"Wah, dengar ucapannya! Dia benar-benar wanita yang tidak tahu malu!" ujar salah satu wanita itu, menunjuk Yana dengan marah. Seolah-olah Yana adalah kotoran.
Yana menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. "Apa sebenarnya yang kalian inginkan?"
Wanita pertama kembali mendorong Yana dengan kasar, lalu mendengus hina. "Apa yang kami inginkan? Bukankah itu jelas? Kami ingin melihatmu menderita!”
Wanita satunya tertawa sinis sambil menudingnya lagi. "Benar! Kamu tidak seharusnya ada di sini. Kamu hanya membuat kami semua kesulitan. Mengerti?"
Wanita itu kemudian maju dengan niat menampar Yana. Namun, tiba-tiba, sebuah tangan besar menghentikannya.
Semua orang terkejut!
Yana bahkan lebih terkejut lagi!
“Kafka? Kenapa dia ada di sini?" tanya Yana dalam hati, matanya melebar ngeri. Hawa dingin menggigitnya dari dalam.
Rasanya, bertemu setiap kali bertemu Kafak, seperti kutukan yang menempel kepadanta, seolah-olah takdir mempertemukan mereka dengan sengaja agar bisa saling menyiksa.
"Apa yang kalian pikir sedang kalian lakukan?" suara Kafka terdengar dingin dan penuh ancaman.
Wanita yang hendak menampar Yana tampak gugup dan ketakutan, cengkraman Kafka sangat kuat seperti ingin menghancurkan tulangnya.
Yana hendak menegur Kafka yang bersikap kasar kepada wanita itu. Tetapi, dia segera melepaskan cengkramannya dengan kasar dan tidak berperasaan.
Kedua wanita itu langsung ketakutan!
Menghadapi aura Kafka yang begitu mengintimidasi, sepertinya mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi. Semua kesombongan mereka hancur luluh lantak!
"T-tidak, Anda salah paham, Tuan! Wanita ini, dia adalah seorang murahan yang tidak tahu malu! Kami hanya ingin memberinya pelajaran."
Wajah Kafka semakin gelap dan tajam. "Memberinya pelajaran? Kamu pikir dirimu siapa?"
Wanita itu mencoba membela diri, berusaha menarik perhatian Kafka. "Tuan Bimantara, jangan membela wanita seperti dia. Anda pasti tidak tahu! Dia sudah sering menggoda pria di sini! Dia memang pantas diceraikan oleh Anda. Wanita yang hanya mengejar harta orang lain seperti dia, pada akhirnya akan jatuh juga!"
Mendengar fitnah itu, wajah Kafka berubah semakin dingin, bahkan lebih dingin daripada es abadi. Aura yang dia keluarkan membuat kedua wanita itu merasakan tekanan yang berat dan menakutkan hingga tidak sadar mundur selangkah. Mereka sepertinya mulai menyadari bahwa mereka telah melakukan sebuah kesalahan besar, tapi tidak tahu apa itu.
Sebagian besar orang di klub malam Blue Diamond sudah mengetahui hubungan antara Yana dan Kafka di masa lalu.
Kedua wanita itu mungkin berpikir bahwa menyebut masa lalu Kafka akan membantu mereka menekan Yana, tapi mereka salah perhitungan. Kafka jelas bukan pria yang bisa diajak kerja sama semudah itu.
"Tuan Bimantara, kami tidak bermaksud apa-apa, sungguh!” kata salah satu wanita dengan nada memelas. "Wanita ini... dia benar-benar pembawa masalah di tempat kami!"
Kafka tidak menanggapi perkataan mereka dan hanya memandangi Yana dengan tatapan tajam, seolah ingin membelahnya menjadi dua bagian.
Yana meringkuk di sudut, tidak berani menatapnya balik.
Mungkinkah Kafka ada di sini karena dia tidak pulang ke Mansion Matahari sesuai perintahnya? Tapi, apakah Kafka benar-benar begitu pendendam hanya karena masalah kecil?
"Pergi!” titah Kafka dengan nada dingin, penuh perintah.
Hanya dengan satu kata darinya, kedua wanita tersebut ketakutan dan gemetar luar biasa. Tanpa membuang waktu, mereka buru-buru meninggalkan lorong, membuat Yana sendirian bersama mantan suaminya.
"Kamu benar-benar keras kepala," ucap Kafka sinis, nadanya dipenuhi amarah yang tertahan. "Kenapa tidak menjawab panggilanku?"
Yana terkejut dan menatapnya bingung. "Kamu menghubungi ponselku?"
"Jangan berpura-pura bodoh. Kamu sengaja melakukannya, bukan? Tidak mau bicara denganku? Protes dengan ucapanku sebelumnya?”
Yana merasa bingung dengan pola pikir Kafka. Seolah-olah mantan suaminya ini berpikir kalau Yana bisa mengetahui segala hal.
Bagaimana dia tahu bahwa dia tidak menerima panggilannya? Bagaimana dia tahu bahwa dia mencoba menutup akses komunikasi dengannya?
"Maaf, ponselku kehabisan baterai," ujar Yana berusaha tenang, tapi dia berkata percaya diri sambil menegaskan ekspresinya. "Lagi pula, aku tidak tahu nomor ponselmu, bukan? Mana aku tahu kalau kamu akan menghubungiku?”
Kafka memandangnya dengan tatapan tajam. "Apa maksudmu? Bukankah aku sudah memberikannya kepadamu?"
Yana hanya diam, merasa sangat linglung. Kapan dia memberikan nomornya? Kenapa dia tidak mengingatnya?
"Kenapa matamu begitu? Kamu meragukan perkataanku?" bentak Kafka kasar, menyalahkan Yana secara terang-terangan.
Yana menggeleng cepat. "Tidak, aku tidak berani. Lalu, apa tujuanmu ke sini? Apakah kamu datang untuk bertemu dengan seseorang?"
Kafka menatapnya dingin. "Ya, benar sekali. Aku datang untuk bertemu seseorang dan sekarang sudah menemukannya."
Wanita itu merasakan jantungnya berdebar kencang, dan wajahnya berubah tegang. "Kamu datang mencariku? Untuk apa?"
Sang pria menyeringai dingin, tatapannya tajam seolah ingin menusuk Yana. "Kamu masih menanyakan untuk apa?"
"Aku... aku tidak berniat untuk kabur! Sungguh!”
"Oh, begitu? Benarkah? Aku dengar dari teman sekamarmu, kamu berniat pergi ke luar kota."
Yana terperangah, seolah petir menyambar wajahnya. Kehilangan kata-kata sejenak, dia hendak menjelaskan, tapi Kafka sudah lebih dulu meraih tangannya dan menyeretnya dengan kasar.
Sepertinya, mulai sekarang, dia mungkin harus terbiasa dengan sikap Kafka yang selalu menyeretnya semena-mena, seolah-olah dia seperti hewan peliharaan, menyeretnya ke mana pun ia suka dan mempermalukannya.
“Kafka! Lepaskan! Jangan tarik-tarik begini! Aku bisa jalan sendiri!”
“DIAM!”
Ketika mereka hampir tiba di depan pintu masuk, tiba-tiba saja manajer Bella muncul dengan ekspresi terkejut.
"Tuan Bimantara?! Anda datang kemari tanpa memberitahuku? Ada apa ini? Apakah Yana membuat masalah lagi?" serunya tak percaya, memandang Yana dengan kasihan ketika melihat cengkeraman tangan Kafka yang tampak menyakitkan.
"Dia tidak akan bekerja di tempat ini lagi."
Bella menautkan kening, lalu menoleh kepada Yana. "Apakah kamu benar-benar ingin berhenti?"
Yana menggeleng cepat, mencoba melepaskan tangannya dari cengkeraman Kafka. "Tidak, aku tidak ingin berhenti dari tempat ini! Kafka, jangan keterlaluan! Bagaimana aku harus melunasi semua hutangku? Jangan bertindak konyol!”
“Dasar pembohong! Bukankah kamu akan pergu ke luar kota karena sudah menemukan pria yang akan mendukungmu? Kenapa? Kamu ingin pura-pura terlihat baik di depan orang lain?”
Syok!
Yana menatapnya kaget!
Apa isi otak pria ini!
Apa dia sungguh bodoh? Bagaimana dia menjadi pebisnis hebat dengan prasangka seburuk itu?
“Sebaiknya kita bicarakan di ruanganku saja. Tidak baik dilihat orang banyak. Kalian adalah pasangan yang sensasional. Oh, maksudku, mantan pasangan. Sudahlah! Ayo, Tuan Bimantara, mari kita bicarakan baik-baik. Kasihan Anda mencengkramnya terus. Itu pasti sangat sakit.”
Bella datang mendekat, mencoba melepaskan tangan Kafka dari mantan istrinya.
“Kafka, tolong lepas. Kamu ingin mematahkan tangannya? Dia akan cacat dan tidak berguna jika bekerja,” peringat Bella tajam.
Mendengar kalimatnya yang bersahabat dan dekat, Yana menatapnya bingung.
Apakah mereka berdua saling kenal?
Kafka melirik tangan kecil Yana, seperti tidak rela melepaskannya. Namun, perlahan, dia melepaskannya juga.
Air mata sang mantan istri sudah hampir merebak. Cengkramannya sangat kuat sampai meninggalkan jejak merah di kulitnya.
“Ya, ampun! Kulitmu merah sekali! Ayo, kita obati sekalian!” seru Bella prihatin.
Kafka memuram kelam melihat kulitnya yang memerah, lalu berjalan duluan menuju ruangan manager.
Bella menghela napas berat, menatapnya kasihan. "Kamu pasti sangat kesulitan, ya? Sepertinya dia benar-benar dendam kepadamu gara-gara perlakuan kalian selama pernikahan. Sabar saja. Jika kamu bisa menggodanya, aku yakin dia akan lebih baik kepadamu. Cobalah untuk merebut hatinya. Kebencian seorang pria hanya bisa luluh dengan cinta."
Yana menelan ludah gugup.
Menggoda Kafka?
Bagaimana mungkin?
Yang ada, dia malah akan semakin membencinya!
"Itu tidak mungkin. Dia sudab punya pujaan hati sejak dulu. Semua orang juga sudah tahu kalau mereka sebentar lagi akan menikah," balasnya dengan senyum ironis.
Bella meneluk sebeluh bahunya pelan, menatapnya serius. "Yana, apakah kamu tidak pernah menyukai Kafka meski hanya sedikit saja selama ini?"
Pertanyaan itu rasanya konyol sekali.
Yana mengangguk murung. "Tidak. Aku tidak pernah menyukainya sama sekali. Untuk apa?"
Bella hendak membalasnya, tapi suara Kafka segera memotongnya dingin.
"Kenapa masih berdiri saja di situ? Cepat masuk!"
Jantung Yana terasa dingin oleh rasa terkejut!
Sejak kapan dia kembali?
Apakah dia mendengar kalimatnya barusan?
Ekspresi pria bermantel hitam itu sanga gelap, menatapnya penuh dengan kebencian yang membara.
Yana merasa tubuhnga gemetar ketakutan!