Setelah menidurkan Azel, Senja jadi membayangkan sewaktu kelahiran pertama Azel di rumah sakit, kebahagiaan Hadi memuncak setiap detik, Hadi selalu saja mengecupnya, bekerja di perusahaan memang delalu menyita waktu yang cukup banyak, tapi kebahagiaannya dengan lahirnya Azel, mampu membuatnya mengatasinya.
Suara ponsel membuat lamunan Senja buyar, Senja melihat nama Jihan dilayar ponselnya.
"Hallo? Assalamu’alaikum, Han," jawab Senja.
"Waalaikumssalam, Senja, kamu lagi apa?"
"Aku baru saja selesai menidurkan Azel, ada apa?"
"Aku mau ke rumahmu, tapi aku lagi ada kerjaan. Kamu nggak apa-apa, kan? Nggak lagi butuh teman buang ingus, ‘kan?" tanya Jihan.
"Alhamdulillah, sekarang aku sudah nggak membutuhkannya, kamu fokus kerja saja, jika sudah selesai, aku akan berkunjung ke kostsanmu."
“Kedengarannya kamu udah lebih baik.”
“Aku memang udah lebih baik, ngapain juga aku nangis mulu, kan hidupku bukan hanya buat Hadi,” jawab Senja.
“Hadi? Biasanya kamu memanggilnya dengan sebutan Mas,” kekeh Jihan.
“Ha ha. Aku nggak harus menyebutnya mas kan,” sambung Senja.
“Sepertinya ada kabar baik. Ada apa?”
“Kamu memang bisa menebak,” kekeh Senja. “Aku alhamdulillah dapat kerjaan.”
“Yang bener?”
“Bener. Aku tadi bertemu seseorang yang misterius, dan aku dikasih alamat perusahaan yang membutuhkan staf.”
“Lalu gimana?”
“Aku terima dan aku langsung ke perusahaan itu.”
“Perusahaan apa?”
“Besok deh ku ceritain.”
"Baiklah, aku besok kebetulan libur, jadi kamu bisa ke kostsan ya."
"Baiklah."
"Sampai ketemu besok."
"Iya. Assalamu’alaikum."
"Waalaikumssalam," jawab Jihan, mengakhiri telpon.
Senja kembali menaruh ponselnya di atas nakas, tapi lagi-lagi ponselnya berdetar, tanda sms masuk.
***
Senja kini bersiap ke kantor tempat ia akan bekerja, ia akan bertemu Jihan sore nanti jika pulang, ia memilih kemeja berwarna putih dan rok berwarna putih tulang, memperlihatkan betisnya yang putih.
“Sayang, Mama berangkat kerja dulu, ya,” kata Senja, berjongkok agar sejajar dengan putranya.
“Iya, Mama,” jawab Azel. “Mama beliin Azel mainan.”
“Iya, Sayang, Mama janji akan membelikan Azel mainan.”
“Horee,” seru Azel, membuat Senja tersenyum, kebahagiaan yang sesungguhnya adalah kebahagiaannya melihat Azel bahagia.
“Assalamu’alaikum,” ucap sebuah suara diluar sana.
“Wa’alaikumssalam,” jawab Senja, lalu menengok keluar dari melihat Rita—mantan mertuanya itu berkunjung. “Ibu?” Senja segera mengambil tangan Rita dan menciumnya.
“Kamu apa kabar, Nak?” tanya Rita.
“Saya baik-baik saja, Bu,” jawab Senja.
“Azel mana? Ibu bisa bertemu Azel?”
“Tentu saja bisa, Bu, sebentar saya panggilkan,” jawab Senja. “Azel!”
“Iya, Mama?” Azel berjalan menghampiri ibunya. “Nenek?” Azel memeluk betis neneknya.
Rita berjongkok agar sejajar dengan Azel. “Nenek kangen sama Azel. Kangen banget.” Rita memeluk cucu sematawayangnya itu.
“Bu, saya harus berangkat kerja, takut terlambat.”
“Kamu sudah kerja, Nak?” tanya Rita.
“Iya, Bu. Alhamdulillah saya sudah bekerja, dan hari ini adalah hari pertama saya.”
“Baiklah. Kamu hati-hati,” jawab Rita.
“Iya, Bu.” Senja mengambil tangan Ibu mertuanya dan ayahnya yang masih ada didalam. “Yah, Senja berangkat kerja dulu.”
“Iya, Nak, hati-hati.”
“Sayang, jangan nakal dan jangan nyusahin Nenek, Opa sama Oma, ya.”
“Iya, Ma.”
“Kalau begitu Mama pergi dulu. “Assalamu’alaikum,” ucap Senja.
“Wa’alaikumssalam,” jawab Wahid dan Rita berangkat kerja.
***
“Wah lo emang udah gila,” kata Randi menyeruput secangkir kopi yang sudah disiapkan Dian—sekretarisnya.
“Gua emang udah gila. Gua nggak tahu kenapa gua perduli sama perempuan itu.”
“Bahkan yang lebih herannya lagi, lo udah nolong dia.”
“Jadi, gimana? Kursi kosong itu ada, ‘kan?”
“Ada kok.”
“Sebagai apa?”
“Ya sebagai staf.”
“HRD nggak nanyain kenapa?”
“Mereka nanya, mereka bahkan terkejut karena dia lulusan SMA, ya gua bilang aja, yang mau kerja temen gua, dan memberi alasan bahwa dia pernah kuliah, namun berhenti ngambil cuti,” jawab Randi. “Gua kesel pas lo nyuruh gua ngurusin karyawan baru.”
“Ha ha. Kan baru kali ini lo ngurusinnya.”
“Gua jadi ngerasa kerjaan gua banyak banget.”
“Ha ha, lo emang yang terbaik.”
“Mereka malah nyuruh dia buat kerja jadi Office Girl.”
“Ha? Office Girl? Lalu?”
“Tapi mereka tahunya ini temen gua, yang udah gua anggap adik, mereka terima dan nggak mempermasalahkan lagi.”
Aslan tersenyum mendengarkan, ia tak tahu harus mengatakan apa kepada Senja tentang ini, namun yang pasti Senja sudah terlanjur semangat.
“Sebenernya karena apa sih lo mau bantuin Senja?” tanya Randi.
“Dia seorang janda,” jawab Aslan.
“Jadi karena itu lo nolong dia?”
“Tentu saja.”
“Baiklah.”
“Ya sudah. Gua ke ruangan dulu, terima kasih, ya,” ucap Aslan.
“Hooh sama-sama.”
Aslan hendak berjalan, namun ia terkejut ketika melihat Senja tengah menatapnya, Aslan begitu salah tingkah dan menggaruk tengkuknya.
“Aslan?”
“Hai,” ucap Aslan.
“Kamu kerja di sini juga?”
“Saya? Hem … saya—“
“Kamu pasti kerja di sini, ‘kan? Nggak mungkin kamu dapat informasi sebaik ini, jika nggak kerja di sini,” sergah Senja.
“Benar katamu,” jawab Aslan.
“Makasih, ya, kamu sudah mau memberitahu saya tentang lowongan kerja di sini.”
“Kamu sudah diterima, dan saya lega.”
“Kamu tahu darimana saya sudah keterima kerja di sini? Saya ‘kan belum menceritakannya.”
“Oh. Maksud saya … hem ….” Aslan bingung harus menjawab apa. “Oh iya, kamu nggak mungkin di sini kalau nggak keterima, ‘kan?”
“Oh iya benar.”
“Baiklah. Kamu mau ke ruangan Randi, ‘kan? Eh maksudnya Pak Randi.”
“Benar.”
“Baiklah. Kamu kerja saja dan semangat,” kata Aslan, lalu melangkah melintasi Senja yang kebingungan. “Aslan!”
Dian mendengar panggilan Senja pada Aslan yang kini berjalan membelakanginya, Dian hendak menegur Senja tegas karena sudah berani memanggil Aslan dengan namanya, namun dengan cepat Aslan memberi kode padanya agar diam saja dan tak ikut campur.
“Ada apa?”
Senja berjalan menghampiri Aslan. “Aku bisa pinjam ponselmu?”
“Untuk apa?”
“Ada deh,” jawab Senja.
Aslan lalu merogo kantung d**a jasnya, dan memberikan ponselnya pada perempuan sederhana didepannya.
Senja terlihat sedang mendial nomor seseorang dan sesaat kemudian ponselnya berdetar didalam tasnya.
“Ini nomer saya, kamu simpan, ya, kamu ‘kan kerja di sini, dan hanya kamu yang aku kenal, jadi nggak apa-apa, ‘kan?”
Aslan melihat ponselnya dan melihat panggilan keluar. “Nggak apa-apa.”
“Baiklah. Terima kasih,” kata Senja, lalu melangkah menuju ke ruangan Randi.
Aslan melihat punggung Senja, dan tersenyum seraya menggeleng, baru kali ini ia melihat gadis yang spontan padanya.
Aslan senang bisa membantu seseorang yang memang membutuhkan bantuannya, apalagi Senja adalah seorang janda, tentu saja sebagai seorang janda, Senja harus berusaha kerja untuk memenuhi kebutuhannya.
***
Setelah bertemu Randi, Senja di berikan petunjuk untuk menemui pihak HRD yang akan menunjukkan dimana kursi dan meja kerjanya, setelah bertemu HRD pun ia lalu di antarkan di ruangan yang agak jauh dari ruangan HRD.
Senja selalu mengucap bismillah dihatinya, baru kali ini ia bekerja di perusahaan besar, dan ia harus berusaha mengimbangi semuanya, termaksud berteman dengan rekan-rekan kerjanya.
Senja terkejut ketika melihat Kanaya tengah menatapnya dari arah luar, Senja berperang dengan pikirannya sendiri.
Kanaya adalah teman dekat Hadi dulu, bahkan beberapa kali Senja sering mengobrol dengan Kanaya karena Hadi sering mengajaknya bertemu dengan teman-temannya sewaktu mereka berpacaran.
“Ini rekan kerjamu hari ini,” kata manager yang menunjuk Naya.
“Hai,” ucap Senja.
“Hai,” jawab Naya.
“Baiklah, ayo,” ajak manager departemen keuangan dan berjalan duluan didepannya, manager itu mengajak Senja dan Naya berjalan disamping ruangannya.
"Perhatian semuanya, selamat pagi, saya akan memperkenalkan dua staf yang akan bergabung dengan kita hari ini, staf yang pertama adalah Kanaya Harlian, dan kedua adalah Senja Mayang, mereka akan akan bergabung bersama kalian hari ini,” kata Manager—Susan—namanya.