“Dia bersama teman-teman barunya. Mungkin mabuk-mabukan lagi.”
Hening jatuh di antara mereka berdua. Membuat napas menjadi sesak.
"Ibu harap, kamu bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik. Bekerja di tempat seperti itu tidak baik untuk seorang wanita."
"Ibu, Kafka sudah memblokirku di semua perusahaan. Mustahil mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada di klub malam dengan pendapatan seperti itu. Lagi pula, aku tidak menemani mereka minum-minum, hanya menampilkan bakatku saja."
Ibu Yana ingin mengatakan sesuatu, tapi sepertinya dia mengurungkannya.
Wajahnya benar-benar terlihat sangat bersalah dan air matanya mulai menetes-netes jatuh membasahi permukaan meja.
Yana sedikit panik dan mencoba menghiburnya lagi.
“Sudahlah, jangan dipikirkan! Kalau keadaan ekonomi kita sudah stabil, aku akan mencoba untuk mencari pekerjaan lain. Mungkin juga akan mencoba untuk membuka usaha kecil-kecilan!”
Dinda membalasnya sambil menelan air mata yang berusaha dihentikan, mencoba menenangkan diri.
"Kamu adalah putriku yang sangat hebat. Kita pasti bisa bangkit kembali. Untuk hutang, setelah kakakmu pulih ibu juga pasti akan membantu untuk melunasinya."
Yana hanya mengangguk, lalu segera membuka sebungkus sosis dan meletakkannya ke dalam kotak mie instan milik ibunya. "Makan yang banyak, Bu. Sepertinya, kamu yang lebih membutuhkan perbaikan gizi daripada aku."
Dinda kembali mengangguk cepat dengan wajah sedikit cerah, tersenyum pelan, dan cepat-cepat mulai menikmati mie instan yang wanginya sangat menggoda.
Entah kenapa, hatinya sedikit merasa lega setelah berbicara dengan putrinya. Makanan yang masuk ke dalam mulut juga terasa lebih nikmat.
***
Setelah berbicara dari hati ke hati di kantin rumah sakit, kedua wanita itu akhirnya kembali ke bangsal.
Tera yang semula bersikap sinis dan agak memusuhi Yana, seketika melunak ketika menyadari suasana hati ibunya jauh lebih baik. Arzaka yang masih lemah, melirik Yana dengan wajah ingin menangis.
"Yana, maafkan kakak karena tidak berguna," kata Arzaka dengan nada sangat menyesal dan sedih.
Yana duduk kembali di sebelahnya, menggenggam erat tangannya. “Kakak tidak memiliki kewajiban untuk menyalahkan diri sendiri. Jika mau jujur, kalau ingin menyalahkan seseorang, maka itu pasti adalah aku."
Tera mengomentarinya dengan nada kesal. "Ya, kakak seharusnya tidak bertemu dengan pria berengsek itu. Sungguh sial! Bagaimana bisa kakak begitu bodoh ingin mencari suami kontrak di sebuah klub malam? Bukankah semua pria yang datang ke sana sangat bermasalah?"
Ekspresi Yana berubah kelam, menjadi dingin. "Tera, perhatikan kata-katamu. Itu adalah klub malam yang elit. Tidak semua orang bisa masuk ke sana. Lagi pula, sekarang kakakmu ini sudah bekerja di tempat semacam itu. Jika kamu bisa melakukan hal yang lebih baik dan menemukan solusi yang jitu, tunjukkan saja kemampuanmu. Jangan hanya mengeluh di situ. Kamu sudah tidak ingin kuliah lagi, ya? Aku dengar kamu bertengkar dengan salah satu teman sekelasmu dan hampir membuatnya masuk rumah sakit. Itu sebabnya pihak kampus memberi tekanan kepadamu."
Tera mengepalkan kedua tangannya erat di atas pangkuannya. Wajahnya langsung menunjukkan ekspresi kesal, menatapnya tak percaya. "Apakah aku harus diam saja jika dia terus menindas dan menghinaku? Dia juga mengejek kakak, bilang kalau kakak adalah wanita penggali emas yang tidak tahu diri. Dia tidak tahu apa-apa, beraninya berkata sembarangan!"
Dinda segera menepuk-nepuk bahu putranya. "Sudah, sudah! Jangan berdebat dengan kakakmu. Dia sudah punya banyak masalah dan harus menanggung kita semua. Sebaiknya, kamu fokus saja untuk menyelesaikan studimu. Masih untung Kafka Bimantara turun tangan untuk membantumu memilih kampus yang lebih baik daripada sebelumnya."
Tera menundukkan kepala dengan perasaan malu dan marah."Aku benci... aku benar-benar sangat membencinya! Dia pria sombong dan sungguh tidak tahu berterima kasih!”
Yana menarik napas berat.
"Tera, apa kamu akan berterima kasih kepada orang yang sudah menindas dan menghinamu selama tiga tahun penuh? Kita tidak bisa menyalahkan perbuatannya. Aku akui kalau aku terlibat dengannya gara-gara kebodohanku. Tapi, kita semua memiliki andil masing-masing untuk menyiksanya. Jika kalian semua bertemu tidak sengaja dengannya, bersikaplah lebih sopan. Sebisa mungkin menjauhlah dan jangan berhubungan lagi dengannya. Kalaupun dia meminta uang 100 miliar itu, katakan saja apa adanya dan kita akan berusaha untuk melunasinya bersama-sama. Tapi, aku akan berusaha untuk menyelesaikannya secepat mungkin."
Arzaka yang terbaring lemah, menggenggam tangan Yana erat. "Yana, aku juga pasti akan membantumu. Selama aku bisa menjaga kesehatan dengan baik, maka kita bisa berhemat biaya rumah sakit."
Yana menepuk tangan kakaknya dengan penuh kasih sayang. "Kakak bicara apa, kakak hanya perlu berhati-hati. Kalau kakak tiada, siapa lagi yang bisa menjahiliku dan memberiku nasihat yang terdengar sangat bijak?"
Yana dan kakaknya tertawa kecil satu sama lain. Namun, ada kesedihan yang mengalir di antara mereka berdua.
***
Setelah memastikan keluarganya baik-baik saja, Yana akhirnya meninggalkan rumah sakit.
Dia duduk termenung di sebuah halte yang kusam dan kotor. Kedua tangannya mencengkeram erat roknya, dan wajahnya terlihat sangat murung.
Pembalasan Kafka benar-benar menghancurkan keluarganya hingga ke inti. Seharusnya, pria itu hanya membalas dendam kepadanya, karena Yana adalah orang yang paling buruk memperlakukannya selama mereka menikah. Namun ternyata, dia benar-benar tidak memiliki belas kasih sama sekali.
Ponsel Yana tiba-tiba bergetar. Dia menatap kosong layar ponselnya yang menampilkan nama mantan suaminya tersebut.
Karena suasana hatinya sedang sangat sedih dan tidak ingin berhubungan dengannya untuk sementara waktu, dia memutuskan untuk mengabaikannya dan tidak menjawab panggilan itu sampai akhirnya berhenti.
Tidak lama kemudian, sebuah mobil hitam mahal berhenti di depannya. Dengan bunyi klakson yang terdengar nyaring, Yana mengangkat pandangannya dan tersenyum lemah ke arah pria tampan di dalam mobil.
"Masuklah, jangan bengong saja di situ. Kamu sudah mirip hantu gentayangan. Belum mati, tapi sudah ingin menakuti orang," goda Ryan Wilson dengan kekehan nakalnya yang jenaka.
Yana hanya bisa mendengus kecil mendengarnya.
Mulut dokter playboy itu sungguh luar biasa dan terkadang membuatnya ingin menamparnya. Namun, sekarang rahasia besarnya berada di tangan pria itu. Mau tidak mau, dia harus mengikutinya. Kalau memang benar dia bisa menolongnya dari masalah yang dia sembunyikan dari semua orang, mungkin tidak ada salahnya untuk berteman dengannya.
“Bagaimana keluargamu? Sudah berbicara dengan mereka?” tanya Ryan santai, mencoba mencairkan suasana.
Dia bisa merasakan kalau Yana sedang tidak baik-baik saja.
“Aku sudah melihat dan berbicara dengan mereka tentang banyak hal. Termasuk tawaran pindah ke rumah sakit lain. Kami sepakat tidak akan menerimanya. Kami pikir itu tidak perlu. Terima kasih banyak, Tuan Wilson,” jawab Yana sambil tersenyum tulus.
Sebelum meninggalkan rumah sakit, Ryan memang sempat mengirim pesan, menawarkan bantuan untuk mendapatkan rumah sakit yang lebih layak, meskipun biayanya sedikit lebih mahal. Namun, Yana tahu itu tidak mudah bagi kantong mereka, bahkan jika berusaha sekuat tenaga.
"Kamu yakin? Aku bisa membantumu. Cicil saja pelan-pelan."
“Lupakan saja, saat ini kakakku sudah cukup baik. Biaya rumah sakit tidak sedikit. Aku tidak ingin berhutang lebih banyak padamu,” lanjut Yana sambil menatap gugup ke arah lain.
Ryan hanya mengangguk setuju, lalu mulai menjalankan mobil.
Yana yang duduk tenang di dalam mobil, tidak menyadari bahwa sepasang mata dingin dan tajam mengamatinya sejak dia duduk di halte sebelumnya.