Episode 3. Meminta Penjelasan

1264 Kata
Anggi mengerjapkan mata, melihat sekeliling rumah. Ternyata wanita itu tertidur setelah lelah menangis sejak pulang ke rumah. "Sudah jam segini, kenapa Mas Rangga belum juga pulang?" Anggi langsung menatap jam yang terpampang pada dinding kamar. Rautnya kembali sendu. Mengingat suaminya yang belum pulang, padahal dulu saat mereka baru menikah, Rangga selalu pulang tepat waktu. Sekalipun lembur, pria itu selalu menghubunginya. Namun, itu adalah hal yang jarang terjadi. Berbeda seperti sekarang, Rangga seolah tak punya waktu dan lebih betah bekerja daripada menemaninya di rumah. "Apa selama ini lembur hanya alasan kamu untuk berlama-lama sama Dina, Mas?" Tanpa terasa air mata kembali menetes dari kedua matanya yang masih terlihat sembab. Entah sudah berapa banyak tetes air mata yang membasahi pipinya. Rasanya masih begitu perih. Membayangkan perselingkuhan suami dan sahabatnya seperti mimpi buruk untuknya. Hal yang tidak pernah terbayangkan jika Dina ternyata bisa menikamnya dari belakang. Sadar bahwa dirinya belum menunaikan salat, Anggi pun beranjak ke kamar mandi untuk melaksanakan salat maghrib. Di ujung sajadah, Anggi meluapkan tangisannya. Memohon pada Sang Pencipta agar rumah tangganya masih bisa dia pertahankan dan suaminya sadar bahwa apa yang dilakukan itu salah. Tentu saja Anggi tidak menginginkan perceraian. Baginya, kesalahan suaminya masih bisa dia maafkan selama Rangga mengakui dan tak akan mengulanginya lagi. Meski, bagi wanita lain, mungkin itu bisa jadi hal yang berat. Namun, Anggi lebih memilih mempertahankan daripada berpisah karena begitu besar rasa cintanya terhadap sang suami. Lagi pula Anggi juga tidak ingin membiarkan Dina menghancurkan rumah tangganya begitu saja. "Kamu harus bertahan, Anggi. Jangan biarkan Dina menang dan mendapatkan suamimu." Setelah menyemangati dirinya sendiri, terbesit dalam pikirannya untuk menghubungi Rangga. Anggi pun mengambil ponsel miliknya yang masih dalam jangkauan tanpa harus beranjak. Dia langsung mencari nomor suaminya. Setelah itu, Anggi segera menekan tombol hijau. Cukup lama Anggi menunggu jawaban. Namun, sampai dua kali dia mencoba, Rangga tetap tak menjawab panggilan teleponnya. "Kenapa kamu nggak jawab panggilanku sama sekali, Mas? Apa kamu memang benar-benar lembur dan sibuk sampai nggak tahu aku telepon atau kamu sekarang lagi sama Dina?" Air mata lolos begitu saja. Kembali membasahi kedua pipi Anggi yang sudah mengering dari tangisan sebelumnya. "Apa dia lebih penting dari aku istrimu sendiri, Mas?" Anggi tak dapat menahan isak tangisnya. Masih duduk bersimpuh di atas sajadah dengan raga yang lemah. Menahan rasa sakit yang semakin menyesakan d**a. *** Berbeda dengan Rangga, pria itu kini sedang memadu kasih di apartemen Dina. Rangga tampak menciumi Dina, menyesap leher Dina hingga meninggalkan jejak kepemilikan. Tubuh Dina yang putih mulus membuat gairah Rangga meningkat. "Aku mau kamu, Sayang," ucap Rangga dengan suara serak. "Lakukan saja, aku milikmu!” jawab Dina yang pasrah di bawah kungkungan Rangga. Keduanya mulai berhubungan layaknya suami istri, suara jeritan nikmat menyeruak membuat kamar bergema dengan suara laknat itu. Rangga terus memompa Dina dengan berbagai gaya hingga keduanya mencapai puncak kenikmatan secara bersamaan. "Aku puas, Sayang. Sangat puas. Kamu benar-benar wanita yang bisa memuaskan aku. Itulah kenapa aku lebih menyukaimu dibanding Anggi yang tidak pandai bermain di ranjang.” "Iya, Sayang, aku juga puas banget malam ini. Aku akan berikan apa pun yang kamu mau dan aku akan memberikan servis yang akan membuatmu bahagia bila bersamaku," sahut Dina sambil memeluk Rangga dengan erat tidak peduli tubuh pria itu dipenuhi peluh. "Kamu wanita yang pengertian tahu apa yang aku mau tidak seperti Anggi, dia tidak bisa memuaskanku, sudah tidak bisa dandan, dia benar-benar buat aku malu. Aku menyesal menikahi wanita itu. Kalau tahu kamu bisa memuaskanku, aku akan lebih memilih menikahimu, bukan dengan perempuan itu," ucap Rangga yang memeluk Dina semakin erat. "Kalau begitu bagaimana kalau kita nikah siri saja? Nanti setelah kamu cerai baru kita resmikan atau kamu bisa katakan saja kalau kamu masih bujang. Sekarang mudah Mas kita memanipulasi data, aku tidak mau terus-terusan digantung seperti ini. Aku mau bersama kamu dan menjadi istrimu satu-satunya," rengek Dina dengan raut manjanya. "Jangan memalsukan data, aku tidak mau. Tapi, kalau nikah siri boleh juga nanti kita urus, ya.” Rangga kembali mencium Dina berkali-kali dan memeluk erat tubuh wanita itu. Dina pun merasa senang karena Rangga mau menikahinya secara siri. Tanpa diketahui Rangga, Dina mengulas senyum smirk karena berhasil menyingkirkan Anggi. "Anggi, lihatlah suami kamu ada padaku. Apa yang akan kamu lakukan jika kamu mengetahuinya? Apa kamu akan tetap bertahan atau mundur? Aku tidak akan melepaskan, Mas Rangga. Selangkah lagi aku akan merebutnya darimu," batin Dina yang tersenyum manis ke arah Rangga. Rangga dan Dina lagi-lagi melanjutkan adegan ranjang seolah tak puas. Keduanya bertukar peluh dan jeritan kenikmatan yang terdengar saling bersahutan di kamar itu. Setelah menyelesaikan semua permainan ranjang yang menghabiskan waktu hampir dua jam lebih, Rangga kini sudah terlihat rapi dengan pakaian kerjanya kembali. Ya, pria itu tidak menginap dan memilih pulang ke rumah di mana Anggi sudah menunggunya sejak tadi. "Mas pulang dulu, besok Mas datang lagi dan nginap di sini. Kamu jangan nakal ya," ucap Rangga sambil mengecup pipi dan bibir Dina. "Iya, Mas. Pokoknya Mas juga jangan sentuh Anggi! Aku nggak rela kalau calon suami aku menyentuh perempuan lain meskipun istrinya sendiri," jawab Dina dengan manja dan balik membalas ciuman Rangga yang baru saja mencium keningnya. "Pasti itu kamu tenang aja! Mas nggak akan sentuh dia. Mas hanya milik kamu seorang saat ini. Jadi, kamu jangan khawatir, Sayang." Rangga menatap wajah Dina dengan lekat dan tersenyum. "Ya sudah, kamu hati-hati ya pulangnya." *** Sementara itu, Anggi tampak masih menunggu Rangga sampai ketiduran di ruang tamu. Dengan kedua mata yang sembab, Anggi pun mulai membuka mata saat suara deru mobil terdengar. Wanita pun bangun. Membuka mata dan melihat jam dinding di ruang tamu yang saat ini menunjukan pukul tiga pagi. Waktu yang menurutnya tidak wajar sekalipun suaminya kerja lembur di kantor. Saat pintu terbuka, Anggi bergegas melangkah menuju pintu menyambut kepulangan Rangga, meski dengan rasa kantuk yang masih memberatkan kelopak matanya untuk terbuka. "Kenapa kamu di sini? Aku sudah katakan jika aku lembur, kamu ini tuli ya!" ketus Rangga yang kesal saat melihat Anggi menunggu kepulangannya. "Nggak apa-apa, Mas. Aku memang mau nunggu kamu pulang. Kenapa lemburnya lama sekali, Mas? Biasanya nggak sampai jam segini, terus kamu udah makan belum? Kalau belum, aku siapin makanan, ya?” Anggi memilih untuk tak langsung bertanya soal kejadian saat dia melihat Rangga bersama Dina. Wanita itu tahu jika suaminya pasti sangat lelah sepulang bekerja dan tak ingin membuat Rangga marah dengan pertanyaannya. "Aku sudah kenyang." "Ya udah kalau gitu aku siapkan air mandi biar kamu segar tidurnya, sini sepatu kamu, biar aku aja yang naro.” Tanpa menunggu kesediaan Rangga, Anggi langsung mengambil sepatu Rangga. Namun, tiba-tiba pria itu malah menepis tangannya dengan kasar. "Kamu ini apa-apaan sih, jangan sentuh kakiku! Sana pergi, aku bisa sendiri, kamu pikir aku ini lumpuh apa!" bentak Rangga yang segera meninggalkan Anggi begitu saja. Perlakuan Rangga mengingatkan luka yang sebenarnya masih begitu perih dalam hati. Niat hati ingin bersikap baik pada suaminya, ternyata Anggi malah mendapatkan sambutan yang tidak baik dari suaminya. “Kamu memang benar-benar sudah berubah, Mas. Apa tidak ada lagi rasa sayang yang tersisa," gumam Anggi sendu. Suaranya bergetar. Terdengar pelan dan lemah. Anggi pun segera bangkit dari posisinya dan berniat ingin masuk kamar menyusul Rangga, tapi dia urungkan. Akhirnya, Anggi pun hanya duduk di sofa ruang tamu sambil menunggu Rangga selesai mandi dan berpakaian. Lima belas menit kemudian, Rangga keluar dan berjalan ke arah kamar tamu. Anggi yang melihat itu sudah tahu jika suaminya ingin tidak pisah kamar. Wanita itu pun segera bangkit dari posisi duduknya, melangkah mendekati Rangga yang hendak masuk ke kamar tamu. "Mas, kita perlu bicara sebentar! Tadi aku melihatmu sama Dina, sebenarnya apa hubunganmu sama dia, Mas?" tanya Anggi yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Rangga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN