperti dulu," kata Hadi, membuat Senja membulatkan matanya penuh mendengar perkataan suaminya.
"Cerai?"
"Kita memang harus cerai sejak dua tahun yang lalu, kita nggak bahagia semenjak dua tahun yang lalu, kita nggak bisa seperti ini terus, kita juga terlalu menikah dini, yang berujung penyesalan. Bahkan sekarang aku merasa terkungkung dengan semuanya, bahkan aku nggak pernah nyaman serumah dengan kamu," kata Hadi, mengatakan semuanya dengan jelas.
"Apa maksudmu, Mas?"
“Aku ingin kita bercerai, aku sudah tidak ingin dan tidak sanggup hidup dengan kamu meskipun seminggu atau sebulan, kita harus bercerai sekarang,” kata Hadi, tak pernah memikirkan bagaimana perasaan Senja sekarang,
Tangisan Senja memecah keheningan, membuat Azel pun ikutan menangis.
“Kamu jahat, Mas, kamu yang salah namun kamu yang menggugatku, kamu nggak pernah mikirin perasaanku, kamu nggak pernah ngasih perhatian seperti dulu, kamu udah nggak pernah membelai rambutku, kamu nggak pernah lagi menanyakan apa aku sudah makan atau belum, kamu nggak pernah lagi menanyakan bagaimana keseharianku, bahkan kamu udah nggak pernah membelikanku makanan enak diluar sana, semua perubahan sikapmu itu menyiksaku, Mas,” kata Senja, membuat Hadi diam dan memberi kesempatan pada Senja untuk mengungkapkan semuanya.
“Aku dulunya menggantungkan harapanku padamu, dulu aku membuang masa mudaku dan memilih menikah denganmu, aku mengalah berhenti kuliah meski sudah semester akhir, dan kamu nggak pernah memberiku kekuatan meski aku menangis semalaman, aku juga ingin sepertimu, Mas, aku juga ingin berkarir, namun pengabdianku selama ini, membuatku mengalah, karena aku mencintaimu, aku gantungkan harapanku, dan kau ambil aku tujuh tahun lalu dari orangtuaku dengan janji akan membahagiakanku, mana kebahagiaan yang kau janjikan?” Senja terduduk dilantai dan menangis sejadi-jadinya.
“Sekarang kamu mau menceraikanku? Setelah semua yang kau lakukan padaku? Kau hanya memberikan derita hidup padaku, bahkan keungan yang sulit tak pernah aku persoalkan, bahkan pakaianku yang kampungan tak pernah membuatku meminta uangmu untuk membelikanku baju, semua yang ku pakai adalah baju semasa gadisku, namun aku nggak pernah mengeluh, namun ini kah balasanmu dari pengabdianku selama ini?”
“Karena kita sudah nggak bahagia.”
“Apa pernah kau berikan kebahagiaan padaku?” tanya Senja.
“Ja, aku mohon, aku memang salah telah memintamu menikah muda denganku, dan aku yang salah semuanya aku yang salah, namun aku benar-benar sudah tidak bisa melanjutkan pernikahan kita, karena aku pun tersiksa seperti ini,” lirih Hadi.
“Apa tak ada lagi kesempatan bagiku, Mas? Kau benar-benar akan mengembalikanku pada keluargaku?” tanya Senja.
“Ya.”
“Mas, aku—“
"KITA HARUS BERCERAI! AKU TALAK KAMU SEKARANG!" teriak Hadi, membuat Senja menitikkan air mata karena tidak sanggup mendengar kata perpisahan dari mulut suaminya itu.
Air mata Senja terus saja luruh, dan tidak pernah bisa berhenti, rasa sakit menguasai dirinya, terlukanya hatinya membuatnya terlupa bahwa Azel menyaksikan mereka saat ini. Azel telah menonton pertengkaran kedua orangtuanya dan itu tidak baik pada pertumbuhan Azel.
“Baiklah, Mas, aku akan menerima talakmu, terima kasih sudah menghancurkan masa depanku dan memberiku harapan palsu, terima kasih atas segala yang kau berikan padaku. Hanya satu pintahku, jangan membuatku terpisah dengan Azel, aku nggak bisa hidup tanpanya,” kata Senja, seperti tengah mengemis.
“Ambil saja Azel, aku juga nggak akan mengambil hak asuhnya, semua ku serahkan kepadamu, tunjangan dan segalanya akan aku urus,” jawab Hadi, membuat air mata Senja luruh. Apa semua keputusan suaminya ini ada hubungannya dengan Naya yang kembali?
"Mulai hari ini, aku akan meninggalkan rumah, urus perceraian kita, aku tidak mau bergantung lagi olehmu, cukup untuk menghantui pikiranku. Aku akan membawa Azel bersamaku," kata Senja, mencoba tegas meski hatinya melemah ketika melihat Azel menangis sejadi-jadinya.